Rondeaktual.com, Jakarta
Aku merasa bersyukur bisa meliput pertandingan tinju Pekan Olahraga Nasional (PON) sampai lima kali (empat liputan langsung dan sekali liputan tidak lagsung). PON Aceh-Sumatera Utara merupakan liputan keenam.
Penuh suka dan duka. Enam kali meliput pertandingan tinju PON akan menjadi rekor terpanjang. Ini dapat menambah semangat hidup di usia yang sudah pas-pasan seperti sekarang. Rekor ini, tak pernah terbayangkan. Selama bertahun-tahun setia menulis untuk tinju.
Bagi aku, PON Aceh-Sumatera Utara merupakan liputan PON paling spesial. Tak akan dua kali. Ini satu-satunya dan tak akan terlupakan.
Aku lahir di Kota Pematangsiantar (tempat penyelenggaraan PON 2024), sampai umur 5 tahun. Betapa sempurnanya ketika meliput pertandingan tinju PON di tanah kelahiran sendiri. Bangga sudah pasti.
Tidur di Kantor Redaksi di Jakarta
Aku memulai liputan dari PON XII/1989 Jakarta. Di sana pertama kali mengenal langsung raja kelas 48 kilogram Herry Maitimu dan istrinya Ully Hutauruk.
PON XII menandingkan 12 kelas dan mulai menandingkan kelas pin, 45 kilogram. Semua pria. Pada era itu tinju wanita belum lahir. PON berlangsung dari 19 hingga 27 Oktober 1989.
Pada final, Herry Maitimu (Jambi) menyerang terus-menerus membuat Slamet Riyadi (Kalimantan Selatan) pontang-panting dan kalah stamina. Herry masih yang terbaik dan ini merupakan PON terakhirnya.
PON XII menjadi milik Sulawesi Utara, yang sukses merebut tiga medali emas melalui:
Ilham Lahia, kelas bulu, 57 kilogram.
Martinus Loring, kelas ringan, 60 kilogram.
Adrianus Taroreh, kelas welter ringan, 63,5 kilogram.
Untuk bisa meliput PON, penulis harus rela tidur di kantor Majalah “Selecta Sport” di Jalan Kebon Kacang, Tanah Abang, Jakarta Pusat.
Redaktur Pelaksana menawarkan liputan PON, dengan syarat biaya perjalanan tanggung sendiri. Ketika itu, aku sudah menangani Redaksional Majalah “Tinju Indonesia”, milik juara kelas berat PON VII Setijadi Laksono, di Surabaya. Saking sukanya melakukan liputan, nekad saja pergi ke Jakarta.
Tidur di kantor hanya beralaskan tikar bekas. Bantal dari tumpukan majalah yang diambil diam-diam dari gudang. Setiap pukul 06.00 sudah bangun dan mandi. Tidak boleh lewat, sebab 07.00 karyawan sudah mulai berdatangan.
Makan urus sendiri. Di sana, di rumah-rumah penduduk, banyak jual nasi uduk. Bila senggang sebelum ke lapangan, singgah ke teras tetangga. Bermain catur ala kedai kopi. Taruhan diselipkan di bawah papan catur.
Kami tiga orang tidur di kantor, selama lebih satu minggu. Aku mendapat jatah liput tinju, angkat besi, dan voli. Kawan lainnya berstatus wartawan senior, dari Semarang dan Bandung. Aku satu-satunya paling muda.
Liputan PON Tidak Langsung
PON XIII/1993 Jakarta agak beda, diliput dengan cara menggunakan telepon.
Ketika itu aku terikat kerja sebagai wartawan koran harian di Surabaya. Segala persiapan sudah diurus staf Sekretariat Redaksi. Tinggal jalan, tiba-tia dihentikan.
Penulis mengajukan hak untuk menggunakan telepon interlokal tanpa batas. Ketika itu di kantor kami berlaku efesiensi. Telepon lokal saja dibatasi tiga menit otomatis putus. Dilarang interlokal, kecuali sudah mendapat izin tertulis dari Redaktur masing-masing desh.
Meliput PON secara tidak langsung menghubungkan penulis dengan sejumlah petinju. Setiap hari wawancara petinju yang memenangkan pertandingan. Senang 100%. Semua baik hati dan salah satunya adalah Samuel Mongkau, petinju Sulawesi Selatan, pemegang medali perunggu kelas menengah ringan.
Sejak liputan PON versi sambungan interlokal pada 1993 hingga Pra PON I Makassar Juli 2023, hubungan kami (Finon Manullang dengan Samuel Mongkau) masih bagus. Masih sempat duduk ngopi di kantin yang berjarak sekitar 10 meter dari ring tinju. Hebat sekali.
PON Riau, Pelatih Banting Kursi ke Dalam Ring
Sejarah pertandingan tinju PON nyaris tidak pernah bersih. Selalu saja ditandai rusuh. Tidak puas atas putusan wasit maupun para hakim pemberi nilai, pasti dilawan dengan cara marah. Tidak sedikit yang mengamuk. Merusak dan anarkis.
PON XVIII berlangsung di GOR Tengku Pangeran, Pangkalan Kerinci, Kabupaten Pelalawan, Provinsi Riau, 10 hingga 17 September 2012.
Tempat pertandingan jauh dari keramaian. Kiri-kanan tanah kosong dan kering. Tidak ada kehidupan. Tetapi, pada malam final siapa sangka seluruh tempat duduk penuh penonton. Tidak ada yang kosong. Banyak yang rela berdiri di sudut-sudut tembok asal dapat menikmati pertandingan.
Panitia lokal sengaja mengerahkan penonton dalam jumlah besar, sehingga tertangkap kesan sukses menyelenggarakan pertandingan.
Partai tinju wanita menjadi berapi-api ketika gengsi daerah ikut dipertaruhkan. Mereka mengejar bonus ratusan juta.
Bonus itu pula yang mendorong seseorang berani bertindak anarkis. Kursi lipat ditarik dari barisan penonton kemudian dilempar ke dalam ring. Semua tercengang.
Kejadian hanya beberapa menit setelah Irene Sasihiang (DKI Jakarta) diumumkan kalah melawan Nurmala Deli (Sumatera Utara), dalam final kelas terbang, 51 kilogram.
Wasit/hakim dan orang-orang terhormat yang duduk di barisan meja Dewan Juri terkejut. Suasana menjadi sangat gaduh. Sekitar ring yang seharusnya 100% streril, menjadi penuh dengan orang-orang yang berhati marah.
Seorang peraih medali emas yang mengalahkan Lisa Kmur dalam final kelas 57 kilogram PON XVII/Kalimantan Timur 2008, tiba-tiba jatuh lemas. Wanita bertato “121” di dahinya itu setengah pingsan di pinggir ring. Dia yang sepenuhnya mendukung Irene Sasihiang membutuhkan oksigen. Petugas keamanan datang dan segera membawa tubuhnya menjauh dari ring tinju.
Sementara, kawan yang tadi melempar kursi lipat ke dalam ring mengajukan protes, sambil menyuruh timnya segera bayar uang protes Rp 5 juta.
Padahal, Dewan Juri yang menerima uang protes sudah tahu bahwa protes tidak akan berhasil lantaran sudah kalah waktu.
Di tahun itu, aturan tinju amatir membolehkan protes jika dilakukan tidak lebih 15 menit sejak hasil pertandingan diumumkan. Sementara, kawan tadi sudah terlambat 20 menit dari batas dead line.
Kontroversi PON Jabar 2016
Sebelum meliput pertandingan final, aku dan dua kawan (bukan wartawan) singgah sebentar memesan air kelapa ijo.
Itu di pinggir pantai di Citepus, Kecamatan Pelabuhanratu, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. PON XIX berlangsung di Pelabuhanratu, Sukabumi, 19-27 September 2016.
Tuan rumah Jawa Barat bukan main, merebut enam emas:
Erni Amalia, kelas 51 putri, mengalahkan Jubaitul (Nusa Tenggara Barat).
Ferdinand Kase, kelas 49, mengalahkan Cornelis Kwang Langu (Bali).
Dadan Amanda, kelas 54, mengalahkan Atris Neolaka (Nusa Tenggara Timur).
Gresty Alfons, kelas 60, mengalahkan Farrand Papendang (Papua Barat).
Panser Pattinama, kelas 64, mengalahkan Vinky Montolalu (DKI Jakarta).
Joshua Manullang, kelas 81, mengalahkan David Isikiwar (Maluku).
PON Jabar tak akan terlupakan. Sejak awal sudah diwarnai keributan. Keputusan yang dianggap tidak adil, mendorong para ofisial dari Kalimantan Timur, mengamuk di pinggir ring. Mereka yang dianggap merusak, dipaksa singgah selama beberapa jam di kantor polisi.
Malam final, di sudut merah dan sudut biru, masing-masing dijaga dua aparat keamanan. Lengkap dengan senjata api. Ini merupakan peristiwa pertama dalam sejarah tinju Tanah Air.
Rusuh tidak hanya melabrak cabor tinju. Rusuh juga terjadi di cabor lain seperti judo, karate, pola air, wushu sanda, basket, berkuda nomor pacuan, biliar, senam artistik, drum band, sepatu roda, gulat, dan cabor lain.
Sepakbola alapagi. Suporter saling bertinju dengan tangan kosong dan jatuh terguling-guling. Ada yang membawa kayu panjang dan diayun bagaikan pedang.
Aparat keamanan, baik dari kepolisian dan TNI, masuk ke area tribune stadion untuk menengahi situasi yang marah. Beberapa suporter diciduk. Rasain.
PON Papua Paling Mencekam
PON XX Papua menandingkan 10 kelas putra dan 7 kelas putri di GOR Cendrawasih, Kota Jayapura, 5 hingga 13 Oktober 2021.
Pertandingan pertama sudah diwarnai ribut. Angka yang ditampilkan dilayar dianggap tidak adil. Puncaknya pada final kelas berat, yang dimenangkan Willis Riripoy (Jawa Tengah) melawan Erico Amanuponjo (Papua). Medali perunggu jatuh ke tangan Nasrudin (Nusa Tenggara Barat) dan Sandiyarto Peroza (Kepulauan Riau, sekarang ikut DKI Jakarta).
Sejumlah keputusan kontroversial ditayangkan ke mana-mana, baik melalui media resmi PON maupun medsos yang gila-gilaan. Kasus pemukulan terhadap petinju Jill Mandagie yang dilakukan penonton setempat mendapat sorotan besar.
Pada hari terakhir, sampai tengah malam kubu Papua dan kubu Jawa Tengah bersama ofisial ring dan PP Pertina melakukan pertemuan di ruang wasit/hakim.
Ketua Pengprov Pertina Papua, Ricky Ham Pagawak melakukan penekanan agar mengakui Erico Amanupunjo sebagai juara kelas berat.
Rupanya, Pertina tidak suka diatur-atur. Medali emas tetap milik Willis Riripoy dari Jawa Tengah.
Sementara, di luar sudah gelap dan banyak orang. Ketua Umum PP Pertina Mayjen TNI (Purn) Komaruddin Simanjuntak berdiri paling depan mengajak semua wasit/hakim cepat-cepat meninggalkan GOR Cendrawasih. Semua masuk ke dalam mobil dan selamat sampai ke tempat pemondokan, yang setiap hari dijaga aparat keamanan bersenjata.
Rondeaktual.com / Finon Manullang