Rondeaktual.com – Kelas bulu yunior hanya ada dalam tinju pro, dengan berat 55.338 kilogram. Tinju amatir tidak pernah mengenal kelas bulu yunior. Kelas bulu yunior terjepit di antara kelas bantam 53.524 kilogram dan kelas bulu 57.153 kilogram.
Saya mulai mengenal pertandingan kelas bulu yunior (sering disebut kelas bantam super) ketika Monod (Arema Malang) memenangkan kejuaraan Indonesia gelar lowong melalui TKO ronde 9 atas Ronny Kataibekary (Pucang Surabaya). Ronny menolak meneruskan pertandingan. Menyerah.
Itu terjadi di GOR Pulosari Malang, 9 Januari 1983.
Bisa dipastikan Monod bukan orang pertama yang menjadi juara Indonesia kelas bulu yunior. Tetapi Monod satu-satunya tiga kali merebut gelar juara Indonesia kelas bulu yunior. Sampai sekarang rekor ini belum pecah dan sudah bertahan selama 31 tahun.
Sebetulnya, di atas Monod masih ada Didik Mulyadi, asal Jalan Batanghari, Blimbing, Malang, yang pernah menjadi juara Indonesia kelas bulu yunior. Di atas Didik Mulyadi masih ada yang lain.
Didik Mulyadi (Sawunggaling Malang) menjadi juara Indonesia kelas bulu yunior di awal tahun 1980.
Pada tahun 1981, Komisi Tinju Indonesia (KTI), badan tinju pro satu-satunya di Tanah Air ketika itu, mencopot gelar Didik Mulyadi karena lebih setahun tidak mempertahankan gelar. Sejak itu Didik Mulyadi frustasi kemudian mengundurkan diri dan sempat beberapa kali sebagai wasit/hakim.
Pada awal dekade 80-an Monod menjadi bintang GOR Pulosari Malang. Laris manis menerima kontrak pertandingan melawan petinju Thailand atau Filipina.
Monod kehilangan gelar di Gedung Basket Senayan, Jakarta, 16 November 1985, kalah spilt atas southpaw Marthen Kasangke (Garuda Jaya Jakarta). Promotor Amar Singh dan disaksikan hampir 2.000 penonton. Beda dengan tinju sekarang, meski gratis yang datang melihat paling 300 orang.
Marthen sempat mempertahankan gelarnya kemudian langsung diorbitkan kejuaraan OPBF dan KO ronde 11 melawan petinju Thailand, Prayurasak Muangsurin di Jakarta, bersama promotor Anton Ojak Sihotang.
Monod kembali naik dan sempat tiga kali kejuaraan Indonesia kelas bulu yunior melawan Nurhuda. Di GOR Saparua Bandung, 27 Desember 1986, Monod menang 12 ronde atas Nurhuda. Di Jakarta, Nurhuda balas mengalahkan Monod. Di Gresik, Monod-Nurhuda draw 12 ronde.
Monod (Arema Malang) mencoba lagi namun kalah 12 ronde melawan Little Holmes (Gajayana Malang) di atas kolam renang Gajayana Malang, 16 April 1988.
Ini menjadi catatan penting bagi saya, ketika bel terakhir terdengar Monod langsung turun meninggalkan ring. Seharusnya seorang petinju menunggu sampai wasit mengangkat tangan pemenang.
Pertandingan dipromotori Tinton Soeprapto dari Jakarta, yang mendatangkan penyanyi top Si Burung Camar Vina Panduwinata.
Era Little Holmes atau Misiyanto tak lama. Di Gedung Go Skate Surabaya bersama promotor Agus Mulyantono, Selasa malam, 27 Desember 1988, Robby Rahangmetan (Pirih Surabaya) datang melucuti gelar kelas bulu yunior yang disandang Little Holmes (Gajayana Malang).
Robby Rahangmetan menghentikan Boy Kelung (Benteng AMI/ASMI Jakarta) pada ronde 4 dari rencana 12 ronde di Stadion Singaperbangsa, Karawang, Jawa Barat, 1 April 1989. Ini salah satu kejuaraan Indonesia kelas bulu yunior paling mendebarkan dan enak ditonton. Setiap ronde, Boy jatuh kena pukul sampai akhirnya wasit Judo Prawira (Bandung) menghentikan pertandingan. Promotor Indragiri membayar Robby Rp 1,5 juta dan Boy Rp 400 ribu.
Tiga bulan kemudian, tepatnya 12 Juli 1989, di atas kolam renang Taman Hiburan Rakyat (THR) Surabaya, underdog Monod mengalahkan juara Robby Rahangmetan melalui pertarungan 12 ronde.
Malam itu Monod yang sudah pindah ke Javanoea Malang bersama manajer Eddy Roempoko dan duet pelatih Wongso Suseno-Movid, mencetak rekor satu-satunya petinju yang berhasil tiga kali menjadi juara Indonesia kelas bulu yunior. Rekor ini sudah bertahan selama 31 tahun. Belum tersamai.
Sekali lagi Monod mengalahkan Robby Rahangmetan dalam kejuaraan Indonesia kelas bulu yunior di GOR TD Pardede, Medan, 16 November 1989.
Sehari kemudian saya pergi mengunjungi ke tanah kelahiran saya di Jalan Narumonda Bawah, Pematang Siantar, yang berjarak sekitar 3 jam perjalanan darat dari Medan. Pohon pepaya yang dulu tumbuh subur di halaman muka sudah tidak ada.
Masih tentang Monod. Di Gedung Go Skate Surabaya, 18 Juni 1991, bersama promotor A Seng yang dermawan itu, Monod gagal merebut sabuk OPBF kelas bulu yunior. Pertandingan dihentikan pada ronde 8 akibat luka berat diderita Monod. Setelah hitung angka, Monod kalah. Kekalahan Monod karena hakim dari Indonesia salah melihat sudut. Seharusnya 10-9 untuk Monod, ditulis terbalik 10-9 untuk Korea, Jae Won-Choi. Parah. Tetapi biarkan saja, orangnya sudah mati.
Kalau dihitung dengan pertandingan di Korea, sepanjang karirnya Monod dua kali gagal merebut sabuk juara OPBF kelas bulu yunior. Di Daeju, 12 Februari 1984, Monod tumbang KO ronde 4 dihantam Ji-Won Kim.
Terakhir bertemu Monod, 62 tahun, di arena tinju Kota Batu, 17 November 2019. Monod duduk bersama legenda Wongso Suseno dan Nurhuda. Saya menyalami mereka. Senang bertemu the legend.
ERA EMAS BUGIARSO
Salah satu petinju kelas bulu yunior Indonesia yang berprestasi adalah Bugiarso dari Akas Probolinggo Jawa Timur.
Bugiarso menjadi juara kelas bulu yunior Indonesia di Medan, 21 Oktober 1995, mengalahkan Achmad Fandi (Dhori Malang).
Di Jakarta, 9 Mei 1996, Bugiarso mengalahkan Alexander Pak (Rusia) untuk menjadi juara PABA kelas bulu yunior.
Tak semua pertandingan Bugiarso dalam reportase saya. Bugiarso mencatat rekor sampai delapan kali memenangkan kejuaraan PABA. Sayang sekali prestasi ini tidak pernah mengantarnya tampil di kejuaraan dunia.
Kelas bulu yunior pernah diisi beberapa petinju yang datang dari kelas bantam seperti Andrian Kaspari, Virgo Warouw, Rachman Kiliki. Mereka sempat tapil di kelas bulu yunior.
Rachman Kiliki di era tinju pro masuk televise membuka harapan sebagai salah satu calon bintang sekaligus calon juara dunia baru.
Rachman Kilikili merebut sabuk juara kelas bulu yunior di Jakarta, 5 Oktober 2002, mengalahkan Hasan Ambon dari Batu, Jawa Timur. Berikutnya Rachman mengalahkan Ahmad Fandi dan Dozer Tobing di partai kejuaraan.
Rachman Kilikili bertanding non gelar 10 ronde di Balikpapan, Kalimantan Timur, 5 Maret 2005, menang angka atas Eddy Comaro, yang dipromotori oleh Martin Walewangko.
Itu adalah pertandingan terakhir Rachman Kiliki sampai kematiannya yang tidak wajar, bunuh diri, di Palembang, Sumatera Selatan.
Finon Manullang, menulis dari Desa Tridaya Tamsel, Jawa Barat, [email protected]