BUKU PERJALANAN TINJU INDONESIA – Pertandingan Perpisahan Legenda Tinju Jawa Timur Wongso Suseno merupakan seri keempat, yang dikutip dari buku tinju tulisan Finon Manullang.
Buku tersebut telah beredar sejak Mei 2023. Wongso Suseno, yang menetap di Jalan Simpang Raya Langsep, Malang, memiliki buku melalui tangan Monod, tiga minggu setelah buku terbit.
Ikuti terus tulisan berikutnya “Boy Bolang Mendatangkan Petinju Amerika”. Semoga bermanfaat.
Pertandingan Perpisahan Wongso Suseno
Inilah satu-satunya sisa pertandingan Wongso Suseno yang sempat penulis liput, yaitu pertandingan perpisahan.
Sebagai penulis yang memberikan hidup ini menulis untuk tinju, tentu sangat senang bisa berhadapan dengan orang-orang yang selalu rendah hati seperti Wongso Suseno.
Ketika itu, sang legenda tinju Jawa Timur Wongso Suseno bertanding melawan Kai Siong dalam versi ekshibisi kelas welter enam ronde durasi dua menit. Berlangsung di bawah hujan deras GOR Krida Kraksaan, Probolinggo, Jawa Timur, Sabtu, 3 Maret 1984.
Itu tak akan terlupakan, meski hanya kelas ekshibisi.
Pada hari yang sama, Sabtu, 3 Maret 1984, di Seoul, Korea Selatan, petinju Indonesia, Joko Arter dari Brirawa Boxing Camp Mariso Uddin Malang, bertanding dalam kejuaraan dunia IBF kelas bulu melawan petinju tuan rumah Korea Selatan, Min Keun Oh. Arter tumbang KO pada ronde kedua dan gagal menjadi juara dunia. Ini merupakan kejuaraan dunia kelas bulu yang pertama bagi IBF. Ketika itu, IBF baru satu tahun berdiri.
Di Kraksaan, arena pertandingan perpisahan Wongso Suseno, basah. Hujan deras turun sejak sore. Listrik padam. Gelap dan hampir saja membatalkan seluruh pertandingan. Matchmaker Setijadi Laksono dari Sawunggaling Surabaya menampilkan partai Wongso Suseno versus Kai Siong.
Wongso Suseno dan Kai Siong adalah murid tinju Setijadi. Bedanya, Wongso di Sawunggaling Malang dan Kai Siong di Sawunggaling Surabaya.
Pertandingan diatur dalam kelas welter 6 ronde durasi 2 menit. Ini merupakan partai ekshibisi. Tanpa hakim. Tanpa nilai. Tanpa pemenang. Jopie Limahelu menjadi orang ketiga di dalam ring.
Seperti ditulis dalam buku “Perjalanan Tinju Indonesia” halaman 11, Wongso Suseno adalah nama yang sangat melegenda di dunia olahraga Tanah Air. Semua orang tinju hampir mengenal Wongso Suseno secara utuh, yang selalu rendah hati dan menjadi panutan.
Dalam sejarah tinju, Wongso Suseno tercatat sebagai petinju Indonesia pertama yang berhasil merebut gelar OBF (kemudian menjadi OPBF, setelah pada 1980, Australia bergabung dengan Asia).
Wongso merebut gelar OBF kelas welter yunior melalui kemenangan angka 12 ronde yang luar biasa atas Chang Kil Lee (Korea Selatan) di Istora Senayan Jakarta, 28 Juli 1975.
Di Indonesia, ada dua Wongso yang berbeda. Wongso Suseno juara OBF kelas welter yunior, 63.503 kilogram, dan Wongso Indrajit juara Indonesia kelas bantam yunior, 52.163 kilogram. Wongso Suseno adalah paman kandung dari mendiangan Wongso Indrajit.
Selain juara Indonesia kelas bantam yunior dua kali dan sekali juara Indonesia kelas bantam, Wongso Indrajit melengkapi perjalanan karir tinjunya dengan merebut gelar juara WBC Intercontinental kelas bantam.
Di pertandingan perpisahan, Wongso Indrajit tidak ikut. Promotor Harry Effendy dan matchmaker Setijadi Laksono lebih fokus menampilkan petinju baru sebagai bagian dari komitmen program regenerasi tinju pro Jawa Timur. Sementara, Wongso Indrajit sudah masuk level atas.
Malam tinju pro di Kraksaan (sebuah kota kecamatan di Kabupaten Probolinggo) didominasi petinju yang tampil adalah non gelar alias partai empat dan enam rondean. Bertanding antara lain; Pulo Sugar Ray, Tara Singh, Markus Wangbon OP, Suwarno Perico, Paulinus Amkey, Marthen Kasangke, Marvin Harsen, Doddy Tabalubun.
Wongso Suseno, ketika itu berumur 39 tahun dan Kai Siong 26 tahun, datang dari “satu ilmu satu guru” di bawah manejemen Sawunggaling Promotion. Setijadi Laksono adalah guru tinju mereka. Wongso bertanding untuk Sawunggaling Malang dan Kai Siong bertanding untuk Sawunggaling Surabaya.
Pada tahun 1986, Kai Siong berpisah dari Sawunggaling dan bergabung dengan Inra Boxing Camp Surabaya, milik PW Affandy.
Seperti pertandingan perpisahan atau pertandingan terakhir para legenda tinju, Wongso melakukannya dengan enjoy. Selalu disiplin memulai serangan jab-jab disusul long hook. Wongso hampir tidak memiliki straight, karena dasar tinjunya adalah fighter. Tidak ada pukulan mematikan dan ini memang bukan pertandingan resmi. Ini pertandingan pameran.
Kedua petinju sering memperagakan bagaimana bertanding rileks tanpa tekanan. Jab-jab disusul long hook dari Wongso Suseno hanya menembus pertahanan luar Kai Siong. Pada jarak dekat, Wongso melepaskan hook dan uppercut.
Kai Siong yang lebih muda dan lebih cepat, sering bergerak ke kiri dan ke kanan. Dia memiliki foot work yang enteng. Setelah menyelesaikan enam ronde, wasit Jopie Limahelu dari Surabaya, mengangkat tangan kedua petinju. Selesai.
BERLATIH DI SURABAYA
Untuk menjalani pertandingan terakhirnya, Wongso Suseno harus datang ke Surabaya. Ia sendiri tinggal di Jalan Simpang Raya Langsep RT 010 RW 02, Malang, Jawa Timur.
Dua minggu menjelang pertandingan perpisahan, Wongso datang ke markas Sawunggaling di Jalan Kalikepiting 123, Surabaya. Sang legenda tinju berlatih seorang diri ketika semua petinju Sawunggaling masih istirahat. Tidur siang wajib di sana.
Siang itu, di bulan Februari tahun 1984, penulis pertama kali mengenal Wongso Suseno secara langsung. Penulis keluar dari ruang kerja membawa kamera dan mengambil beberapa gambar latihan. Ruang kerja hanya beberapa jengkal dari ring tinju tempat latihan.
Di sana penulis mengurus Redaksional Majalah Tinju Indonesia. Majalah tersebut murni menulis tentang tinju pro dalam negeri 60%, tinju amatir 20%, tinju luar negeri 20%. Pada era itu, hampir semua petinju pro Tanah Air pernah ditulis Majalah Tinju Indonesia. Itulah hebatnya, menulis untuk tinju sampai puas.
Penulis merasa bangga menjadi satu-satunya orang yang meliput persiapan dan pertandingan perpisahan Wongso Suseno.
Tidak ada wartawan yang datang ke markas Sawunggaling, ketika Wongso Suseno melakukan persiapan. Padahal, di tahun itu ada empat koran paling bersaing dan berlomba-lomba untuk mendapatkan berita tinju; Jawa Pos, Surabaya Post, Memorandum, dan Suara Indonesia. Tidak ada wartawan olahraga yang datang ke Krasaan untuk meliput pertandingan perpisahan.
Aku menjadi satu-satunya yang berada di pinggir ring meliput pertandingan perpisahan Wongso Suseno.
Itu sejarah dan memang tidak mudah. Untuk bisa tiba di arena pertandingan, penulis harus sambung-menyambung melewati perjalanan hampir sembilan jam. Surabaya-Kraksaan bukan perjalanan dekat.
Penulis memulainya pukul 09.00 dari Kalikepiting, Surabaya (kantor majalah Tinju Indonesia) dan tiba di Kraksaan sebelum matahari terbenam di ufuk barat. Penulis melakukan ini karena suka menulis untuk tinju. Kalau bukan suka, mana mungkin seorang diri menjelajah jauh sampai ke Krasaan.
Lebih 35 tahun kemudian sejak pertandingan perpisahan di Krasaan tahun 1984, penulis bertemu sang legenda di arena tinju Daud Yordan, Park 3, Kota Batu, Jawa Timur, Minggu, 17 November 2019.
Siang itu, Daud Yordan bertanding dan menang TKO pada ronde 8 atas Michael Mokoena (Afrika Selatan). Daud merebut gelar IBA kelas welter yunior. Sementara, Ongen Saknosiwi menang angka melalui pertandingan 12 ronde melawan Marco Demecillo (Filipina). Ongen berhasil merebut gelar kosong IBA kelas bulu.
Hari itu, Wongso Suseno pas berusia 74 tahun. Beliau lahir di Pakisaji, Malang, 17 November 1945, bernama Wong Kok Sen.
Sungguh, itu sebuah pertemuan yang tidak disangka-sangka. Aku mendekat kemudian menyalami Wongso Suseno. Menyampaikan selamat ulang tahun dan semoga panjang umur. Tidak lupa memuji fisiknya yang sehat dan kekar.
Di sebelah Wongso ada Monod dan Nurhuda. Di sebelah kanan mereka ada keluarga mantan juara dunia WBA Super kelas bulu Chris John.
Dari air muka dan cara menyambut tangan penulis, jelas kalau hati Wongso Suseno gembira sekali. Dengan kedua telapak tangannya, tangan penulis berada dalam genggaman Wongso Suseno.
Cukup lama. Itu pertemuan yang sangat bersejarah. Aku tidak pernah membayangkan bertemu dengan sang legenda tinju Wongso Suseno di pinggir ring, bertepatan dengan hari uang tahun beliau yang ke-74.
Itu yang pertama dan satu-satunyanya. Tak akan terulang.