Rondeaktual.com – Pada dekade 70-an, ada lima petinju yang rutin menghuni pemusatan latihan nasional (pelatnas) tinju amatir di Senayan, Jakarta. Kelimanya adalah:
1. Ferry Moniaga (DKI Jakarta).
2. Syamsul Anwar Harahap (DKI Jakarta).
3. Frans VB (DKI Jakarta).
4. Wiem Gommies (Maluku).
5. Benny Maniani (Papua).
Kelima petinju memiliki gaya bertinju dengan spesialisasi pukulan yang berbeda. Masing-masing petinju sangat istimewa.
Belum ada petinju Indonesia bergaya boxer seindah Ferry Moniaga. Itu pasti. Gaya bertinju Ferry sangat menyenangkan hati setiap penonton. Ferry adalah bintang.
Sementara, saya spesialis KO. Belum ada petinju Indonesia seperti Frans VB, yang bisa memukul KO lawannya dengan jab. Kombinasi one-two tercepat dan terbaik milik William Gommies. Mengganggu dengan pukulan jab untuk membuka peluang memasukkan straight kanannya yang keras adalah spesialisasi dari Benny Maniani.
Kami dilatih oleh beberapa pelatih nasional. Program latihan sudah standar. Latihan fisik dan latihan bertinju standar.
Selama kami menghuni pelatnas, belum pernah mendapatkan latihan taktik dan strategi. Bagaimana menghadapi petinju yang begini atau begitu gayanya.
Ketika kami dilatih oleh Thomas Sarge Johnson dari USA, barulah kami mendapatkan teori bagaimana menghadapi lawan dengan berbagai gaya.
Tahun 1976, saya mengikuti empat turnamen tinju internasional. April 1976 Kings Cup Bangkok, melaju hingga ke babak final. Apa pengarahan pelatih di ruang ganti pakaian sebelum bertanding? “Hati-hati dan baik-baikya,” nasihat pelatih. Itu saja. Tiba di babak final malawan petinju Korea Selatan, Park Tai Shik. Setelah mengalahkan petinju Uganda, Perancis, dan Pakistan.
Saya mengikuti Olimpiade Montreal 1976. Kondisi stamina saya hanya separoh daripada Kings Cup Bangkok. Melawan Calistrat Cutov dari Rumania hanya menang ronde pertama saja. Saya tidak bertenaga ronde kedua dan ketiga. Akibat di Senayan kanvas ring latihan keras dan ring tinju.Olimpiade Montreal lembut setebal satu inci.
Apa pengarahan pelatih? Selalu itu-itu saja: “Baik-baik ya.”
Saya berangkat ke Karachi, Ali Jinnah Cup 1976. Setelah mengalahkan petinju Hongaria, bertemu petinju tuan rumah di final, Qadir Zaman. Saya kalahkan RSC di Kings Cup 1976. Apa nasihat pelatih? “Baik-baik ya.” Saya merebut medali emas menang angka mutlak.
Pada akhir tahun 1976, Pertina menyelenggarakan Piala Presiden yang pertama. Saya lolos ke babak final, tapi buku jari tengah saya keseleo di semifinal.
Apa akal? Saya bertanya kepada seorang pegawai Sahid Jaya Hotel, tempat kami menginap. Tolong cari tukang pijat karena tangan kiri saya terkilir. Dia menyarankan agar berobat ke Slipi. Ada ahli fisioterapi, Pak Kadar namanya. Saya pun berobat ke sana dan terapinya manjur. Ada perbaikan.
Esoknya, setelah makan sate dan sop kambing versi Benhil (Bendungan Hilir), saya ke Slipi berobat lagi. Ketika saya.tanya biayanya, Pak Kadar tertawa. “Asal saya bisa ikut nonton, itulah bayarannya,” katanya.
Pak Kadar kami jemput ikut ke Istora Senayan.
Malam babak final saya berhadapan dengan Thomas Hearns. Sebelumnya Hearns memukul KO petinju Thailand dan Jepang di bawah satu menit. Semuanya diam. Tidak ada saran. Tidak ada pengarahan.
Saya tersenyum dan dalam hati berkata: “Kalian saja yang tak bertanding takut. Aku akan memperlihatkan taktikku nanti.”
Thomas Hearns memiliki pukulan straight dan hook kanan yang keras. Saya harus berlindung di bawah tangan kirinya agar tidak mudah dicari oleh tangan kanannya. Tak satupun saran taktik atau teknik dari pelatih kami.
“Baik-baik saja ya,” ujar pelatih.
Begitulah kondisi pembina kami dulu. Mungkin kwalitas prestasi kami begitu tinggi. Sedangkan pelatih kami jauh di bawah kami. Sehingga seperti tidak ada keberanian moril mereka untuk memberikan keterangan bagaimana menghadapi lawan secara awam atau menyeluruh.
Tetapi sebaliknya, kami tetap hormat dan menghargai mereka. Belum pernah ada celotehan yang kurang sedap dari kami. Total kami mengikuti program, sedangkan teknik bertinju sudah kami dapatkan sejak awal dari sasana tinju tempat awal kami berlatih. Pelatih kami adalah guru kami.
Syamsul Anwar Harahap, menulis dari Desa Lantosan, Kabupaten Padang Lawas Utara, Provinsi Sumatera Utara.