Rondeaktual.com – Tahun lalu, saya menyusun sebuah buku tentang tinju amatir. Antara lain berisi wawancara Olympian Indonesia, Komisaris Polisi (Kompol) Alberth Papilaya.
Buku tersebut masih menunggu jadwal kapan naik cetak, dan terus menunggu. Sambil menunggu buku terbit, wawancara Alberth Papilaya hadir di Rondeaktual.com.
Kompol Alberth Papilaya lahir di Tobelo, Maluku Utara, 15 September 1967, meninggal dunia karena sakit di Ternate, Minggu, 18 April 2021.
Karir tinju Alberth Papilaya sangat panjang, memenangkan empat medali emas Pekan Olahraga Nasional, lima medali emas SEA Games, dan masuk 8 Besar Olimpiade XXV/1992 Barcelona, Di olimpiade Alberth bertanding di kelas menengah 75 kilogram.
“Saya memulai tinju dari Yonif 732 Benau. Dari sana masuk Pusdiklat Maluku, kemudian masuk Pelatnas, dan akhirnya sampai ke olimpiade,” ucap Alberth. ”Saya bangga bisa ikut olimpiade.”
Berikut 15 petikan wawancara Alberth Papilaya, yang belum sempat dipublikasikan sampai kepergiannya untuk selama-lamanya. Selamat mengikuti.
Siapa orang pertama yang menyuruh Anda berlatih tinju?
Tidak ada yang suruh. Kita dulu berada di lingkungan asrama tentara. Nakal waktu kecil. Orang bilang bandel, gitulah.
Suatu hari saya ikut-ikutan tinju. Eh ternyata enak juga. Ya sudah saya teruskan.
Semua itu timbul dari diri kita sendiri, kemudian didorong oleh orangtua dan rekan-rekan kita anak kolong di Ternate, Maluku Utara. Saya lahirnya di Tobelo.
Saya memulai tinju dari Batalyon Infanteri (Yonif) 732 Benau. Di sana pertama kali saya latihan tinju.
Siapa saja pelatih yang pernah membimbing sebagai petinju, barangkali masih ingat.
Saya waktu itu dilatih oleh papa sendiri (Thomas Papilaja).
Dari Ternate ditarik masuk Pusdiklat di Ambon, ditangani pelatih Otje Tehepiori, Philipus Watilete, Vicky van Room.
Pada 1985, saya pertama kali masuk Pelatnas. Kita dikirim ke Nepal (Kejuaraan Asia Junior V/1985 Katmandu).
Kita pulang bawa lima medali emas (melalui Pujo Hardianto kelas terbang ringan, Stevanus Herry kelas terbang, Ade Hasan kelas bulu, Alberth Papilaya kelas welter, dan Ricky Soares kelas menengah ringan).
Itu menjadi catatan yang sangat bersejarah bagi tinju amatir Indonesia. Kami merebut lima medali emas. Kalau sekarang mana mungkin. Eranya sudah beda. Dulu kita latihannya gila-gilaan.Tidak ada yang malas.
Di Pelatnas, pelatih saya antara lain John Malessi, Zulkaryono Arifin, Daniel Bahari, Ferry Moniaga, dan Carol Renwarin.
Itu yang saya ingat.
Siapa lawan pertama, bertanding di mana, dan siapa pemenangnya.
Aduuuh, tidak ingat juga. Tapi di permulaan tinju (tingkat nasional) saya mengalahkan Erwin Tobing, Ayup Epa, dan seterusnya. Siapa seterusnya, itu yang tidak saya ingat. Sudah lama toh.
Ketika kalah dan ketika menang, bagaimana rasanya?
Ketika saya kalah, motivasi latihan bertambah. Saya pikir, saya musti lawan dia lagi. Saya harus balas. Saya harus menang. Itulah saya.
Saya suka cari lawan baru. Apalagi dia tidak pernah kalah. Di kelas mana dia bertanding, saya ikut. Saya mau coba kalahkan dia.
Untuk menang, orang sudah pasti bangga tapi mempertahakan itu yang susah.
Siapa petinju Indonesia, yang pernah menjadi lawan terberat.
Kalau saya tidak ada lawan yang terberat. Lawan Pino (Bahari) pernah. Saya kalah di final STE kelas 81. Saya sudah berusaha untuk mengalahkan Pino, tapi berat. Waktu itu saya baru operasi hidung. Tampil tidak maksimal.
Waktu hidung saya bengkok, saya tidak bisa bernapas. Kondisi seperti itu sangat tersiksa sekali ketika kita berada di atas ring. Saran dokter harus operasi. Tidak boleh tidak, makanya saya operasi.
Saya sudah mengalahkan Pino Bahari, baik di pertandingan resmi maupun tingkat seleksi nasional.
Ketika menjadi juara, bonus apa saja yang pernah diterima?
Kalau di tingkat nasional tidak ada. Saya lima kali ikut PON dan empat kali dapat medali emas dengan dua kali membawa Maluku dan tiga kali mewakili DKI Jakarta, saya tidak pernah menerima bonus.
Melalui prestasi internasional waktu masih atlet, pernah dari Menpora yang dulu. Saya dapat rumah di Jakarta. Tapi uang muka saja. Cicilan tanggung sendiri. Saya yang bayar sampai lunas.
Bagaimana bisa menjadi wakil Indonesia di olimpiade?
Saya ikut pra olympic dan saya juara di Filipina, mengalahkan petinju dari Mesir dan New Zeland. Medali emas itu yang mengantar saya ke olimpiade.
Ketika tiba di Olimpiade Barcelona, bagaimana rasanya?
Bahagia bangat. Saya bisa mewakili negara untuk tinju di Olimpiade Barcelona 1992 itu sangat luar biasa. Saya rasa itu prestasi tertinggi.
Ketika gagal meraih medali di olimpiade, bagaimana rasanya?
Saya tetap bahagia. Saya senang bisa mengalahkan lawan dan saya bisa sampai di pertandingan perempat final. Saya bisa masuk peringkat ke-7 (dari 32 petinju kelas menengah). Tidak terbayangkan sebelumnya.
Saya bangga bisa mengalahkan Polandia (Robert Buda, 11-5). Berikutnya mengalahkan Afrika (Makoye Isangula, dari Tanzania, dengan skor 13-6).
Saya gagal masuk semifinal, kalah (3-15) melawan Korea (Lee Seung-Bae). Akhirnya petinju Korea dapat medali perunggu (di semifinal Seung-Bae kalah 1-14 melawan Ariel Hernandez dari Kuba. Di final, Hernandez menang 12-7 atas Chris Byrd dari Amerika Serikat).
Setelah tiba di Indonesia dari Olimpiade Barcelona, apa yang ada dalam pikiran?
Saya tetap bangga dan teringat dengan tawaran dari tim Oscar De La Hoya, yang mengajak saya masuk tinju pro. Saya jawab, saya harus kembali dulu ke Indonesia.
Untuk bisa menjadi petinju olimpiade, apa saja yang harus dilakukan?
Tidak gampang ya. Selain mempunyai bakat yang besar dia harus disiplin. Bakat bagus tapi suka melawan pelatih, saya kira dia tidak akan bisa.
Saran saya, jadilah atlet yang taat kepada disiplin latihan dan dia harus bisa melewati babak kualifikasi olimpiade.
Mungkinkah petinju Indonesia bisa meraih medali di olimpiade mendatang?
Saya kira, kalau kita konsentrasi bisa terjadi. Sangat bisa. Saya yakin itu.
Sebagai pelatih, dia harus mempertajam gaya petinju yang sudah ada. Jangan memaksa si petinju harus meniru gaya si pelatih. Itu tidak bagus.
Kalau saya pantau, sekarang kita kalah sama Thailand, dan Filipina, apalagi Cina.
Cina sudah jauh melangkah. Sudah ciptakan juara dunia dan juara olimpiade.
Pelatih kita terlalu ego. Anggap diri paling hebat. Tidak mau minta pendapat dari sesepuh.
Ketika memilih pensiun dari tinju, apa yang dipikirkan?
Cita-cita saya mau jadi pelatih. Itu yang ada dalam pikiran saya.
Ilmu yang kita peroleh selama atlet tidak boleh kita diamkan. Harus dikeluarkan. Harus bisa kita wariskan kepada yunior-yunior kita. Maka itu saya ingin bangat jadi pelatih.
Setelah pensiun dari tinju, apa saja yang dilakukan?
Meneruskan karir di kepolisian. Memberikan waktu untuk keluarga juga untuk Pertina.
Saya sekarang sudah bergabung dengan Pengprov Pertina Jawa Barat. Sebelumnya saya Wakil Ketua Pengprov Pertina DKI Jakarta. Saya sudah ajukan surat pengunduran. Sudah diterima Pak Ketua (Hengky Silatang) dan tidak ada masalah.
Di Pertina Jawa Barat, saya ditempatkan di Bidang Teknik dan Kepalatihan. Itu yang betul. Sebab saya ini orang lapangan. Saya ingin menuangkan pengalaman saya selama bertahun-tahun. Pengalaman itu sangat berharga. Tidak baik kalau saya simpan. Harus dikeluarkan. Makanya, sekali lagi, saya ini cita-citanya jadi pelatih.
Pertanyaan terakhir. Mengapa tidak memilih tinju pro?
Saya tidak tertarik tinju pro, kalau di Indonesia. Kalau kita di Indonesia ini seperti kata pepatah habis manis sepah dibuang. Selagi masih diperlukan kita dipakai. Setelah tidak diperlukan kita dibuang. Itulah nasib atlet.
Tim Oscar De La Hoya pernah minta saya masuk tinju pro. Mereka datang ke tempat penginapan di Olimpiade Barcelona. Mereka bicara tentang masa depan tinju pro. Tentang pertandingan dan tentang bayaran.
Menarik sekali. Waktu itu Pak Try Soetrisno masih Panglima, minta saya pulang dulu ke Indonesia.
Kalau tidak pulang mungkin sudah jadi petinju pro di Amerika. Sudah lebih terkenal, atau mungkin juga sudah menjadi juara dunia, he he he…! (finon manullang)