Rondeaktual.com
Ketika Pekan Olahraga Nasional (PON) XI Jakarta 1985, saya domisili di Surabaya, Jawa Timur. Saya menangani Redaksional Tinju Indonesia.
Tinju Indonesia satu-satunya majalah yang secara spesifik memberitakan tentang tinju, yang lahir pada 1981 bersamaan berlangsungnya kejuaraan dunia pertama di Indonesia antara juara WBC kelas welter yunior Saoul Mamby (Amerika Serikat) versus Thomas Americo (Indonesia). Pada 1990, majalah tutup setelah berkali-kali mengalami kemerosotan akibat permainan agen nakal dan para abonemen mangkir. Mereka tidak mau bayar.
Majalah Tinju Indonesia asli milik Persatuan Manajer Tinju Indonesia (PMTI) Pusat, yang kemudian 100% diurus oleh Setijadi Laksono, pendiri dan pemilik Sawunggaling Boxing Malang.
Setijadi Laksono adalah pemegang medali emas kelas berat PON VII/1969 Surabaya, yang dalam final mengalahkan Firman Pasaribu (DKI Jakarta). Ketika itu, tuan rumah Jawa Timur pesta besar dengan dominasi enam medali emas.
6 EMAS JATIM
1. Kelas terbang ringan 48 kilogram: Abidin.
2. Kelas terbang 51 kilogram: Fakih Hasan.
3. Kelas welter ringan 63,5 kilogram: Wongso Suseno, terpilih petinju terbaik.
4. Kelas menengah 75 kilogram: Abdul Salim.
5. Kelas berat ringan 81 kilogram: Kadoor Singh.
6. Kelas berat 91 kilogram: Setijadi Laksono.
LIPUT PON 1985 Jakarta
Tiga hari menjelang pertandingan cabang olahraga (cabor) tinju PON XI/1985 Jakarta, saya sudah tiba dari Surabaya.
Saya datang atas undangan Majalah Selecta Sport (SS), yang berkantor di Jalan Kebon Kacang XXIX, Tanah Abang, Jakarta Pusat.
Tidak disediakan penginapan. Pihak Redaksi hanya menawarkan lima roll film, Surat Tugas PON XI/1985, dan boleh tidur di ruang kosong lantai dua.
Tidak ada kasur. Tidak ada bantal. Tidak ada selimut. Hanya tikar dan tumpukan majalah return pengganti bantal.
Ada tiga reporter yang tidur atas rekomendasi Redaktur Pelaksana (Redpel) Selecta Sport, Ridwan Idris. Selain saya, ada reporter dari Tegal dan Semarang. Sementara, reporter domisili Jakarta pulang ke rumah masing-masing. Di tahun itu, saya satu-satunya reporter paling yunior. Semua sudah berkeluarga.
Saya pikir ini kesempatan untuk bisa meliput pertandingan tinju sekelas PON. Tidak sebatas tinju, ada olahraga favorit seperti sepakbola, voli, renang. Mau kapan lagi.
PON merupakan liputan yang sangat prestisius. Wartawan olahraga dianggap belum lengkap jika belum pernah meliput PON.
Apa yang saya rasakan alamiah saja. Barangkali juga dialami oleh setiap atlet tinju. PON adalah impian semua orang. Bisa ikut PON rasanya bukan main, apalagi sampai dikalungi medali emas.
Supaya tidak menggangu para redaktur dan karyawan Selecta Group, saya selalu berusaha bangun lebih pagi. Meski pulang dari liputan sudah menjelang tengah malam, pukul enam sudah bangun. Sudah mandi. Bersih dan sehat. Itu mutlak.
Selecta Group antara lain: Selecta, Selecta Sport, Stop, Nova, Senang, Humor, Adam & Hawa, DR (Detektif dan Romantika).
Sebagai tamu yang tidak begitu penting-penting amat, kami bertiga sudah tidak di sana sebelum karyawan masuk pukul 09.00.
Saya memilih singgah ke rumah sebelah. Main catur bersama Mang Udin. Beliau punya anak gadis cantik kelas tiga SMA bernama Siti Maimunah.
Siti mengaku suka tinju. Tapi saya pikir itu bisa-bisanya dia saja, karena dia suka sama saya.
Ketika itu, profesi wartawan sangat dihormati dan bangga. Beda dengan sekarang. Rasa hormat dan bangga sudah habis. Sekarang ada ribuan orang yang tidak bisa menulis sudah mengaku sebagai wartawan. Tinggal paste. Jadilah wartawan copypaste.
Pas pertandingan final, 18 September 1985, Siti Maimunah nekat ingin bersama saya pergi melihat pertandingan tinju. Saya tolak.
Saya pergi sendiri ke arena pertandingan tinju PON XI, Istora Senayan. Di sana untuk pertama kali kelas pin 45 kilogram dipertandingkan. Seluruhnya menjadi 12 kelas, dari kelas pin hingga kelas berat 91 kilogram. Semua putra.
Orang pertama yang menjadi juara PON kelas 45 kilogram adalah:
Medali emas: Susiadi (Jawa Timur).
Medali perak: Ucok Tanamal (Sumatera Utara).
Medali perunggu: Husni Ray (DKI Jakarta).
Medali perunggu: Nico Thomas (Maluku).
Liputan PON XI/1985 Jakarta mengenalkan saya kepada antara lain; Herry Maitimu dan Mika Tobing.
Herry Maitimu (Jambi) memenangkan pertandingan final kelas 48 kilogram, setelah mengalahkan Suyono (Jawa Timur). Pertandingan berjalan ketat. Suyono tampil fighter murni namun harus puas dengan medali perak.
Mika Tobing (DKI Jakarta), adalah peraih medali perak kelas ringan PON XI/1985. Dalam final yang penuh dengan serangan mengagumkan, Mika Tobing kalah dari seniornya Erwinsyah (Sumatera Utara).
Sebelum PON 1985, saya sudah mengenal Mika Tobing, karena dia adalah sahabat Sabam Manullang.
Sabam adalah adik saya, yang berlatih di Sasana Nusantara. Mika berlatih di Sasana Sarinah Jakarta.
Ketika Mika Tobing meninggal dunia di Palembang, Sumatera Selatan, pada Desember 2015, saya sempat memberikan penghormatan terakhir di rumah duka di Jambi. Ketika itu saya sedang meliput final Kejuaraan Piala Wakil Presiden RI yang ke-4. Kepada istri almarhum, saya memperkenalkan diri sebagai Finon Manullang, salah satu sahabat almarhum dalam keluarga tinju.
Sementara, Herry Maitimu adalah salah satu bintang tinju paling sering saya temui. Terakhir bertemu Herry Maitimu di Sasana Dirgantara Jakarta, Jumat, 25 Maret 2021. Herry mengantar petinju Jambi untuk mengikuti seleksi Pelatnas SEA Games XXXI/2021 Hanoi. SEA Games akhirnya tunda tahun depan akiban pandemic COVID-19.
Liputan PON XI/1985 Jakarta memang merupakan liputan yang sangat menyenangkan. Menyisahkan sejumlah pengalaman.
Rela tidur di kantor beralaskan tikar dan tumpukan majalah bekas sebagai bantal dan bermain catur di teras rumah orangtua Siti Maimunah, merupakan pengalaman yang tidak terlupakan. Sampai sekarang.