Rondeaktual.com
Pekan lalu, penulis pergi ke Malang, kota terbesar kedua di Jawa Timur. Ke sana atas undangan mantan petinju yang dulu terkenal memakai celana tanding loreng-loreng, H.M. Nurhuda. Meliput pertandingan tinju internasional di arena terbuka Simpang Balapan, Sabtu malam, 11 November 2023.
Hanya tiga hari di Malang. Sebelum tiba di Stasiun Kota Baru, yang terbayang di kepala ini adalah:
1. Memburu nasi rawon versi Pasar Senggol, Jalan Majapahit. Gagal, lantaran warungnya sudah digusur.
2. Singgah ke rumah legenda tinju Malang, Wongso Suseno. Berhasil.
3. Meliput tinju di Simpang Balapan, sekaligus menjumpai para mantan petinju di pinggir ring. Berhasil.
4. Singgah ke rumah Monod di Singosari. Berhasil.
5. Singgah ke rumah Nurhuda dan Mintohadi. Gagal.
WONGSO SUSENO 78 TAHUN
Jumat pagi, 10 November 2023, telepon masuk dari Monod. “Bapak Finon ada di mana?” Monod, mantan fighter terbaik tahun 80-an, bertanya. Beliau sudah berubah. Dulu, setiap bertemu atau komunikasi selalu menyebut “Mas Finon”. Sekarang setelah di usia pas-pasan, beliau menyebut “Bapak Finon”.
Itu bagus dan terima kasih. Sementara, penulis tetap setiap menyebutnya “Mas Monod.”
“Aku di hotel. Mau ke rumah Mas Wongso, sekarang.”
“Oke, tunggu saya datang. Nanti tak antar.”
Belum sampai sepuluh menit, Monod, satu-satunya juara Indonesia kelas bulu yunior sampai tiga kali, sudah tiba di lobi hotel. Kami berangkat.
“Telepon Mas Wongso, bilang kita mau datang.”
“Tidak usah. Langsung saja,” balas Monod.
Setengah jam kemudian, Monod menunjuk. “Itu rumah Pak Wongso. Saya parkir dulu di seberang, supaya tidak menggangu.”
Ketika Monod masih di pintu mobilnya, penulis sudah berdiri persis di depan pagar rumah sang legenda tinju Malang Wongso Suseno, Jalan Simpang Raya Langsep, RT 01 RW 02, Nomor 29.
Beruntung sekali. Pagi itu Wongso Suseno di rumah. Duduk sendiri di teras.
“Selamat pagi, Mas Wongso.”
“Siapa ya?” Wongso Suseno berdiri dan menuju pagar kemudian mendorong ke sebelah kanan.
Takut tidak dikenal, penulis langsung melepas topi hitam dan masker hitam. “Ini aku, Finon Manullang.”
Kami salaman dan masuk ke ruang tamu. Lantaran waktu terbatas, penulis sampaikan bahwa kedatangan untuk mengambil beberapa gambar.
Wongso Susesno segera sibuk mengatur apa-apa yang diperlukan, seperti lampu rumah supaya terang. Menggeser kursi agar tersedia ruang yang cukup.
Ruang tamu penuh piala. Sabuk juara. Medali. Semua sudah luntur, dimakan waktu.
Salah satu medali yang sudah lapuk itu adalah medali emas kelas welter ringan yang direbut Wongso Suseno melalui PON VII di Surabaya, 28 Agustus hingga 4 September 1969.
PON VII merupakan era emas tinju amatir Jawa Timur. Tidak main-main, merebut enam medali emas dari sebelas kelas yang dipertandingkan; 1. Mohamad Abidin, kelas terbang ringan 48 kilogram, 2. Fakih Hasan, kelas terbang 51 kilogram, 3, Wongso Suseno kelas welter ringan 63,5 kilogram, 4. Abdul Salim kelas menengah 75 kilogram, 5. Kadoor Singh kelas berat ringan 81 kilogram, 6. Setijadi Laksono kelas berat 91 kilogram.
Di rumah Simpang Raya Langsep, Wongso Suseno rajin memberi makan kucing dan mengurus dua sangkar burung. Burung kecil tapi sangkarnya agak besar dan bersih. Di teras sebelah kiri, tergantung sarung tinju dan speed ball yang sudah usang, juga sepeda motor tua yang surat dan mesinnya dipastikan sudah mati.
Sebelum berpisah, istri Wongso Susesno, Ibu Lily Cynthia datang dari pasar sambil menenteng keranjang. Kami disediakan makan kue dan minum air mineral. Lantaran enak, penulis menghabiskan tiga lemper. Hungry.
Di rumah itu, hanya Bapak Wongso Suseno dan Ibu Lily Cynthia yang tinggal. Anak-anak mereka sudah lama berdikari.
Setelah hampir 30 menit dan sebelum berpisah, inilah percapakan dengan Wongso Suseno.
“Mas Wongso masih rajin olahraga?
“Tidak. Di rumah saja.”
“Masih mengurus burung?”
“Iseng saja. Biar gerak, juga kucing. Makannya (di tiga piring kecil) saya isi setiap pagi. Kadang kucing liar masuk dari pagar.”
“Masih ikut tinju?”
“Sudah tidak. Ini, Monod yang sering datang ke rumah.”
Sebelum menghentikan seluruh aktifitasnya dari tinju, Wongso Suseso pernah dipercaya sebagai pelatih di Javanoea Boxing Camp Malang, di Jalan Anjasmoro, Malang, milik Eddy Rumpoko.
Wongso bersama asisten pelatih Movid mengurus persiapan tanding antara lain; Monod, Nurhuda, Abdi Pohan, Suroso, M Gofur.
Wongso Suseno dan Movid berhasil mengantar Javanoea Malang sebagai salah satu sasana tinju terbaik Tanah Air. Banyak yang juara dan itu terjadi pada era mendiang promotor A Seng, yang tak terlupakan.
Wongso Suseno lahir di Malang, 17 November 1945, bernama Wong Kok Sen.
Hari ini, Jumat, 17 November 2023, Wongso Suseno genap 78 tahun. Selamat ulang tahun, Bapak Wongso Suseno. Semoga panjang umur. Sehat semangat sepanjang hari.
PERTANDINGAN TERAKHIR
Penulis tidak pernah melihat pertandingan resmi Wongso Suseno. Tetapi, pernah melihat satu-satunya sisa pertandingan Wongso Suseno melawan Kai Siong di GOR Krida Kraksaan, Probolinggo, Jawa Timur, Sabtu, 3 Maret 1984.
Matchmaker Setijadi Laksono menampilkan Wongso Suseno versus Kai Siong dalam versi ekshibisi kelas welter enam ronde kali dua menit. Tanpa hakim tanpa pemenang. Jopie Limahelu menjadi orang ketiga di dalam ring.
Selama enam ronde, Wongso rajin melapaskan jab dan jab, jab, jab disusul hook maupun long hook serta sedikit upper cut dan straight.
Pada malam perpisahan, Wongso Suseno berumur 39 dan Kai Siong 26 tahun. Keduanya datang dari satu ilmu satu guru di bawah manejemen Sawunggaling Promotion. Setijadi Laksono adalah guru tinju mereka. Wongso bertanding untuk Sawunggaling Malang dan Kai Siong bertanding untuk Sawunggaling Surabaya. Pada tahun 1986, Kai Siong berpisah dari Sawunggaling dan bergabung dengan Inra Boxing Camp Surabaya, milik PW Affandy.
Penulis boleh bangga, menjadi satu-satunya orang yang meliput pertandingan perpisahan Wongso Suseno.
Wongso Suseno adalah nama yang sangat melegenda di dunia olahraga Tanah Air. Semua orang tinju pasti mengenal beliau, yang selalu rendah hati. Panutan.
Dalam sejarah tinju, Wongso Suseno tercatat sebagai petinju Indonesia pertama yang berhasil merebut gelar OBF (kemudian menjadi OPBF, setelah Australia bergabung dengan Asia pada tahun 1980).
Wongso merebut gelar OBF kelas welter yunior melalui kemenangan angka 12 ronde yang luar biasa atas Chang Kil Lee (Korea Selatan) di Istora Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta, 28 Juli 1975.
Di Indonesia, ada dua Wongso yang berbeda. Wongso Suseno juara OBF kelas welter yunior dan Wongso Indrajit dua kali juara Indonesia kelas bantam yunior. Wongso Suseno adalah paman kandung dari mendiang Wongso Indrajit.