Rondeaktual.com – Badan Intelijen Negara (BIN) Boxing Camp Jakarta, pernah menangani petinju top. Nyaris setiap minggu bertanding dalam main event tayangan langsung era Sabuk Emas RCTI dan era Gelar Tinju Profesional Indosiar (GTPI).
Saya sempat di sana, sebagai pelatih BIN Boxing Camp Jakarta.
Sebelum terjun sebagai pelatih, saya adalah seorang petinju profesional melalui Satria Kinayungan Jakarta, milik Jenderal terkenal Herman Sarens Soediro.
Saya tidak pernah ikut amatir. Di kampung, Kota Waingapu, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi Nusa Tenggara Timur, tidak ada sasana tinju.
Lepas SMA, saya pergi merantau ke Ibu Kota. Saya mulai belajar tinju ketika usia sudah 21 tahun. Sudah mulai setengah tua.
BIN Boxing Camp Jakarta adalah sebuah gagasan besar yang dirancang oleh Jenderal Purnawirawan AM Hendropriyono, yang ketika itu menjabat sebagai Kepala BIN, era Presiden RI ke-5 Megawati Soekarnoputri.
A Seng Herry Sugiarto bertindak sebagai promotor kami. Almarhum A Seng tidak saja memberikan hati dan perhatiannya yang begitu besar terhadap BIN Boxing Camp Jakarta, tetapi secara merata memberian pikiran dan kemurahan hatinya untuk setiap petinju profesional Indonesia.
Itu sangat mulia dan hebat. Peran promotor A Seng terbukti berhasil mengangkat citra tinju pro Tanah Air sekaligus memperbaiki kesejahteraan petinju Indonesia, melalui bayaran yang berlipat-lipat besarnya dari harga standard.
Sasana BIN waktu itu dihuni oleh petinju Filipina, yang didatangkan dari Ala Gym dan Dante Almario Gym.
Ala Gym di bawah manajemen kepelatihannya yang terdiri dari dua pelatih; Carlos Panalosa (abang dari mantan juara dunia IBF kelas terbang ringan Dodie Penalosa), dan satu lagi pelatih senior bernama Tonny Jumawas.
PETINJU FILIPINA
1. Marvin Tamphus, kelas terbang ringan.
2. Rudel Mayol, kelas terbang mini.
3. Jumma Gamboa, kelas terbang dan mantan juara dunia.
Dua petinju Filipina lainnya di bawah manajemen Dante Almario bergabung dengan manajemen kepelatihan petinju Indonesia, yang terdiri dari:
Manajer: Irjen Pol Bambang Karsono.
Asisten manajer: Mayor TNI Kopassus Sugeng Haryadi.
Pelatih kepala: Alex Rabadeta.
Asisten pelatih: Adrianus Manopo.
PETINJU BIN
1. Nico Touriri, kelas menengah.
2. Hero Katilli, kelas ringan.
3. Anies Ceunfin, kelas terbang.
4. Octavianus Sanganat, kelas bantam.
5. Jose Fermando, kelas bantam.
BIN Boxing Camp Jakarta berdiri pada 2003. Awalnya dikekola sangat baik. Para petinjunya diberikan mess berupa sebuah rumah yang letaknya persis bersebelahan dengan rumah Kepala BIN Hendropriyono.
Itu seperti sebuah penghargaan dari beliau, yang betul-betul mencintai olahraga tinju.
Waktu berjalan setahun 2003-2004 bertepatan dengan pergantian Kepala BIN, keberadaan sasana mulai meredup ditambah lagi dengan wafatnya promotor A Seng. Orang-orang tinju hanyut dalam tangis kesedihan yang amat dalam.
Selanjutnya, para petinju merasa seperti anak ayam yang kehilangan induk. Tidak tahu mau berbuat apa. Satu per satu ingin hijrah.
Petinju pindah sasana dimulai dari Anies Ceunfin, yang ketika itu sudah sempat menjadi juara Indonesia sabuk ATI, mengalahkan Wido Paez, petinju tangguh asal Kota Malang, Jawa Timur.
Sebelumnya, semua petinju Filipina sudah memilih pulang ke negerinya. Sepi.
Bagi saya, banyak kenangan manis dalam kebersamaan kami selama setahun bersama petinju dan pelatih asal Filipina.
Terus terang, cukup lumayan bertambah ilmu kepelatihan yang bisa diambil. Disiplin atlet di dalam mengkomsumsi asupan makanan yang baik saat persiapan sampai pada saat naik ring dan banyak lagi.
Dari sekian banyak kenangan bersama BIN Boxing Camp Jakarta, ada satu kenangan yang selalu saya ingat, yaitu pada suatu kesempatan usai latihan, saya bercerita banyak dengan pelatih Filipina, Tonny Jumawas. Kebetulan beliau adalah pelatih senior yang juga mantan juara dunia era 70-80-an.
Beliau bertanya kepada saya. “Alex, saya lihat kamu melatih petinju-petinju pemula tapi kelihatan seperti sudah berumur semuanya. Kalau boleh saya tahu, berapa umur mereka ini?”
Di BIN Boxing Camp Jakarta, saya juga melakukan pelatihan kepada petinju pemula untuk melapis para seniornya. Dengan polos saya jawab saja ada yang umur 20 tahun dan ada yang muda 17 tahun.
Tonny Jumawas menatap saya. Sambil tersenyum sipu dan menutup mulut dengan tangan kanannya, beliau berkata: “It`s too old Alex, 17 or 20 years old for some body to get boxing training. In Philipin they start from the very beginning for having boxing train. It`s about six, seven until ten.”
Akhirnya saya berpikir, betul juga apa yang disampaikan coach Filipina itu. Pada kenyataannya banyak memang petinju dunia di negara seperti Filipina, Meksiko, Jepang, Thailand, Korea, Amerika apalagi, sudah menjadi juara dunia pada usia 20. Bahkan ada yang lebih muda lagi.
Itulah sepenggal pengalaman selama setahun sebagai pelatih di sasana BIN, Rawajati, Pasar Mingggu, Jakarta Selatan.
Malang tidak dapat ditolak untung tidak dapat diraih. Nasib berkata lain karena saat saya sudah berhasil bertemu dengan orang-orang hebat di dunia tinju seperti Jenderal Hendropriyono dan promotor favorit A Seng Herry Sugiarto, keberadaan sasana BIN tidak dapat berlanjut.
Semua itu setelah kepergian promotor A Seng yang begitu tiba-tiba. Rest in peace.
Alex Rabadeta, menulis dari Kota Waingapu, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi Nusa Tenggara Timur.