Press "Enter" to skip to content
Mantan juara Indonesia kelas welter yunior, Suwarno Perico. (Foto: Ist)

KISAH MANTAN PETINJU: Suwarno Perico Memilih Hidup sebagai Tukang Pijat

Mantan juara Indonesia kelas welter yunior, Suwarno Perico. (Foto: Ist)

Rondeaktual.com – Suwarno Perico, 58 tahun, adalah mantan juara Indonesia kelas welter yunior. Karir tinjunya sudah sampai ke Jepang, meski akhirnya mencium kanvas ring dan KO hanya dalam 90 detik.

Suwarno Perico bertahun-tahun bertahan hidup susah di kampung halamannya sendiri, Desa Sumbergempol, Tulungagung, Jawa Timur. Status pengangguran melekat kuat dalam hidupnya. Berbagai upaya telah dicoba, termasuk rencana membuka warung atau kedai mini jual indomie telor kopi dan rokok ketengan. Semua sia-sia.

Kegagalan tersebut mendorong Suwarno Perico, di usia tua 58 tahun, harus memilih hidup sebagai tukang pijat. Ini pilihan terakhir, yang dilakukannya dengan senang hati.

Suwarno Perico adalah mantan petinju Sawunggaling Surabaya. Ia menjadi juara Indonesia kelas welter yunior di Stadion Batorokatong, Ponorogo, Jawa Timur, 25 Maret 1989, menang angka setelah melewati pertarungan 12 ronde melawan juara Bongguk Kendy (Garuda Jaya Jakarta).

Suwarno Perico kehilangan gelar di Stadion Kridosono, Yogyakarta, 3 Juni 1989, kalah angka melawan Bongguk Kendy. Pertandingan di lapangan terbuka, disaksikan oleh Sri Sultan Hamengkubuwono X.

Suwarno Perico pernah kejuaraan OPBF kelas ringan di Jepang dan tumbang KO tak sampai 90 detik di tangan juara Tsuyoshi Hamada.

Dari tiga kali kejuaraan Indonesia kelas welter yunior melawan Bongguk Kendy, hanya sekali dimenangkan Suwarno Perico. Dia kalah di Palu yang dipromotori Tinton Soeprapto dan dihibur penyanyi “Apanya Dong” Euis Darliah dan kalah di Yogyakarta yang dipromotori Agus Mulyantono.

Suwarno Perico sekali kejuaraan Indonesia kelas welter di Bali dan kalah melawan Wayan Budawarsa, murid Daniel Bahari.

Sekarang Suwarno Perico (25 tahun menduda) hidup sendiri dalam kemiskinan di Desa Sumbergempol, Tulungagung, Jawa Timur. Tidak punya apa-apa dan menumpang hidup di rumah saudaranya.

BELAJAR DARI MINTO HADI

Di usianya yang sudah mendekati kepala 6, Suwarno Perico harus memilih hidup sebagai tukang pijat. Ia sengaja datang ke Malang dan berguru kepada Minto Hadi.

Minto Hadi adalah mantan juara kelas terbang terbaik Indonesia, era promotor A Seng Surabaya, yang terkenal suka bagi-bagi uang. Minto Hadi menjadi tunanetra akibat tinju. Bola matanya rusak kemudian salah pengobatan di tangan seorang tabib membuat dunia ini menjadi gelap gulita.

“Saya sangat terima kasih kepada sahabat Minto Hadi, juga kepada istri beliau, yang sangat ramah. Selama berguru, saya tinggal di sana dan dikasih makan. Gratis dan itulah arti persahabatan. Mas Minto itu orangnya baik sekali,” kata Suwarno Perico di rumah pijat Minto Hadi di Malang, dihubungi dari Desa Tridaya Tamsel, Jawa Barat, Jumat (17/1/2020) jelang tengah malam. Lantaran punya besik olahraga tinju, ia siap kerja satpam. Sayang tak ada perusahaan yang menerimanya.

“Mas Minto tulus mengajari saya. Ini masa depan saya. Usaha pijat bisa buka di mana saja. Kapan saja kita mau. Kalau sehari bisa menerapi dua pasien, saya sudah bisa makan untuk hidup,” ujarnya, yang di ujung karir tinjunya, atau pada tahun 1990, menikah dengan gadis Tionghoa di Surabaya. Tak berapa lama sang istri meninggal dunia. Suwarno Perico kuat menduda sampai sekarang.

“Sekarang saya masih numpang di rumah mas Minto Hadi, di Malang. Sabtu mau ikut pertemuan mantan tinju di rumah Wasis John Mugabe. Minggu saya sudah bisa pulang (ke Tulungagung). Saya lulus dan ukuran Mas Minto layak untuk meneruskan pekerjaan sebagai tukang pijat.”

Mantan petinju nasional yang pernah memilih profesi pijat kesehatan adalah Amir Hasjim. Sampai meninggal dunia di rumah kontrakannya di Cililitan, Jakarta Timur, Amir Hasjim setia dengan profesinya.

Di masa hidupnya Amir rajin jalan kaki ke luar masuk gang menjumpai para langganannya. Amir tidak patot harga. Bahkan sering gratis bila yang diterapi adalah mantan petinju yang tidak punya uang.

Rencana dekat Suwarno Perico harus keluar. Harus mandiri. “Jangan sampai repot buat teman atau saudara. Rencana mau cari tempat di Malang. API (Asosiasi Petinju Indonesia) mau kasih tempat untuk buka usaha pijat. Tapi ke depannya saya mau buka di luar pulau.”

Suwarno Perico termasuk pria jujur dan taat kerja. Setelah menggantungkan sarung tinju, atau sekitar 30 tahun silam, ia bekerja bidang pemasaran obat-obatan. Dia kuat keliling Jawa Timur hingga menembus perbatasan Jawa Tengah. Uangnya gede. Cukup berhasil.

Namun seperti lirik lagu Panbers, hidup bagai roda pedati. Kadang di atas kadang di bawah. Hidup manusia tidak kekal dan selalu berubah, kadang kaya dan kadang miskin.

“Sekarang sudah tidak punya apa-apa,” kata Suwarno Perico, pernah sebagai anggota wasit/hakim Asosiasi Tinju Indonesia (ATI) Provinsi Jawa Timur. Namun tinju pro matisuri. Karir wasit/hakim dihentikan.

Bodohnya Suwarno Perico, seperti disampaikannya sendiri, ketika pegang uang hasil jual rumah (setengah untuk bayar utang) di Pondok Chandra, Sidoarjo, tidak diselamatkannya.

“Seharusnya saya beli tanah, atau beli rumah sederhana, yang di tahun itu masih sangat mungkin. Itulah bodohnya saya. Uang dipakai orang untuk renovasi dan bangun loteng. Belakangan saya dibuang. Tapi sudahlah. Sekarang saya mencoba bangkit dengan usaha pijat. Saya akan tawarkan ke teman-teman mantan petinju yang ada di Malang atau di Tulungagung.”

Seorang mantan juara Indonesia kelas bantam yunior, Kid Samora langsung respon mau mencoba pijat ala mantan juara Indonesia Suwarno Perico. Sudah berminat tapi belum deal.

Untuk sekali pijat, menurut data yang disampaikan Minto Hadi, biasanya gocap (Rp 50.000) atau sering dikasih lebih sebagai bonus.

“Barangkali teman-teman Kera Ngalam (Arek Malang) ada yang berminat, khususnya Pak Arief (pendiri API Malang) dan para staf, saya dan mas Minto siap meluncur,” kata Suwarno Perico.

Pria yang sekarang pakai kacamata minus ini meneruskan: “Seikhlasnya. Tidak pasang tarif. Monggo, mau kasih berapa terserah. Saya harus kejar. Saya harus berjuang untuk hidup. Ini pilihan terakhir.”

Semangat sekali bicara Suwarno Perico, yang di masa bertinju dulu satu perguruan dengan (almarhum) Wongso Indrajit, Yani Hagler, Marvin Harsen, Marthen Kasangke, Agus Ekajaya.

Sebelum memilih profesi ahli pijat, Suwarno Perico sempat bekerja sampai ke Sulawesi Selatan, sebagai sopir perusahaan.

Terbuka kemungkinan Suwarno Perico akan kembali ke sana, buka usaha pijat kesehatan. Teruskan sesuai rencana, kawan.

Finon Manullang, menulis dari Desa Tridaya Tamsel, finon5000@yahoo.com

Be First to Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *