Rondeaktual.com
Jalan hidup manusia tidak ada yang bisa menduga. Ferry Hanafi, 53 tahun, mantan petinju Sawunggaling Surabaya kelas bulu tahun 90-an, adalah satu dari sekian mantan petinju yang berhasil dalam kehidupannya.
“Setelah bertemu dia (Eka Sari Sitepu, istrinya), kehidupan mulai berubah,” kata Ferry Hanafi, di ruang tamu rumahnya di Jalan Jati, Sungai Bambu, Tanjung Priok, Jakarta Utara, Senin, 17 Juli 2023.
Ferry Hanafi adalah mantan petinju profesional asal Makassar, Sulawesi Selatan. Pada tahun 1989, setelah lulus dari STM Negeri 2 Makassar, Ferry datang ke Surabaya untuk tunjuan tinju. Di ujung karirnya gagal menjadi juara, yang mengantarnya menjadi gelandangan dan tidur di pinggiran rumah di Jakarta.
Sekarang Ferry Hanafi sudah tidak gelandangan lagi. Ia hidup di rumah yang tergolong luas dan besar bersama istri dan kedua anak mereka.
Ferry Hanafi mencapai kehidupan yang bagus dan tetap sederhana. Tidak mau disebut sebagai orang yang sudah “kaya”. Memiliki rumah lebih dari satu. Mendatangkan orangtuanya dari Makassar ke Jakarta dan memberikan rumah di daerah Tanjung Priok untuk tinggal.
“Rumah yang di Makassar sudah tidak ada. Orangtua sudah saya minta pindah ke Jakarta,” kata Ferry Hanafi, kelahiran Palembang, Sumatera Selatan, 23 Mei 1970.
Sebelum menjadi “orang” seperti sekarang, Ferry memulai perjalanan hidupnya dari Makassar ke Surabaya.
“Saya bergabung dengan sasana tinju yang legendaris di Surabaya, yaitu Sawunggaling Boxing Camp, milik Pak Setijadi Laksono. Di Sawunggaling, saya mendapat kamar di ujung, paling belakang. Saya berlatih bersama para senior tinju Sawunggaling seperti Wongso Indrajit, Hengky Gun, Suwarno Perico, Pipino Sihombing. Kemudian ada Junai Ramayana, Boy Aruan, Salamun Aramus Putra, Teng Hok Tengaraja, Yudith Kurniawan, Dobrax Arter, Agus Ekajaya. Waktu itu ada Supriyo dan Ajib Albarado, tapi mereka pulang tidak tinggal di asrama tinju.”
Ferry Hanafi datang ke Surabaya belum bisa tinju. Tetapi, Setijadi bermurah hati menerima Ferry, menyediakan tempat tidur, menyediakan makan, dan mengajarinya bagaimana melepaskan jab-straight yang baik dan benar.
Setelah bisa bertinju, Ferry bertanding di partai empat rondean, kemudian naik enam ronde, delapan ronde, dan sepuluh ronde. Pernah bertanding melawan antara lain; Nico Demis, Ahmad Fandi, Lucan Tiran, Iskandar, John, Tony. “Lupa siapa saja yang pernah saya kalahkan,” katanya.
Tinju sepertinya bukan tempat yang pas bagi Ferry Hanafi. Entah mengapa, ia bersama Erwin Sihotang pergi merantau ke Medan hanya untuk menjadi tukang parkir.
“Kalau malam, saya menumpang tidur di rumah Erwin. Tidak lama pekerjaan parkir saya tinggal. Kembali ke Sawunggaling dan ditolak. Saya pergi ke sasana Pirih dan diterima oleh Pak Eddy Pirih. Pelatih kami orang Filipina, Mario Lumacad. Saya diantar bertanding ke Indramayu, kejuaraan Indonesia kelas bulu melawan Budi Suganda dari Red Cobra Bandung. Saya kalah angka dan gagal menjadi juara Indonesia. Pulang ke Surabaya, saya menghadap manajer tapi dilarang keluar. Pak Mario juga bilang supaya saya tetap main tinju. Tetapi, saya pikir tinju tidak akan menghasilkan apa-apa. Saya ingin masa depan yang berbeda, bukan tinju. Akhirnya saya merantau ke Jakarta. Tinju hilang dari pikiran. Saya ingin fokus kerja, itu yang ada dalam pikiran saya.”
Di Jakarta, hidup Ferry Hanafi semakin tidak ada tujuan. Kerja kuli bangunan dan membuatnya gelandangan.
“Saya kerjanya angkat-angkat batu, pasir, dan dibayar dengan cara harian. Murah. Tidak cukup untuk hidup. Saya putuskan keluar dan ikut kapal. Sempat kerja di kapal penangkapan ikan. Tidak sanggup, karena uangnya juga sedikit. Saya pergi ke Thailand dan setahun di sana. Tadinya saya pikir bisa kerja di kapal besar, yang kalau sekali berlayar bisa selama satu tahun.”
Apa-apa yang dikerjakan Ferry Hanafi gagal. Tetapi, pria tampan kalem dan ramah ini tidak gagal untuk mendapatkan gadis pilihan hatinya; Eka Sari Sitepu, yang berasal dari daerah Sumatera Utara.
Kisah cinta yang unik. “Aku kasihan melihatnya,” kata Eka Sari Sitepu, yang lahir di Medan dan usia delapan tahun sudah di Jakarta. “Gelandangan tidak punya apa-apa. Kasihan dan itu mungkin yang membuat semakin jatuh cinta,” Eka Sari Sitepu menambahkan.
“Saya sempat suruh dia pergi cari pria lain. Saya ini luntang lantung. Tidak punya apa-apa dan tidak punya pekerjaan. Jauh dibandingkan dengan kamu,” kenang Ferry Hanafi, salah satu murid tinju Sawunggaling yang memiliki pukulan KO.
Ternyata, hati Eka Sari Sitepu tidak pernah bergeser. Ia harus mengakui, memang benar-benar menyayangi dan mencitai Ferry Hanafi.
Pada tahun 2003, Ferry Hanafi resmi mengambil Eka Sari Sitepu sebagai istrinya. Pasangan yang harmonis ini telah dikaruniai dua anak; Meldrick (STM kelas 3) dan Marciano (SMP kelas kelas). Ferry berharap salah satu anaknya bisa memperoleh bea siswa luar. “Kelihatan lebih cerdas dari orang sebayanya,” kata Ferry Hanafi.
Tentang nama kedua putra mereka, menurut Ferry, Meldrick diambil dari nama mantan juara dunia kelas welter yunior dan kelas welter yang hebat Meldrick Taylor (Amerika Serikat) dan nama mantan juara dunia kelas berat yang tidak terkalahkan Rocky Marciano (Amerika Serikat).
“Saya suka namanya saja, supaya ada kenang-kenangan bahwa saya adalah mantan petinju,” ujar Ferry Hanafi.
Di permulaan membangun rumah tangga, Ferry Hanafi bekerja dengan keluarga istrinya. Tekun dan mendalami pekerjaannya di bidang koperasi, lama-lama Ferry menjadi matang. Ia permisi untuk membuka usaha sendiri.
Itu merupakan pilihan hidup yang tepat. Berdikari. Ferry terus berkembang sampai sekarang.
“Dibilang hebat tidaklah. Cuman, kalau dulu tidur di emper rumah orang, sekarang sudah bisa menampung saudara tidur di rumah, itu bedanya,” ia tertawa.
Berhasil ke jalan hidup yang bagus, Ferry dan istrinya tetap hidup sederhana. Keduanya tetap rendah hati. (Finon Manullang)