Rondeaktual.com – Tidak semua orang mengenal Taji Atmojo sebagai petinju profesional dari Sawunggaling Boxing Camp Surabaya. Tetapi, terutama dalam lima tahun terakhir, semakin banyak orang mengenal Taji Atmojo sebagai pedagang jamu seduh yang sukses. Taji jual jamu mulai sore hingga malam di sekitar RSUD Dr Soetomo, Kota Surabaya, Provinsi Jawa Timur.
Taji Atmojo lahir di Nganjuk, Jawa Timur, 44 tahun silam. Tahun 2001 menikah. Tahun 2003 setop tinju. Setelah itu luntang lantung. Tidak tahu mau berbuat apa.
Taji Atmojo datang merantau ke Surabaya untuk tujuan tinju. Ia memilih Sawunggaling Boxing Camp Surabaya. Ia ditangani pelatih besar Setijadi Laksono. Bertanding di kelas bulu.
Taji Atmojo satu generasi dengan petinju Sawunggaling lainnya seperti; Mike Sianturi (akhirnya memilih karir polisi), Arman Adinur, Boy Aruan, Ajib Albarado, Julio de la Bases, Ali Rochmad, Erick Archibald, Jeremia Tigor, Dobrak Arter.
Pada 1998, ia menjadi juara Indonesia kelas bulu, setelah mengalahkan petinju pengalaman Salim Ayuba. Pertandingan dijadwalkan 12 ronde, tetapi berakhir pada ronde 8 untuk kemenangan Taji Atmojo.
“Saya juara sebentar. Saya pernah kalah melawan Chris John. Pernah kalah melawan Alfaridzie. Wasit menghentikan pertandingan pada ronde 11. Itu pertarungan yang sangat berat. Saya menghadapi Alfaridzie seperti melihat dua musuh di atas ring. Saya terus berusaha masuk menyerang. Tangan saya tak sampai ke muka lawan.”
Tinju tidak menghasilkan apa-apa, kecuali kesenangan dalam menyalurkan hobi. “Saya pernah terima bayaran sampai 10 juta sekali main. Uangnya mutar di situ saja. Potong buat sasana. Bayar utang kiri-kanan. Traktir teman-teman. Habis.”
Setelah menjalani usaha jual jamu, hidup Taji Atmojo berubah. Menurut mantan petinju Sawunggaling Erick Archibald, Taji Atmojo sudah bisa memiliki rumah sendiri dan kendaraan pribadi.
“Saya akui, semua dari usaha jamu. Bisa punya rumah ya dari jamu. Punya mobil, biar jelek-jelek, ya dari hasil jamu, ” kata Taji Atmojo, ayah dari empat anak (satu putra dan tiga putri). Mereka tinggal di Kalijudan 8, tak jauh dari markas Sawunggaling dulu, tempat Taji menimba ilmu tinju.
Taji Atmojo adalah adalah contoh mantan petinju yang berhasil mengangkat kehidupannya melalui jual jamu. Sukses, Taji tetap hidup sederhana. Omset harian yang bisa mencapai jutaan tak membuatnya mabuk. Tidak besar kepala.
Taji Atmojo sekarang hidup enak. Orang melihatnya begitu dan tidak melihat bagaimana pahitnya ketika memulai usaha jamu.
“Tidak seperti jambu yang sudah matang di pohon tinggal petik. Saya rintis dari bawah. Jual jamu dorong. Keliling pakai gerobak. Saya melakukannya selama berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun. Akhirnya jamu dorong saya hentikan. Sekarang jual jamu dekat rumah sakit. Bongkar-pasang. Setiap hari begitu.”
Taji Atmojo memang sukses sebagai penjual jamu seduh. Setiap hari harus didampingi tiga karyawan. Namun dia tetap rendah hati. Selalu merasa senang saat dikunjungi teman-taman mantan petinju.
Taji mencoba mengembangkan usaha dengan cara membuka cabang di Kalimantan. Dia percaya kepada seseorang. Sayang usaha belum lancar sudah putus hubungan. Meski masih saudara ternyata tidak bisa dipercaya. Bubar.
Jamu yang dijual Taji Atmojo, juga jual oleh pedagang jamu yang sama di seluruh Indonesia. Taji tidak menjual jamu secara spesial, tetapi pelayanannya dijamin sangat spesial. Sehingga langganannya banyak.
“Saya tidak membuat jamu. Saya hanya jual jamu. Keperluannya macam-macam. Sakit tenggorokan, sakit perut, asam urat, lambung, kolesterol, tersedia.”
Jamu obat kuat?
Taji Atmojo tertawa terbahak-bahak. Ia mengaku, di mana-mana, banyak orang beli jamu khusus dewasa untuk tujuan biar kuat perkasa. Tangguh tak tergoyahkan. (Finon Manullang)