Rondeaktual.com – Finon Manullang
PON XXI/2024 Aceh-Sumut terus berpacu dengan waktu. Sementara, Rondeaktual.com tetap setia menulis tentang orang-orang yang akan mengambil bagian penting pada pertandingan tinju. PON Cabor tinju dijadwalkan di Kota Pematangsiantar pada September 2024. Dalam tulisan ini menampilkan empat pelatih PON DKI, serumah di Desa Parigi Mekar. Mereka adalah Hugo Gosseling 63 tahun, Husni Ray 60 tahun, Erwin Tobing 62 tahun, dan David Kasidi Nasution alias Bayu Anggoro Siantarman 45 tahun.
Penulis tidak sekali saja bertemu dengan pelatih tim PON DKI. Tidak sekali saja menulis tentang mereka. Tetapi, dalam tulisan ini agak beda. Semoga bermanfaat.
Kisah ini dimulai dari kehadiran penulis di acara halalbihalal Pertina DKI Jakarta di Desa Parigi Mekar, Kecamatan Ciseeng, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat, Sabtu sore, 20 April 2024.
Hadir tuan rumah Hengky Silatang, pelatih dan atlet putra dan putri. Hadir sejumlah pengurus dan lima wartawan yang sering meliput olahraga tinju dan salah satunya adalah Hari Bukhari.
Setelah menyelesaikan dua potong ikan gurame sedap manis versi Leni Silatang –memang jago masak—penulis bermaksud cabut alias pulang. Mau apalagi, sudah puas ngobrol terbahak-bahak mendengar debat sengit dua wasit/hakim; Adi Manalu versus Hepi Jamhur. Sampai menyeret-nyeret status PNS.
Sementara, langit Desa Parigi Mekar semakin gelap. Hujan angin merusak rencana pulang ke rumah masing-masing. Pelatih PON DKI ada yang tinggal di ujung Tanjung Priok, di Cilandak, di Citibung. Itu sungguh jauh dari lokasi kerja mereka di Desa Parigi Mekar.
Penulis sepakat pulang bersama pelatih Husni Ray, menggunakan kereta api untuk alasan lebih sehat, lebih bersih, lebih cepat, dan lebih efesien. Hidup butuh efesiensi.
Sebelum pulang, penulis diajak ke sebuah rumah. “Saya mau pelihara ikan. Ini tempatnya,” Husni Ray menunjuk akuarium kosong di teras rumah. “Rencana mau isi ikan kecil.”
“Bagus kalau pelihara gurame. Enam bulan sudah bisa potong,” sambung penulis.
“Jangan. Ini buat iseng saja,” balas Husni Ray, kemudian meneruskan langkahnya ke dalam rumah, disusul Hugo Gosseling, Erwin Tobing, dan Bayu Anggoro. Tidak seorang pun di antara mereka mempersilahkan masuk kepada penulis.
Ya sudah, penulis di luar saja. Rumah itu tak beda jauh dengan rumah sewa yang biasa ditawarkan para juragan tanah kepada anak rantau. Rumah itu murni tipe koskosan.
Di sebelah rumah ada toko besar menjual apa saja kebutuhan hidup sehari-hari. Konon pemilik toko mantan pengemudi bus Antarlintas Sumatera atau kesohor disebut ALS, yang sudah operasional sejak era 70-an.
Di sebelah toko ada gang kecil, Gang Haji Noan. Di sana ada pohon mangga. Di bawah pohon mangga itulah sejarah lahirnya HS Boxing Camp, sasana tinju yang sekarang menjadi pusat latihan tim Pelatda DKI menuju PON Aceh-Sumatera Utara 2024.
Masih hujan dan angin kencang. Penulis masuk ke dalam rumah dan pura-pura bicara kepada Bayu Anggoro, yang sibuk mengisi tasnya dengan pakaian kotor. “Enak ada AC.”
“AC-nya tidak pernah dihidupkan,” balas Bayu Anggoro, mantan petinju pro yang tidak pernah menjadi juara karena kebodohan oknum komisi tinju yang membatalkan title fight Bayu Anggoro versus Niazy Almi dari Medan, Sumatera Utara. Almi tertangkap overweight kemudian dibatalkan untuk partai kejuaraan Indonesia.
“Harus dihidupkan, supaya tidak karatan,” balas penulis. Bayu Anggoro, asal Pematangsiantar, diam saja.
Kamar Bayu Anggoro agak beda dengan kamar Husni Ray dan Hugo Gosseling (berdua sekamar pakai pintu), dan kamar Erwin Tobing sendiri pakai pintu. Kamar Bayu Anggoro adalah ruang tamu yang disulap menjadi kamar tidurnya. Siantarman itu sendiri, lebih suka pakai kipas angin.
Di sana –ruang tamu yang menjadi kamar tidur Bayu Anggoro—ada kulkas ukuran sedang satu pintu. Kulkas itu kosong, hanya ada sebatang cokelat bekas. Di sebelah kulkas ada tempat menanak nasi (rise coocker).
Urusan masak, menurut Bayu Anggoro sudah ada ketentuan di antara keempat pelatih. Husni Ray disebut-sebut paling suka di dapur memasak ikan dan sayur. Beli beras dan keperluan lain, menjadi tanggung jawab Bayu Anggoro atau bergantian dengan Hugo Gosseling dan Erwin Tobing.
Di antara mereka, ada yang membawa ayam masak dan beras dari rumah. Daging ayam bisa diamankan ke dalam kulkas untuk beberapa hari.
Tidak lama, Husni Ray keluar dari kamar dan bersuara: “Kami masak sendiri. Ini sementara, nanti kalau Pelatda PON sudah sentralisasi baru pindah ke sasana. Di sana enak, ada juru masak. Petinju dan pelatih tinggal makan. Tidak repot.”
Husni Ray adalah pemegang medali perunggu kelas pin 45 kilogram PON Jakarta XI/1985. Di ring pro kelas terbang mini Indonesia, Husni Ray adalah yang terbaik dan paling banyak menghasilkan uang.
Pelatih PON DKI empat sekawan (Hugo Gosseling, Husni Ray, Erwin Tobing, Bayu Anggoro) setiap hari di rumah itu. Tanpa televisi, karena ada HP yang sudah menggantikan semuanya. Cuci pakaian urusan masing-masing. Kalau mandi, harus sabar antrean. Cuma satu kamar mandi, lengkap closet duduk.
“Setiap Sabtu, kami pulang ke rumah masing-masing,” kata Erwin Tobing, asal Medan, yang merebut medali perak kelas welter PON Jakarta XI/1985 untuk Provinsi DKI Jakarta. “Senin pagi masuk lagi. Mulai lagi kerja melatih anak-anak tinju. Itulah kehidupan kami.”
Erwin Tobing tidak menyebut soal gaji. Tetapi, lebih dari cukup. Bahkan, honor atlet dan pelatih DKI tertinggi di Indonesia.
Jarak rumah ke sasana HS Boxing diperlukan 5 menit berjalan kaki orang dewasa.
Di atas Kereta Api menuju perjalanan pulang ke Cibitung, penulis bertanya kepada coach Husni Ray: “Berapa harga sewa rumah sebulan?”
“Kami tidak pernah bayar,” jawab Husni Ray enteng. Token tanggung sendiri secara patungan. “Rumah itu punya bos. Tanahnya banyak sampai ke ujung,” tambah Husni Ray dan menyebut nama seorang mantan petinju amatir, yang belakangan gemar mengisap rokok cerutu.
Ruaaarrr Biaseee……top daaah..rondeaktual.com