Rondeaktual.com – Coretan Finon Manullang
Saya sengaja pergi ke Kota Tua, setelah mengikuti pertemuan panitia tinju Piala Bang Japar di Senayan, beberapa hari yang lalu.
Saya ingin melihat Kota Tua menjelang pertandingan tinju amatir kolaborasi Pertina DKI Jakarta dengan Ormas Kebangkitan Jawara & Pengacara, atau popular disebut Bang Japar.
Kota Tua sudah terkenal sejak dahulu kala. Hampir semua kebutuhan hidup manusia ada di sana. Pelancong tidak pernah berhenti melangkah.
Sementara, revitalisasi telah menjadikan kawasan Kota Tua rendah emisi. Kualitas udara menjadi lebih baik. Masyarakat bisa menikmati area pejalan kaki yang padat dan bersih. Transportasi publik yang lebih terintegrasi.
Bila malas membawa kendaraan pribadi karena susah mencari lahan parkir, bisa menggunakan kereta api atau busway. Hanya memerlukan seratus langkah sudah tiba di tengah pusat kawasan Kota Tua.
Di sana, di pekarangan Museum Fatahillah yang sangat bersejarah, Jalan Taman Fatahillah, Tamansari, Jakarta Barat, akan berlangsung pertandingan tinju amatir Piala Bang Japar, Minggu, 25 September 2022.
Pertandingan hanya sehari, mulai pukul 09.00 dan sebelum magrib seluruh acara –tinju dan musik organ tunggal—sudah selesai. Sudah boleh pulang.
Jauh sebelum revitalisasi dilakukan, saya pernah berjalan kaki dari ujung ke ujung, melihat gedung-gedung tua peninggalan sejarah. Melihat gedung-gedung tua yang tidak terawat, yang di dalamnya menjadi tempat penampungan gerobak dan barang para pedagang kakilima.
Itu awal tahun 2000, ketika masih terikat kerja sebagai wartawan untuk sebuah koran pagi di Ibu Kota. Menulis Kota Tua dari sudut-sudut yang tersembunyi sangat menarik. Saya pernah investigasi dan harus berdiri lebih satu jam di mulut pintu masuk, yang di dalamnya menjadi gudang dan tempat orang bermain kartu.
Saya sengaja pura-pura membaca buku Tokoh Spion Rusia, untuk memastikan bahwa di dalam ada sekian orang yang memegang kartu. Pot besar. Tidak ada uang receh. Bila seseorang pulang dengan muka buruk, maka bisa dipastikan kalau orang itu baru saja kandas. Jangan-jangan sudah tidak tersisa uang untuk ongkos pulang, itu dalam pikiran saya.
Biasanya memang begitu. Seorang pemain judi yang kandas akan memanggil taksi dengan cara bayar di rumah.
Di sana, saya pernah dibentak seorang anak kecil jelek dekil. Mulutnya bau daun kering. Mungkin dia baru saja make cimeng.
Saya sebut dia “anak kecil” karena umurnya kira-kira lima belas tahun di bawah saya. “Ngapain berdiri di situ,” tegurnya. Congkak sekali. Matanya liar mengawasi saya mulai dari ujung sepatu sampai ujung rambut. Cover buku yang saya baca, hampir saja saya benamkan ke mulutnya.
Saya tahu dia anak rantau dan saya bicara begini: “Tak ngapa-ngapian. Cuma tengok-tengok aja.” Dia diam dan pergi ke dalam. Saya pikir dia akan kembali dengan gerombolannya. Saya segera cabut.
Saya paling sering investigasi untuk melengkapi tulisan kaki (feature story). Saya pernah diajari oleh seorang mantan petinju dan pencatat waktu (time keeper). “Kalau ada yang tanya dari mana, bilang anggota. Pasti dia diam,” kata almarhum Leman Raden. “Kita ini anggota. Anggota tinju,” tambahnya. Saya tersipu.
Di Kota Tua, saya pernah meliput pertandingan tinju amatir Piala Gurbernur DKI Jakarta. Peserta banyak dan harus melewati penyisihan, semifinal, dan final. Pertandingan berlangsung selama empat hari, tahun 2006.
Di tahun itu saya menangani Ronde, majalah tinju satu-satunya yang secara spesifik memberitakan tentang tinju amatir dan pro dalam dan luar negeri. Saya satu-satunya yang pernah menerbitkan majalah tinju. Itu menjadi sejarah bagi pertinjuan Indonesia.
Di Kota Tua, saya pernah menjumpai petinju besar kita, siapa lagi kalau bukan southpaw Syamsul Anwar Harahap.
Syamsul Anwar hidup di sana bersama Iqlima Malik Siregar dan kedua anak mereka yang usinya belum lima tahun; Putra Namora Anwar Harahap dan Putri Hasian Anwar Harahap.
Sebelum era COVID-19, atau pada tahun 2019, saya pernah satu jam bercakap-cakap dengan Syamsul Anwar. Kami membicarakan karir legenda Wiem Gommies, Frans van Bronckhorst, Benny Maniani, dan Ferry Moniaga.
Meski kopi bukan favorit saya, tetapi Syamsul Anwar langsung berteriak ke kedai di seberang kami duduk, milik Syamsul. ”Kirim kopi satu ya,” katanya.
Tiga hari yang lalu, Selasa, 20 September, ketika mengunjungi Kota Tua, yang pertama terbayang di kepala bukan di mana letak ring tinju Piala Bang Jafar akan dipasang, tetapi mencari rumah Syamsul Anwar Harahap.
Ternyata sudah beda. Kafe di pinggir jalan dan kafe terlaris di sana, milik Syamsul Anwar, sudah tidak ada. Toilet yang pernah mencatat rekor berpenghasilan terbesar, sudah take over.
Menurut Johan, penjaga toilet, ia awalnya jualan di Kota Tua. Entah mengapa, Syamsul tertarik dan mengajaknya bergabung.
“Pak Syamsul yang mengajak saya. Tapi toilet ini sudah pindah tangan. Sudah bukan punya Pak Syamsul lagi. Saya tetap di sini, hidup dari hasil uang toilet.”
Saya segera memberitahu Syamsul Anwar, bahwa saya sedang berada di Kota Tua, persis di depan pintu tempat tinggal Syamsul Anwar.
“Kami sekarang sudah di Medan,” balas Syamsul.
Menurut Johan, sejak kehadiran konsorsium, para pedagang kakilima sudah berjualan di Kota Tua. Sebelumnya, mereka mencari nafkah di sepanjang trotoar.
Kota Tua dulu dan sekarang sudah beda. Dulu kumuh. Sekarang bersih. Tidak ada lagi pedagang kakilima. Pedagang asongan yang menawarkan minuman dingin dan laris manis, sudah habis. Pengamen yang dulu datang hampir setiap lima menit, sudah menjauh. Parkir liar di depan kantor pos sudah dihapus. Bebas asap.
Minggu, 25 September, dari pagi hingga sore, turis lokal dan mancanegara dapat menyaksikan pertandingan tinju amatir Piala Bang Japar. Di sana juga ada peramal nasib, foto dokumentasi, makanan dan es krim yang konon bisa menari-nari di lidah, dan tempat-tempat yang besejarah, tersedia di Kota Tua.
Hati-hati. Di sana, apa-apa mahal.