Rondeaktual.com – Oleh Finon Manullang
Hari ini, Rabu, 9 Februari 2022, saya dua kali berbicara dengan Hermensen Ballo, SH, melalui telepon seluler.
“Tadi pagi saya bangun pukul 02.30, terus ibadah kecil,” kata legenda tinju dari Nusa Tenggara Timur, Hermensen Ballo. “Selesai ibadah, tidur lagi. Pagi sudah bangun dan pergi ke kantor. Saya ini kan PNS, jadi harus masuk kerja. Kalau malam, jam sembilan sudah tidur.”
Hermensen Ballo sekarang tinggal di rumah yang indah, yang dibangunnya sejak tahun lalu.
“Saya masih tetap di rumah yang dulu, Kompleks Perumahan BTN Kolhua Blok V Nomor 07, RT 020 RW 006, Kelurahan Kolhua, Kecamatan Maulafa, Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur. Rumah sederhana. Rumah itu sudah lama saya bangun.”
Hermensen Ballo lahir di Kota Kupang, Provinsi Nusa Tenggara Timur, 26 Februari 1971.
Pria berusia 50 ini dua kali bertanding di olimpiade; Olimpiade XXVI/1996 Atlanta dan Olimpiade Sydney XXVII/2000 Sydney.
“Di dua olimpiade itu saya bertanding di kelas terbang dan minta maaf gagal merebut medali,” ujarnya. Berikut petikan wawancara Olympian Indonesia, Hermensen Ballo, tahun lalu.
1. Pertanyaan pertama. Siapa orang pertama yang menyuruh Anda berlatih tinju?
Itu niat. Di daerah kita memang daerah petarung. Saya ini tukang berkelahi, waktu SD. Saya SD pindah sampai tujuh sekolah dan harus pindah sampai akhirnya di Soe baru bisa sekolah dengan baik.
Kupang itu panas. Orang yang tidak suka berkelahi ada juga. Tapi kita ini paling suka berkelahi.
Di kampung kita tidak berkelahi sehari saja bukan laki-laki namanya.
Kakak dan senior saya petinju semua. Alamia semua. Petinju besar Kupang rata-rata dari kampung kita, namanya Desa Mantasi, yang sekarang menjadi Kecamatan Kota Raja.
2. Siapa saja pelatih yang pernah membimbing sebagai petinju, barangkali masih ingat.
Pertama kakak, Yonas Ballo. Kemudian Max Oil, Ken Balawa, John Malessy untuk pelatnas SEA Games Singapura. Butje Lilipori untuk menghadapi PON 1993 Jakarta. Pertina NTT kontrak Pak Butje biar datang ke Kupang.
Di pertandingan PON 1993 saya merebut medali emas, dalam final mengalahkan Amos Aninam dari Irian Jaya.
Pak Wiem Gommies juga pelatih saya. Kemudian Pak Zulkaryono Arifin, Hidayat Abin, Om Ronny Sigarlaki, Frans VB untuk Pra Olympic.
Pak Daniel Bahari dan Pak Sutan Rambing terbilang dua pelatih yang banyak membimbing saya. Pelatih lain ada dari Kuba.
Ada pelatih Roy Muskanan, Ali Nurawi, David Hari, Yacob Akodetan, Abdul Nuhun, Yance Uwest dan Musa Bako.
Itu nama-nama pelatih yang pernah menangani saya, seingat saya.
3. Siapa lawan pertama, bertanding di mana, dan siapa pemenangnya.
Lawan pertama orang Soe di pertandingan antarsasana Kabupaten Soe. Menang dan juara pada tahun 1995. Umur saya sudah 14 tahun waktu itu.
4. Ketika kalah dan ketika menang, bagaimana rasanya.
Dulu umur 14 saya disuruh main dan ketemu senior pengalaman, Marten Mabilaka, almahrum. KO ronde pertama, karena lowblow dan saya jatuh. Terus dihitung. Saya bangun tapi kakak Yonas sudah buang handuk, tanda menyerah.
Saya marah. Saya jatuh karena pukulan terlarang, bukan karena pukulan sah. Itu sangat tidak fair. Sakit rasanya.
Akhirnya kami ketemu ladi di Porda dan saya balas. Saya menang dan saya senang sekali.
5. Siapa petinju Indonesia yang pernah menjadi lawan terberat?
Denny da Costa dari Jawa Barat. Dia menang terus, waktu itu. Tidak ada petinju NTT yang bisa menang melawan Da Costa. Saya hadapi dia di babak kedua dan saya menang. Puas bisa mengalahkan lawan yang sebelumnya tidak terkalahkan.
6. Ketika menjadi juara, bonus apa saja yang pernah diterima?
Bonus paling besar yang pernah saya terima hanya dari Pemerintah Daerah Nusa Tenggara Timur.
Pemda NTT ada kasih saya rumah dan pekerjaan. Dua kali saya mendapat rumah. Terima kasih sudah memperhatikan nasib atlet.
Ketika juara PON 1993, saya dapat rumah T-36 dan uang sepuluh juta. Juara PON lagi pada 1996, dapat rumah, uang sepuluh juta, dan pekerjaan. Saya PNS.
7. Bagaimana untuk menjadi wakil Indonesia di olimpiade?
Minimal finalis per kelas. Mental juga harus bagus. Saya melalui berbagai proses dari awal sampai yang paling berat, yaitu pertandingan kulifikasi dan lolos.
Saya mewakili negara di olimpiade bukan dengan cara instan. Kami semua olympian tinju berjuang sampai darah terasa mendidih. Jalan menuju olimpiade tidak didapat dari langit.
Saya beruntung bisa sampai dua kali bertanding di olimpiade.
Pertama, Atlanta (Olimpiade XXVI/Atlanta 1996). Saya di sana (kelas 51 kilogram) bersama La Paene Masara (DKI Jakarta, kelas 48 kilogram), Nemo Bahari (Bali, kelas 57 kilogram), dan Hendrik Simangunsong (Sumatera Utara, kelas 71 kilogram).
Kedua, Sydney (Olimpiade XXVII/2000 Sydney, Australia). Saya tetap di kelas terbang (51 kilogram), dan La Paene (kelas terbang ringan 48 kilogram).
Di dua olimpiade itu, saya dan pasti juga atlet lainnya, sudah berjuang habis-habisan untuk mengejar kemenangan. Mungkin kalah kelas dan tidak bisa membawa pulang medali ke Tanah Air.
8. Ketika tiba di olimpiade, bagaimana rasanya?
Luar biasa. Setiap olympian dari cabor mana saja, kalau ditanya kesan tentang olimpiade pasti jawabnya tidak beda-beda amat. Olimpiade sangat super. Baru saya tahu olimpiade begitu. Mengagumkan.
9. Ketika gagal meraih medali di olimpiade, bagaimana rasanya?
Pertama ikut olimpiade ngotot tapi mental tidak sama dengan pertandingan kejurnas. Ada rasa grogi. Itu saya akui.
Masuk olimpiade kedua, saya bertekad untuk dapat medali. Mengejar medali perunggu saja tidak bisa. Saya gagal dan itu saya akui. Apa boleh buat, waktu itu suasana tinju kita tidak kondusif.
Jujur, saya berharap orang yang membawa saya adalah Om Ronny (Sigarlaki), karena dia yang cape dengan kita tapi yang bawa orang lain. Sehingga tidak menjiwai kita.
Waktu bertanding saya bertanya: Om, saya menang atau tidak. Dia bilang kamu menang. Saya tidak tahu dapat menang dari mana. Menurut versi dia, saya dia bilang menang, makanya dia suruh saya lari-lari. Hindari pukulan.
Pada saat pengumuman hasil pertandingan, saya kalah. Saya kecewa sekali.
10. Setelah tiba di Indonesia dari olimpiade, apa yang ada dalam pikiran Anda?
Saya berpikir saya pensiun saja. Tinju saya anggap sudah selesai. Tapi pada tahun 2001, saya dipanggil lagi masuk Pelatnas.
Karena sudah terlanjur kecewa, saya kabur dari kabur pelatnas. Saya tidak mau ditangani oleh orang yang sama di Olimpiade Sydney.
Saya lari dari Pelatnas. Naik kapal laut dari Tanjung Priok pulang Kupang. Tiga hari di laut termasuk singgah di Tanjung Perak dan Gilimanuk.
11. Untuk bisa menjadi petinju olimpiade, apa saja yang harus dilakukan?
Dia harus memenangkan pertandingan supaya mendapat nilai baik dari tim pelatih. Kalau bisa umur 20 sudah juara. Kalau sudah juara, panggil dia masuk pelatnas. Jangan belum juara sudah masuk pelatnas. Itu tidak mendidik.
Setiap atlert harus bisa mematuhi semua aturan. Jangan urakan. Kasih contoh yang bagus-bagus saja. Menyemangati teman sendiri juga perlu.
12. Mungkinkah petinju Indonesia bisa meraih medali di olimpiade mendatang?
Sangat bisa, asal binanya di luar. Kalau dia di Indonesia sulit. Di sini virusnya banyak. Medsos itu sangat berbahaya. Latihan bagus. Di kamar rusak, karena main HP terus.
Kalau HP kita sita, nanti dilaporin bahwa pelatih telah merampas HP. Ribut. Pelatih disalahkan.
Kalau bina di luar, dia harus pakai uang pemerintah. Dana pelatnas luar negeri. Itu sangat mungkin. Kalau dipersiapkan di Indonesia, saya ulangi lagi, berat. Pelatnas sebaiknya di luar negeri. Itu pun harus dengan catatan pelatnas panjang. Kalau pelatnas umurnya hanya tiga-enam bulan, jangan berharap banyak. Pelatnas itu harus dua atau tiga tahun. Sekarang tinggal hitung, berapa uang yang diperlukan. Saya pikir bukan uang sedikit.
13. Ketika memilih pensiun dari tinju, apa yang pikirkan?
Keluarga. Bagaimanapun keluarga itu penting. Itu kita harus pikirkan.
14. Setelah pensiun dari tinju, apa saja yang dilakukan?
Saya bekerja sebagai PNS. Saya ikut menangani petinju pelatda NTT dan petinju pelatnas. Tidaksekali saja saya menerima SK (Surat Keputusan) sebagai pelatih pelatda dan pelatih pelatnas. Artinya, dari tinju untuk tinju juga.
15. Pertanyaan terakhir. Mengapa tidak memilih tinju pro?
Saya minta maaf, saya melihat tinju pro Indonesia apa yang seharusnya kita tahu tidak diajarkan untuk kita tahu. Sepertinya sengaja ditutup-tutupi.
Contohnya, dia bertanding dengan kontrak satu juta, tetapi tidak pernah dikasih tahu tentang sponsor. Ada juga kontrak yang terbuka, dibayar sekian dan dipotong 30 sampai 40 persen.
Menurut saya, seorang petinju pro harus terikat kontrak. Seorang manajer harus memotong uang petinju, tergantung kesepakatan, potong 30 atau 40 persen. Tidak boleh tidak dipotong. Harus dipotong dan itu sangat mendidik.
Waktu bagusnya saya dahulu datang tawaran untuk masuk pro dari promotor Boy Bolang. Saya minta ampun. Saya tolak. Saya tidak mau masuk pro.
Petinju top mana yang paling kaya di Indonesia? Chris John dikatakan kaya tidak. Daud Yordan tidak. Padahal mereka bertanding sebagai juara dunia.
Apakah ada pendatang baru dibayar 10 juta? Mungkin tidak ada.
TENTANG
HERMENSEN BALLO
Nama: Hermensen Ballo, SH.
Lahir: Kota Kupang, Provinsi Nusa Tenggara Timur, 26 Februari 1971.
Usia: 50 tahun.
Pekerjaan: PNS, KABID Pembudayaan Olahraga, Dinas Kepemudaan dan Olahraga (Dispora) Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Nama istri: Jane Magdalena, SE, kelahiran Surabaya, 15 Juni 1974.
Nama anak:
1. Jarden Gil Holy Sydney Ballo, kelahiran Kupang, 21 Maret 2002, sekarang kuliah Fakultas Kesehatan Masyarakat, jurusan Psycholog.
2. Suzanthyka Mayoliesta Chelsea Ballo, kelahiran Kupang, 20 Mei 2006, SMA kelas 1, Sekolah Kristen Generasi Unggul.
3. Prince Trystan Dama Ballo, kelahiran 15 Juni 2007, kelas 3, SMP Kristen Generasi Unggul.
Alamt rumah: Kompleks Perumahan BTN Kolhua Blok V Nomor 07, RT 020 RW 006, Kelurahan Kolhua, Kecamatan Maulafa, Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur. *
Ikuti terus Wawancara Olympian Indonesia berikutnya, Nemo Bahari dari Bali dan akan ditutup wawancara Bonyx Saweho dari Sulawesi Utara.