Rondeaktual.com
Saya benar-benar merasa tumbang dan ambruk. Benar-benar KO dan memutuskan untuk tidak kembali ke Jakarta. Saya memilih tetap di Sragen. seorang diri di hotel. Rombongan lain pulang ke daerah masing-masing, Minggu pagi, 6 Maret 2022.
Saya tumbang KO bukan karena ikut bertanding. Tidak. Saya KO setelah meliput pertandingan paling unik dalam sejarah tinju Tanah Air, yaitu Big Fight at The Hajatan, kejuaraan Indonesia kelas bulu yunior versi KTI di Kampung Prampalan RT 21, Desa Krikilan, Kecamatan Masaran, Kabupaten Sragen, Provinsi Jawa Tengah, Sabtu, 5 Maret 2022.
Unik dan tidak biasanya pertandingan tinju digelar untuk tasyakuran khitan Samsul Ma`arif dan Ero Allrosyd Muslim, anak dan cucu promotor Suprapto David.
Saya mengalamai kelelahan, kurang tidur dan tentu masalah umur juga. Umur sudah pas-pasan. Sudah tua. Tubuh demam tinggi. Keringat bercucuran. Tengah malam menggigil dan hampir saja lewat. Saya memaksakan diri untuk berdiri lalu mematikan AC. Sementara, wasit Erik Suwarna di sebelah tidur pulas.
Bangun pagi, batuk mulai datang menyerang. Napsu makan sudah hilang. Erik Suwarna dan wasit Suwarno yang datang dengan satu keluarga di kamar sebelah, pulang meninggalkan saya.
Minggu siang, promotor Suprapto David (seterusnya saya sebut sebagai Mas Prapto) datang, membawa obat yang saya pesan; air cacing dan paracetamol. Saya ditawari supaya pergi ke rumah sakit. Saya tolak. Saya pikir cukup istirahat saja. Ricky Manufoe, petinju asal Karanganyar, janji mau datang tengok orang sakit. Ternyata, dia bilang dia lupa.
Hari Senin, kondisi makin drop. Senin tengah malam semakin buruk. Meriang. Saya pergi ke rumah sakit dan menerima obat untuk meredakan nyeri dan gejala radang. Obat ini adalah obat keras, karena tidak boleh digunakan sembarangan dan harus sesuai dengan resep dokter. Dikasih obat tidur hanya untuk dua kali minum. Satu lagi obat untuk mengatasi infeksi bakteri di tenggorokan dan saluran kencing. Antibiotik dalam bentuk tablet 500 mg ini yang akan menghambat perkembangan bakteri.
Di tengah malam, saya meninggalkan rumah sakit dengan rasa benci karena dokter yang menangani saya menolak BPJS. Percuma saja bayar Rp 100 ribu setiap bulan.
Ketika saya diperiksa, di tempat tidur sebelas ada pasien yang kondisinya membuat saya drop. Saat itulah saya teringat pelatih tinju amatir RE Boxing Watutumou, Minahasa Utara, Donald Patras.
Pada tahun 2015 Kejunas Elite Mens & Womens Makassar, Donald Patras terkesan dibiarkan sakit di kamar hotelnya. Tidak ada yang mau mengurusnya, sampai akhirnya saya datang dan membawanya ke rumah sakit dengan menggunakan becak dayung. Di tahun itu belum ada taksi online.
Di rumah sakit, Donald Patras masuk ke bangsal umum yang penuh pasien berdarah-darah. Kelihatan tidak sehat.
Donald Patras meminta supaya saya memindahkannya dari ruang tersebut. Sementara, pelatih RE Boxing yang ikut mengantar memilih pulang. Sedangkan, seorang pria yang ikut dalam rombongan besar tinju RE Boxing, tidak mau menunggu dan berkata begini: “Torang kamari bukan untuk jaga Coach Donald.”
Sadis kata-kata itu. Tapi ya sudah lah. Mereka pergi. Saya sendiri dan menjumpai perwakilan rumah sakit. Saya minta agar pasien atas nama Donald Patras dipindah dari ruang bangsal umum.
Pihak rumah sakit keberatan, karena jatah Donald Patras memang harus di ruang yang jumlah pasiennya lebih 50 orang.
Situasi seperti itu bukan membuat orang sakit menjadi sembuh, melainkan membuat orang sakit tambah sakit. Stres melihat situasi yang begitu banyak.
Saya minta pindah kamar. Pihak rumah sakit menolak dengan alasan kamar penuh. Saya tidak percaya. Saya pergi mencari kamar kosong. Naik-turun tangga dan ternyata di lantai tiga ada ruang kosong. Tempatnya sehat dan bersih.
“Tolong pasien atas nama Donald Patras segera dapat dipindahkan. Berapa pun biayanya, saya bayar.” Saya gertak begitu saja.
Pihak rumah sakit yang piket malam percaya dan langsung memindahkan Donald Patras, tanpa menyuruh saya ke kasir untuk mengeluarkan uang jaminan.
Tak sampai satu jam, Donald Patras langsung ditangani dengan cepat dan sehari kemudian sudah bisa meninggalkan rumah sakit. Tekanan darahnya sudah normal. Hebat sekali penanganannya.
Di Sragen, saya memang tidak dirawat inap. Dokter mengatakan, bila demam saya tinggi, maka harus rawat inap.
Seketika itulah saya terbayang dengan pelatih tinju Donald Patras, yang dimasukkan ke dalam ruang umum. Bisingnya bukan main dan jauh dari bersih.
Beruntung saya di Sragen tidak sampai separah Donald Patras di Makassar. Mungkin karena saya berani melawan malas untuk pergi berobat seorang diri di tengah malam. Kalau saja saya terlambat pergi ke rumah sakit, barangkali saya sudah lewat. Tidak ada lagi orang setia menulis tentang tinju Indonesia.
Hampir pukul dua dini hari saya tidur, setelah minimum obat dan saya menutupnya dengan berdoa.
Pukul 08.15 saya bangun. Napsu makan masih hilang. Namun saya paksa makan kemudian minum obat dan meneruskan tidur.
Pukul 11.00 saya bangun. Rasanya sudah beda. Badan mulai enak. Kuat dugaan obat antibiotic yang dokter kasih itu adalah yang membuat saya sembuh.
Luar biasa obatnya. Hanya minum dua kali, saya sudah bisa mandi air panas (pesan dari OB dengan cara bayar). Sudah bisa makan. Sudah bisa berkemas siap-siap pulang ke Desa Tridaya, Jawa Barat.
Pukul 12.00, Mas Prapto datang. Kami ngobrol di teras kamar. Tidak lama istri Mas Prapto (Erna Setyawati, S.Pd) datang dengan sepeda motor. Saya bertanya, mengapa Mas Prapto datang dengan mobil dan istri naik motor. Mas Prapto menjelaskan, istrinya dari kantor langsung ke hotel.
Istri Mas Prapto sempat menawari makan dulu sebelum pulang. Saya menjawab, terima kasih, baru saja makan siang.
Kami bertiga ngobrol dan sudah pasti tentang tinju. Mas Prapto harus pontang-panting mengumpulkan uang untuk menggelar pertandingan tinju amatir dan profesional di wilayah Jawa Tengah.
Mas Prapto satu-satunya promotor yang bisa menggelar lima kali pertandingan dalam setahun. Itu rekor.
Mas Prapto, barangkali, satu-satunya promotor yang sampai jual sawah. Gadai BPKB. Jual mobil. Semua untuk tinju.
Tidak mudah untuk menjadi seorang promotor daerah. Apalagi di era seperti sekarang, sedikit-sedikit mengangkat COVID-19 sebagai tameng untuk menolak berpartisipasi.
Tetapi itu kamuflase. Mas Prapto tidak akan patah menghadapi dalih COVID-19. Kepromotoran Mas Prapto tetap hidup. Jika tidak ada hambatan visa, pada Juni mendatang Mas Prapto akan mendatangkan petinju Jepang, melalui Ricky Manufoe. Ricky adalah petinju asal Karanganyar, yang baru saja menjadi juara Indonesia kelas bulu yunior versi KTI, yang memiliki hubungan baik dengan Jepang.
“Sudah ada dua kabupaten yang minta bikin pertandingan. Saya akan jalan lagi setelah Lembaran,” kata Mas Prato sambil mengantar langkah saya masuk ke dalam bus malam menuju pulang.
Dari dalam bus, saya masih sempat melihat bayang-bayang Mas Prapto dan istri menjauh. Itu tak akan terlupakan.