Rondeaktual.com
Teng Hok, 56 tahun, pria asal Lawang Seketeng, Surabaya, Jawa Timur. Pada tahun 1990, Teng Hok bertemu promotor top dunia Don King. Ketika itu, Teng Hok dan King sedang berada di Tokyo. Teng Hok bertanding melawan petinju Jepang. King mendampingi Si Leher Beton Mike Tyson melawan James Douglas.
Teng Hok adalah adik kandung mendiang petinju amatir top Jawa Timur, Suyono. Teng Hok masuk tinju pro dengan nama Santos Tengaraja.
Nama itu diberikan oleh mendiang pelatih besar sekaligus manajer Sawunggaling Surabaya, Setijadi Laksono, yang dua kali mengantar Teng Hok bertanding di Jepang.
“Pertama (melawan Jun Takada di Osaka, 29 Januari 1990), berangkat bersama Salamun Aramus Putra, juga petinju Sawunggaling Surabaya, dan Udin Baharuddin dari Pirih Surabaya. Tiga petinju Indonesia bertanding di Jepang,” Teng Hok menjelaskan.
“Kedua (melawan Hisashi Tokushima di Korakuen Hall, Tokyo, 9 April 1990), berangkat bersama Salamun dan John Ireng dari Rajawali Surabaya. Semua kalah,” kata Teng Hok saat bertemu Rondeaktual.com di Surabaya, Senin, 2 Oktober 2023.
Bagaimana Teng Hok bisa bertemu orang setenar Don King?
“Dikenalkan oleh Murayama, promotor besar di Jepang. Orangnya baik. Murayama Dua kali mengundang kami bertanding di Jepang. Waktu itu belum bertanding, masih menunggu dua hari lagi. Pak Setijadi ajak kami melihat persiapan Mike Tyson di Tokyo Dome. Douglas baru selesai latihan. Tyson datang. Di sana, sudah ada Don King, duduk di sofa. Murayama mengenalkan kami dengan Don King. Bawaannya lembut. Don King sangat dihormati. Suaranya pelan agak serak. Tidak seheboh yang terbayangkan ketika melihat foto Don King di koran-koran. Don King tidak mengenal kami. Murayama menjelaskan, kalau kami adalah tim tinju dari Indonesia. Don King senyum-senyum sambil acungin jempol dan bilang: “Bali, Bali, Bali.” Rupanya King terkesan dengan Bali.
Tokyo Dome adalah tempat pertandingan kelas berat yang sangat bersejarah bagi Jepang, antara juara dunia Tyson melawan Douglas.
Douglas, underdog besar, secara tidak disangka-sangka berhasil menang KO pada ronde 10, yang sudah berjalan 1 menit dan 22 detik. Kemenangan spektakuler mengantar Douglas juara dunia kelas berat WBA, WBC, IBF.
Ketika itu, orang menyebutnya juara sejati. Sekarang, orang menyebutnya juara tak terbantahkan, menyusul datangnya WBO.
Teng Hok dan tim tinju Indonesia tidak melihat pertandingan Tyson-Douglas, yang terjadi pada 11 Februari 1990. Teng Hok dan Salamun bertanding pada 29 Januari 1990.
Setelah bertanding, Teng Hok singgah di Hong Kong. Selama sebulan tinggal di rumah kakak perempuannya.
Tiga bulan kemudian, promotor Murayama kembali mendatangkan Teng Hok, Salamun Aramus Putra, dan John Ireng. Tidak ada yang memenangkan pertandingan.
Pulang dari Jepang pada perjalanan pertama, Teng Hok yang pernah mengalahkan Yani Malhendo, mendapat tawaran tanding di Korea untuk kelas terbang, 50.8 kilogram.
“Menyerah, tidak sanggup menurunkan berat. Waktu itu baru pulang dari Hong Kong, berat mencapai 60 kilo. Pak manajer cari lawan pengganti. Promotor Korea bilang: “No, no, no.” Orang Korea maunya saya, bukan orang lain. Mereka mengerti kalau saya mainnya in fight. Penonton tidak suka gaya boxer. Maunya menyerang sepanjang ronde. Akhirnya batal tanding di Korea.”
JUMPA WANITA TAIWAN
Tak sampai setahun kemudian, Teng Hok yang menyelesaikan pendidikan SMA di Surabaya, memutuskan keluar dari tinju. Ia mencoba mengadu nasib ke China Taipei.
“Saya pergi ke Taiwan, sebagai buruh pabrik benang. Sampai di sana tidak kuat. Kerja pabrik mengerikan. Kita pernah disembunyikan di bawah tanah, setelah polisi datang melakukan razia. Bos pabrik sengaja membangun jalan rahasia menuju rungan bawah tanah,” tutur Teng Hok.
Belum satu minggu sebagai buruh pabrik benang, Teng Hok tidak sanggup. “Pekerja dari Indonesia banyak yang kembali dengan kondisi tangan bengkak akibat keracunan. Kena bahan kimia yang sangat berbahaya. Tidak sanggup.”
Teng Hok kehilangan teman kerja asal Indonesia. Seorang wanita China Taipei menyuruhnya bersabar. Dia kasihan melihat Teng Hok tanpa kawan.
“Nanti akan datang tenaga kerja Indonesia. Kamu ada kawan,” wanita itu menghibur hati Teng Hok, yang kekar dan gagah sebagai atlet tinju.
“Pas hari raya, pabrik libur seminggu. Saya dan kawan dari Indonesia diajak jalan-jalan keliling kota. Saya sama Taiwan. Temannya yang dari Thailand sama orang Indonesia yang baru bergabung. Sama, kita semua buruh pabrik benang. Tinggal di asrama, tapi pisah antara pria dan wanita. Pekerja Taiwan pulang rumah,” kenang Teng Hok.
“Waktu jalan-jalan, orang Taiwan itu ngajak nonton filem. Aku sama dia. Teman saya sama orang Thailand. Saya intip, teman saya itu genggam tangan si Thailand. Namanya di bioskop memang begitu. Gelap dan harus nempel supaya tidak kedinginan.”
“Singkat cerita, saya setahun di Taiwan. Saya pergi dari pabrik dan pulang ke Surabaya. Sejak itu tidak pernah tahu kabar tentang dia. Saya pun menikah dengan wanita Surabaya, tetapi kandas. Sekarang saya umur hampir enam puluh. Saya hidup sendiri. Itulah jalan hidup Teng Hok Tengaraja.”
Bagaimana cara menjalin komunikasi yang mesra dengan wanita baik hati, seperti yang Anda ceritakan tadi?
“Dia bisa bahasa Indonesia, sedikit-sedikit. Katanya pernah belajar bahasa Indonesia di Taiwan. Kalau kawan saya beda. Yes no yes no saja. Dua-duanya sama, tidak bisa bahasa Taiwan. Waktu di bioskop, mereka tidak bicara apa-apa. Cuma tangan nggak bisa diam. Bergerak terus. Ilmu cubit-cibitan berjalan. Saya tertawa melihat mereka.”
TENTANG TENG HOK
Nama lahir: Ang Ting Hok alias Susanto Suparto.
Nama panggilan: Teng Hok.
Nama ring: Santos Tengaraja.
Lahir: Surabaya, 11 April 1967.
Usia: 56 tahun.
Pendidikan: Tamat SMA.
Domisili: Lawang Seketeng, Surabaya.
Status perkawinan: Cerai hidup.
“Anak saya cowok. Sudah SMP, ikut ibunya di Surabaya,” ujar Teng Hok. “Kalau pas libur sekolah, anak saya suka datang ke Lawang Seketeng. Kalau minta baju, saya beli yang agak bagusan. Supaya enak dilihat.” (Finon Manullang)