Rondeaktual.com, Jakarta – Seorang teman lama bernama Fadil Siregar, 64 tahun, wartawan Majalah Selecta Sport era dekade 80-an, ingin bertemu petinju legendaris Syamsul Anwar Harahap, 66 tahun. Fadil adalah humas tinju promotor Herman Sarens Soediro ketika Thomas Americo menantang juara dunia WBC asal Amerika Serikat, Saoul Mamby di Istora Senayan, 37 tahun yang silam.
Kami bertiga (saya, Fadil Siregar, Syamsul Anwar Harahap) sepakat bertemu di Kawasan Kota Tua, Rabu (26/12/2018), pukul 15.00.
Kota Tua berada di Jalan Taman Fatahillah, Pinangsia, Tamansari, Jakarta Barat.
Saya lebih dulu tiba di Kota Tua, salah satu lokasi wisata paling favorit dan terkenal dengan bisnis sewa sepeda keliling. Kota Tua dikelilingi bangunan kuno dan sangat terkenal ke seluruh pelosok Nusantara. Revitalisasi membuat Kawasan Kota Tua lebih hidup. Di sana banyak larangan dan salah satunya DILARANG MENGAMEN.
Di Kota Tua, Syamsul Anwar seolah menemukan dunia baru dalam kehidupannya sekarang. Seperti diketahui, ia sengaja menghilang dari dunia tinju yang belakangan sangat sulit merebut prestrasi. Syamsul yang dulu dijuluki sebagai raja KO, tak pernah dimintai pendapatnya bagaimana cara menghasilkan KO.
Di sana, di Kawasan Kota Tua, Syamsul Anwar telah memulai usaha baru. Ia memiliki usaha toilet umum yang tidak pernah sepi dan paling banyak pengunjung keluar-masuk. Usaha kaus kenangan-kenangan atau kaus souvenir. Usaha rumah makan masakan padang. Di ujung tikungan ada usaha rumah makan (nasi, baso, mie ayam) dan berbagai minuman, di tempat paling strategis.
Usaha Syamsul Anwar di Kota Tua tak ada yang gagal. Semua laris manis. Usaha makanan dan minuman dijaga dua sekuriti tambahan, yang ternyata seorang mantan juara Indonesia dan paling sering bertanding ke luar negeri.
Itu baru Kota Tua. Syamsul masih sibuk mengurus usaha besar yang sudah lama menjadi cita-citanya sejak mengawali karir tinju di Ibu Kota, yaitu sebagai petani.
Pada era emas Syamsul Anwar 40 tahun silam, setiap ditanya wartawan tentang cita-citanya, Syamsul selalu menjawab ingin sebagai petani. Ia ingin pulang ke kampung halamannya untuk menjadi seorang petani.
Cita-cita itu telah dirintisnya sejak beberapa tahun silam dan bisa dibilang berhasil. Syamsul Anwar sudah menjadi seorang petani di Sumatera Utara. Ia pernah membawa kelapa hibrida dari Jawa ke Sumatera. Ia sekarang sedang mencoba usaha menanam daun singkong dan rimbang di daerah Bekasi, Jawa Barat.
“Aku sekarang sedang menanam pisang gepok dan pepaya,” katanya. Bibit pisang gepok diambil dari Kalimantan.
Syamsul baru dua hari di Jakarta, setelah mengurus pertaniannya di Sumatera Utara. Ia juga memiliki ruko di Medan. Sibuk mondar-mandir, Syamsul masih rajin olahraga. Ia adalah member fitnes di Gajah Mada Plaza.
Selama bertemu hampir empat jam, saya menghabiskan secangkir kopi manis. Fadil Siregar juga menghabiskan secangkir kopi dan berbatang-batang rokok.
Sebelum pukul tujuh malam, kami bertiga makan nasi padang rendang dan pergedel. Saya dan Syamsul tidak merokok.
Kami bertiga memiliki cerita masing-masing dan tidak melulu tentang tinju. Tidak pula tentang Sekjen. Syamsul Anwar bercerita tentang putranya seorang lurah. Putra yang lain seorang dosen. Putrinya staf penting di kantor kecamatan. Syamsul bangga dan senang melihat anak-anaknya berhasil.
“Minggu lalu kami kumpul dan saya bilang, ini biar papa yang bayar. Aku yang mengundang mereka jadi aku yang bayar,” ujarnya.
Fadil Siregar bercerita tentang seorang pria berusia 84 tahun jago catur tak terkalahkan di daerah Tebet, Jakarta Selatan. Meski Fadil seorang wartawan tangguh era Majalah Selecta Sprot, ia tidak pernah membuka kisah masa lalu. Ia tidak menggambarkan dirinya pernah menjadi seorang wartawan terkenal.
Giliran saya, saya bercerita bahwa saya masih setia menulis untuk tinju. Saya bilang kepada Syamsul Anwar dan Fadil Siregar bahwa saya kalah di mata. “Mata ini sudah parah. Sudah tidak bisa melihat jauh. Min terlalu tinggi, karena setiap hari berhadapan dengan computer.”
“Aku mau menulis,” kata Syamsul, membuat semangat saya tiba-tiba melesat jauh sampai ke ubun-ubun. Senangnya bukan main, mendengar Syamsul ingin menulis lagi.
“Waktu Muhammad Ali meninggal, aku langsung siapkan tulisan. Siapa yang duluan minta dia yang dapat. Ternyata Jawa Pos yang duluan,” kata Syamsul, yang mengalahkan petinju Amerika Serikat, Thomas Hearns dalam final kelas welter ringan Piala Presiden tahun 1976. Tahun 1977 Kejuaraan Asia di Jakarta, Syamsul merebut medali emas kelas welter ringan. Tahun 1977 SEA Games Kuala Lumpur, Syamsul merebut medali emas kelas welter ringan.
Sebelum berpisah kami bertiga foto bersama. Syamsul memastikan bagaimana jika ia mengirim tulisan. Saya segera memberi alamat email saya; [email protected].
Finon Manullang, menulis dari Desa Tridayasakti, Jawa Barat.