Rondeaktual.com – Setelah menggantungkan sarung tinju, apa yang bisa dikerjakan?
Satuan pengamanan (Satpam) paling favorit barangkali. Tetapi, tidak sedikit para mantan jago boxing meneruskan hidupnya sebagai centeng di pusat hiburan, atau ajudan kepala daerah, mengurus kebun, buka rumah makan, buka lapak, ternak ayam, ternak ikan, pelatih privat, dan usaha lainnya.
“Kalau saya punya usaha sampingan ternak ikan lele,” ujar mantan petinju amatir dan profesional David Koswara, 43 tahun.
Berdasarkan pengakuannya sendiri, dia lahir di Purwokerto, Jawa Tengah, 20 Desember 1976.
David Koswara kurang terangkat ketika di amatir, yang pernah mewakili Pertina Kalimantan Timur.
“Jenjang amatir saya tidak sempat ikut Kejurnas apalagi PON. Saya sempat ditawari untuk menangani tim PON Kalimantan Timur. Tapi mentah lagi, mungkin karena PON Papua undur tahun depan,” ujarnya.
Setelah terjun ke dunia tinju pro, karirnya meski tidak sehebat Ellyas Pical, namun mampu mencetak rekor fantastik; empat kali juara di empat kelas yang berbeda.
David Koswara satu-satunya yang bisa melakukan prestasi itu. Belum ada petinju Indonesia yang menyamainya. Tertinggi juara tiga kelas.
“Saya pernah juara kelas ringan Indonesia, juara kelas welter Indonesia, juara kelas menengah yunior PABA (gelar Asia dan Pasifik), dan juara kelas menengah Indonesia. Sekarang sudah kepala empat. Sudah tua. Sudah tidak mungkinlah. Biarkan yang muda yang jalan. Tetapi, saya masih ikut kompetisi, sampai sekarang. Saya masih bertanding untuk heavyweight title (perebutan gelar kelas berat WBC Asia) di luar negeri. Saya kalah tapi saya bangga. Ada petinju Indonesia bertanding di kelas berat, itu kan tidak biasa,” ujarnya.
JUARA 4 KELAS
1. KELAS RINGAN 61 KG
November 1998, GOR Dimyati, Tangerang, David Koswara merebut gelar juara kelas ringan Indonesia, menang angka 12 ronde melawan juara Maxi Karamoy (Manado, Sulawesi Utara). Promotor Boy Bolang.
2. KELAS WELTER 66 KG
Maret 2000, Studio Indosiar, David Koswara merebut gelar juara kelas welter Indonesia, menang angka 12 ronde atas Usman Zakaria (Malang, Jawa Timur). Promotor Daniel Bahari.
3. KELAS MENENGAH YUNIOR 69 KG
September 2001, Jember, David Koswara merebut gelar juara PABA (Asia dan Pasifik) kelas menengah yunior, menang angka 12 ronde atas Harmen Ajadato (Tangerang, Banten). Promotor Daniel Bahari.
4. KELAS MENENGAH 72 KG
Desember 2003, Studio SCTV Top Boxing, Jakarta, David Koswara merebut gelar juara kelas menengah Indonesia, mengalahkan Thompson Tasli (Jakarta). Promotor Tourino Tidar.
JUARA 3 KELAS
Sementara, tercatat tiga petinju yang pernah merebut tiga gelar juara Indonesia dari kelas yang berbeda.
1. Freddy Ramschi (Surabaya, Jawa Timur): Kelas bulu yunior, kelas ringan, kelas welter.
2. Rudy Haryanto (Jember, Jawa Timur): Kelas bulu, kelas ringan yunior, kelas welter yunior.
3. Djufrison Pontoh (Bekasi, Jawa Barat): Kelas welter, kelas menengah yunior, kelas menengah.
Yani Malhendo, dulu bertinju di Pirih Boxing Camp Surabaya, juga juara tiga kelas. Tetapi, Yani hanya dua kelas juara Indonesia (kelas terbang ringan dan kelas terbang) sedangkan gelar kelas bantam yuniornya untuk gelar IBF Intercontinental.
USAHA IKAN LELE
Berawal dari uang bonus SEA Games 2013, David Koswara memulai usaha ternak ikan lele di Cikande, Serang, Banten.
Ikan lele sekarang menjadi salah satu hidangan paling favorit di kalangan masyarakat. Kandungan gizinya yang tinggi menjadikan permintaan pasar terhadap ikan berpatil ini cukup tinggi.
“Waktu itu saya ikut pelatnas wushu. Sembilan bulan tinggal di hotel, di Senayan. Kerja saya hanya nge-pad atlet. Di SEA Games 2013 atlet wushu Indonesia merebut satu medali perak dan tiga medali perunggu. Sebagai pelatih saya menerima bonus bersih 80 juta, setelah potong pajak. Bonus saya kasih bantu keluarga. Sisanya 20 juta bikin modal budidaya ikan lele di Cikande,” David Korwara menjelaskan. Dia mantu kesayangan dalam keluarga, karena bawaannya yang rendah hati dan bisa membuat hati lawan bicaranya senang.
Memulai usaha ikan lele harus punya tanah. Ada beberapa pilihan yang bisa digunakan seperti kolam tanah, kolam tembok, kolam terpal,
David Koswara jalan dengan empat kolam versi terpal, menghasilkan 400 kilogram. “Setiap panen langsung lempar ke tengkulak. Dapat lima atau enam juta. Potong modal bibit lele, pakan lele, dan yang jaga kolam, sisa tiga juta masih ada.”
Itu tiap tiga bulan. ”Bagi saya itu uang sampingan. Profesi utama saya, setelah mertua menganjurkan saya harus keluar dari tinju, saya ngelatih. Saya pelatih privat boxing dan muaythai. Saya datang ke rumah-rumah. Tarif per visit dua setengah (Rp 250.000). Itu standard. Kalau anak kecil atau anak sekolah, saya tidak patok harga. Dikasih dua ratus (Rp 200.000) saya terima. Bagi saya, seorang anak mau menekuni olahraga itu sudah bagus.”
Mengurus lela tidak setiap hari. Ada orang yang mengawasi. Apalagi lokasi ternak lele di Cikande, sementara David Koswara dan Christina Devi Kusfiane tinggal di Kalideres, Jakarta Barat, rumah mertua.
Menurut David Koswara, dia 100% otodidak dan mengaku malas membaca buku tentang bagaimana cara ternak lele yang menguntungkan.
“Itu (beternak lele) saya kerjakan amatiran. Tidak pakai survei tidak pakai perbandingan. Kalau yang profesional hebat. Mereka impor sampai ke Malaysia dan Singapura. Sekali kirim berton-ton. Menghasilkan uang besar.”
Beternak lele, asal disiplin menaburkan pakan tiga kali sehari, menurut juara tinju di empat kelas ini paling menguntungkan.
“Tidak ada cerita bandar ternak lele gulung tikar. Asal punya tanah teruskan. Itu modal pertama. Bibit kita beli lima kilo per kolam. Angka kematian rendah. Paling sepuluh persen. Sekarang udaranya lagi bagus. Kalau musim hujan kematian meningkat. Terlalu lembab juga tidak baik bagi lele.”
Langganan David Koswara antara lain pedagang nasi pecel lele. “Mereka datang. Sekali beli sampai dua puluh kilo. Mereka simpan lagi buat stock.”
GARA-GARA COVID-19
Musim corona musim tidak paling pahit. ”Gara-gara coronavirus (Covid-19) saya sudah satu bulan di rumah saja. Tidak ada yang dikerjakan. Tidak ada uang masuk. Biasanya setiap hari saya jalan. Saya suka bawa ganti. Sebagai pelatih kita harus tetap bersih. Wangi, biar yang kita latih juga semangat. Saya sering mandi di tempatnya Pak Hom (Little Holmes, Sasana KPJ Bulungan). Di sana paling asyik. Ada istrinya Pak Hom buka warung. Makan nasi pecel bisa sepuluh ribu. Kalau pulang ke rumah tidak mungkin. Waktunya tidak cukup. Saya juga harus naik motor ke rumah yang kita tuju, biar nggak kejebak macet. Kawan lain, yang profesinya sama, juga begitu. Istirahat siangnya di sana.”
David Koswara mengaku tidak bisa lepas dari tinju. Kalau ada tawaran tanding langsung sambar. Belakangan tersiar isu main sabun. Ramai di media sosial. David Koswara menanggapinya enteng saja.
“Saya masih terima kontrak untuk pertandingan kelas berat. Kalau saya bertanding enjoy saja. Banyak gerak di atas ring dan itu sangat perlu. Kelas berat bagus untuk partai hiburan. Kalau saya bertanding, bagi saya nostalgia. Jumpa kawan-kawan bahagianya bukan main,” katanya.
David Koswara sudah lulus sekolah pendeta. Tetapi akhirnya kalah dan itulah yang dia istilahkan sebagai lari dari panggilan. (ronde aktual / finon manullang)