Rondeaktual.com, Bandung – Seorang kawan memberi tahu bahwa saya sudah ditunggu oleh Oesman Hassan, di Bandung.
Oesman Hassan yang dimaksud adalah personalia Komisi Tinju Indonesia (KTI) Jawa Barat tertua. Ia menjabat sebagai Sekretaris dan sering duduk di meja dewan juri bersama Ketua KTI Jawa Barat, Ebert Hutagalung. Setiap menjalankan tugas KTI, ke mana-mana, Oesman-Ebert selalu berdua.
Saya menyebut beliau “tertua” karena usianya kepala 8. Saat ini tidak ada pengurus harian KTI berusia 80-an. Oesman Hassan, kelahiran Aceh, satu-satunya yang tertua.
“Saya sudah 87 tahun. Nanti bulan Maret saya genap 87 tahun,” kata Oesman Hassan di ruang tunggu Rindam Kodam III/Siliwangi, Bandung, Jawa Barat, Selasa (13/11/2018).
Saya sering bertemu Oesman Hassan. Tahun lalu kami jumpa di pemakaman Kol CKU (Purn) FK Sidabalok di Bandung. Oesman Hassan menjadi pengurus KTI satu-satunya menghadiri pemakaman tersebut.
Sidabalok adalah orang yang menyelundupkan Thomas Americo dari Timor Timur untuk dijadikan sebagai petinju profesional di Malang, Jawa Timur.
Ketika jumpa di ruang tamu Rindam Siliwangi, saya melihat Oesman Hassan tiduran di sofa empuk. Di sebelah tangan kanannya terletak tas cokelat tua dan kunci kenderaan. Saya bangga karena beliau masih berani menyetir sendiri.
Luar biasa. Di usia yang sudah sepuh masih mengemudikan mobil.
Terdorong oleh rasa senang dan bangga bisa bertemu tokoh tinju setua Oesman Hassan, saya langsung bicara begini: “Selamat pagi, Pak Kolonel.” Karena tidak ada reaksi, kalimat yang sama saya ulangai sampai tiga kali. Beliau adalah purnawirawan TNI AD.
Pak Kolonel terbangun kemudian membetulkan posisi duduknya. Saya mengulurkan tangan dan kami salaman.
Setelah memandangi wajah dan tubuh beliau, saya bicara begini: “Bapak kelihatan sehat sekali. Perut Bapak bagus, tidak besar seperti kebanyakan orang, besar dan buncit.” Saya menyentuh perut Pak Kolonel, untuk memastikan perutnya langsing.
“Alhamdulillah,” beliau bersyukur. “Saya sehat. Cuma ini agak sakit,” beliau meraba-raba bagian punggung. “Kalau mau berdiri harus pelan-pelan. Tidak bisa langsung tegap. Ya…, begitulah kalau sudah tua.”
“Hebat. Bapak bisa menjaga tubuh stabil sampai sekarang.”
“Terima kasih. Saya makan tidak seberapa. Seperti orang bilang, berhentilah makan sebelum kenyang. Kalau sudah malam saya tidak makan. Saya makan roti. Saya gulung-gulung lalu saya celupin ke madu dan susu. Enak, sambil menonton televisi sampai malam. Kalau saya tertidur, istri datang membangunkan. Saya bangun dan pergi ke tempat tidur.”
“Kalau pagi makan juga?”
“Ya. Saya makan roti. Siang sebelum tengah hari saya makan nasi dan makan apa saja. Saya tidak ada pantangan. Ayam atau daging saya makan. Asal yang tadi itu, berhentilah makan sebelum kenyang.”
“Kalau masih ingin.”
“Itu yang harus dilawan. Jangan makan terlalu banyak.”
“Bapak tidak ada penyakit ya.”
“Alhamdulillah. Cuma kalau malam suka pergi ke kamar kecil. Kalau sudah begitu susah mau tidur lagi. Dulu (tahun 1996) saya pernah kena prostat. Dokter bilang bisa kena lagi kalau sudah duapuluh tahun. Mungkin itu, makanya sering kencing tengah malam.”
Pembicaraan kami berhenti. Dan Rindam Kol Inf Indarto Kusnohadi, S.Ip, datang kemudian mengajak masuk ke ruangannya.
Ketika ruang Dan Rindam sepi, Oesman Hassan tiba-tiba menyebut narkoba. “Saya hanya ini yang tidak bisa berhenti,” beliau mengambil sesuatu dari saku baju. Ternyata rokok. “Narkoba ini yang tidak bisa saya hilangkan. Saya perokok berat.”
“Sehari habis setengah bungkus?”
“Dua bungkus.”
“Apa sih rasanya kalau tidak merokok dan apa rasanya kalau merokok.”
“Mengantuk kalau tidak merokok. Kalau merokok kan ada kegiatan. Rokok kita jepit. Tangan bergerak. Hidup jadi semangat. Kalau saya merokok, asapnya saya buang. Tidak seperti ipar saya, asapnya ditelan.”
“Tidak batuk?”
“Kadang saja. Kalau batuk istri atau anak saya bilang itulah akibat merokok. Saya disuruh berhenti. Saya menurut tapi saya tetap merokok. Rokok ini sangat bahaya,” beliau memperlihatkan tulisan yang ada di bungkus rokok; PERINGATAN MEROKOK MEMBUNUHMU.
“Mengapa masih menyetir sendiri?”
“Saya suka. Saya bawanya pelan-pelan saja. Kalau kendaraan yang di depan berhenti, berarti lagi lampu merah. Saya harus injak rem. Kalau jalan, saya ikut jalan.”
Haaa haaa haaa …! Kami tertawa.
Finon Manullang