Rondeaktual.com – Dalam situasi seperti sekarang, di mana usia sudah pas-pasan, mempertahankan tradisi “menulis untuk tinju” adalah sebuah anugerah. Tak terbayangkan sebelumnya, bertahun-tahun setia menulis untuk tinju. Tanpa putus.
Melalui Rondeaktual.com –web tinju paling favorit dan satu-satunya yang bertahan di tengah ambruknya pertandingan tinju, aku akan menurunkan tulisan para legenda tinju Indonesia, bukan tinju luar negeri.
Aku akan memulainya dari Rocky Joe. Ikuti terus, sebab tulisan ini bisa jadi tidak akan pernah putus.
Rocky Joe adalah seorang mantan juara Indonesia di dua kelas yang berbeda; kelas menengah yunior, 69.853 kilogram, dan kelas menengah, 72.575 kilogram. Merebut gelar kelas menengah yunior melalui kemenangan atas Suwarno (Sasana Massa 33 Surabaya) dan merebut gelar juara kelas menengah melalui kemenangan atas Rudy Siregar (Sasana Halilintar Jakarta).
Pertama kali mengenal nama Rocky Joe pada tahun 1980, setelah membaca tulisan wartawan Valens Doy di Harian Kompas. Di tahun itu, aku baru memulai karir sebagai wartawan.
Mendiang Valens Doy menulis dengan enak tentang Rocky Joe, yang berasal dari suku Jawa, lahir di Sumatera Utara, bernama Ponijo. Rocky Joe meneruskan karir di sasana tinju New Waringin Jakarta. Valens Doy menulis Rocky Joe sebagai seorang petinju yang juga hidup dari hasil menjual dollar di Pasar Baru.
Kalau pergi ke Pasar Baru –tidak jauh dari Gereja Katedral dan Masjid Istiqlal—aku selalu melewati para penjual dollar di pinggir toko Pasar Baru. Pernah memperkenalkan diri sebagai kawan Rocky Joe di dunia tinju. Tidak pernah memperkenalkan diri sebagai wartawan.
Pasar Baru terkenal sebagai salah satu pasar tertua di Jakarta. Pasar Baru menjadi pusat penjualan kain dan bahan jas terbaik. Belakangan, Pasar Baru terkesan sempit dan pengap. Sepanjang pekarangan toko atau pinggir jalan telah berubah menjadi pusat penjualan barang-barang palsu; seperti jins murah, pakaian dalam wanita, pakaian olahraga, sepatu, tas, arloji, emas palsu. Di sana, hanya makanan yang tidak bisa dipalsukan.
Di sana juga ada toko terkenal, yang sudah bertahun-tahun menjual sarung tinju, sepatu tinju, sansak. Ada juga yang berani menjadi penadah, membeli sarung tinju. Kebanyakan orang yang menjual kembali barang yang sudah dibeli adalah panitia tinju amatir. Mereka sengaja pura-pura membeli banyak kemudian sengaja menjual sarung tinju dalam kondisi barang 100% masih utuh. Panitia tinju pro hampir tidak pernah melego sarung tinju.
JUMPA PERTAMA
Dua tahun setelah mambaca tulisan wartawan Valens Doy, aku bisa bertemu langsung dengan Rocky Joe, salah satu legenda tinju Indonesia yang menetap di Bendungan Jago, Jiung, Kemayoran, Jakarta Pusat.
Pertemuan pertama terjadi di gang sempit di Kramat Pulo, Jakarta Pusat, di rumah Kid Francis, pelatih sasana tinju Scorpio Jakarta. Rocky Joe lebih pas bersama Kid Francis.
Sebelum masuk pro, Rocky Joe adalah petinju amatir Sumatera Utara yang tangguh. Ia menjadi tim utama Pertina Sumatera Utara bersama Paruhum Siregar, Chaeruddin. Rocky Joe pernah merebut medali perunggu kelas menengah ringan Pekan Olahraga Nasional (PON).
Sepanjang karir tinjunya, Rocky Joe pernah menjalani pertandingan besar, seperti Kejuaraan Oriental and Pacific Boxing Federation (OPBF) kelas menengah melawan juara KO King asal Korea Selatan, Chong Pal Park. Peristiwa itu terjadi di Istora Senayan, Jakarta, Minggu, 4 Mei 1980.
Penulis menyaksikan pertandingan itu di rumah tumpangan di Gang Muhammad Ali, Baladewa Kiri, Tanah Tinggi, Jakarta Pusat. Geram sendirian di muka televisi, karena Chong Pal Park memukuli Rocky Joe sampai KO pada ronde kedelapan dari dua belas ronde yang direncanakan. Apa boleh buat dan sudah berjuang, Rocky Joe gagal merebut gelar OPBF.
Chong Pal Park memang raja KO. Menjadi momok bagi setiap lawan. Dia bukan saja menyandang gelar OPBF, tetapi menjadi juara dunia yang luar biasa. Di tahun itu, Korea Selatan melahirkan sejumlah juara dunia ternama, seperti Jung Koo Chang, Jun Sok Hwak, Sang Hyum Kim. Memasuki dekade 90-an, Korea kehilangan semangat menggelar pertandingan tinju pro. Sampai sekarang.
CHONG PAL PARK MENGAHKAN PETINJU INDONESIA
1. Rocky Joe (New Waringin Jakarta) KO-8, mempertahankan gelar OPBF kelas menengah di Jakarta, Mei 1980.
2. Suwarno (Massa 33 Surabaya) KO-4, mempertahankan gelar OPBF kelas menengah di Seoul, Korea Selatan, April 1982.
3. Valence Hurulean (Poor Boy Jakarta) KO-2, mempertahankan gelar OPBF kelas menengah di Seoul, Korea Selatan, Juli 1982.
4. Polly Pasireron (Manahan Jakarta) KO-5, mempertahankan gelar dunia WBA kelas menengah super di Jeonju, Korea Selatan, Maret 1988.
Penulis merasa beruntung bisa sampai tiga kali menyaksikan pertandingan Rocky Joe, dua melalui siaran TVRI dan sekali liputan langsung ke Gedung Go Skate, satu-satunya tempat pertandingan tinju full AC di Jawa Timur. Go Skate Surabaya sangat populer, menggunakan lift dan eskalator. Dikenang sampai sekarang.
Pada Sabtu malam, 11 Desember 1983, Kid Francis mendampingi Rocky Joe bertanding melawan anak muda Raja KO bernama Albert Bapaimo (Pirih Surabaya) di Go Skate Surabaya.
Ponijo alias Rocky Joe di usia 34 tahun, mencoba memberikan perlawanan besar. Jab-jab disusul long hook kanan menjadi andalan utamanya. Tetapi yang dihadapi adalah Albert Bapaimo, seorang bergaya fighter paling brutal bersuia 21 tahun dan juara Indonesia kelas menengah yunior.
Rocky Joe, yang kalah besar dan kalah cepat, masih bisa memotong straight maut lawan. Banyak penonton –terutama yang sengaja membeli tiket murah tribun agar bisa berteriak sesuka hati—bertaruh tidak lebih dua ronde Rocky Joe harus jatuh.
Ternyata, di usianya yang sudah tidak muda lagi, Rocky Joe masih mampu bertanding sampai empat ronde kemudian memilih kalah dengan cara menyerah. Albert Bapaimo menang TKO pada ronde 4 yang sudah berjalan 2 menit dan 7 detik. Pertandingan non gelar direncanakan 10 ronde.
Malam itu, promotor Handoyo Laksono (putra tertua tokoh tinju Jawa Timur Petrus Setijadi Laksono) juga menampilkan partai:
1. Kejuaraan Indonesia kelas bantam yunior 12 ronde: Ellyas Pical (Garuda Jaya Jakarta) menang angka dan merebut gelar dari tangan Wongso Indrajit (Sawunggaling Malang).
2. Kejuaraan Indonesia kelas welter yunior 12 ronde: Thomas Americo (Gajayana Malang) mempertahankan gelar melalui unanimous decision dua belas ronde melawan Kai Siong (Sawunggaling Surabaya).
3. Kelas terbang non gelar 8 ronde: Kaslan (Pirih Surabaya menang angka atas juara Indonesia Munadi (Banteng Bandung).
Setidaknya 2.500 penonton datang dengan cara membeli tiket termahal Rp 25.000 (duduk dekat ring) dan termurah Rp 5.000 (duduk di bangku tribun). Di era itu, penonton tinju Jawa Timur pantang datang dengan tiket gratis.
Menjelang pukul dua dini hari dan setelah makan bersama di Kedungdoro (salah satu kuliner terpanjang dan terlaris di Surabaya buka sampai subuh), rombongan tinju dari Jakarta dan Jawa Tengah, pergi ke Jalan Kertajaya Raya.
Tak jauh dari bawah jembatan kereta api, kami singgah ke sebuah rumah, persis di tepi jalan sebelah showroom mobil yang sudah tutup.
Kami disambut dua pria bertubuh besar bertato naga berwarna merah. Kami diarahkan supaya masuk ke ruang paling belakang. Tempatnya luas lengkap sofa.
Di sana, lebih sepuluh gadis-gadis desa sudah siap menyambut para hidung belang. Tidak ada yang jelek. Semua bagus. Putih padat menantang semangat di ujung malam. Tinggal pilih tinggal tunjuk. Germo pemilik rumah bordil itu siap mengantar “kembang desa” ke kamar hotel.
Rumah itu tidak menyediakan “arena pertandingan”. Rumah itu murni rumah transaksi, yang terletak di tengah kota. Setiap orang disuruh melakukan pembayaran kontan kemudian disuruh menunggu di hotel. Gadis-gadis desa itu segera diantar dengan kendaraan yang sudah siapkan. Tiga jam kemudian –short time dibatas tiga jam—dengan kendaraan yang sama dan dengan centeng yang sama, gadis-gadis itu dijemput dan dikembalikan ke lokasi semula.
Pada era itu, atau 44 tahun yang lampau, prostitusi versi dari rumah ke rumah sudah berkembang maju di Surabaya. Harga short time awal tahun 80-an dipatok Rp 120 ribu. Entah sekarang.
Sejauh dalam ingatan, aku tidak ikut berlayar. Mungkin lantaran belum terbiasa “jajan”, he he he.