Rondeaktual.com – Pekan lalu kami (Finon Manullang dan Mike Wangge) janjian bertemu di taman untuk tujuan olahraga.
Kami tinggal berseberangan di Desa Tridayasakti, Jawa Barat. Hanya dibatasi sungai yang panjang. Airnya mengalir dan jorok karena warga luar sering melemparkan bungkusan plastik kresek kemudian tancap gas. Si pembuang sampah takut dan menghilang. Sebab sudah diancam, jika kedapatan lagi membuang sampah ke sungai, maka hidungnya bisa bengkok kena tonjok.
Tiba di taman, Mike Wangge sudah menyalip. Curi start. Saya melihat tangannya yang ditutupi bulu-bulu halus berkeringat. Sehat sekali. Pantas saja Mike Wangge awet muda seperti pria 50-an. Padahal sudah 67 tahun. Beliau duluan empat tahun dari saya.
Bagi saya, Mike Wangge adalah seorang wartawan senior peliput tinju amatir dan profesional. Ia juga jago menggelar seminar. Mendirikan sekolah taekwondo. Anak saya pernah saya suruh belajar dan bayar. Beda dengan tinju, yang bisa dipastikan gratis.
Mike Wangge tidak hanya membuka diri untuk tinju. Beliau juga meliput cabor lain seperti catur, voli, renang, taekwondo, dan hampir semua olahraga yang dipertandingkan.
Belum berapa menit olahraga bareng dengan konsep PMJJ (pakai masker jaga jarak), Mike Wangge bicara begini: “Mulai kapan menulis tinju, kalau boleh tahu?”
Seingat saya, pertama kali menulis untuk tinju pada 1981. Lantaran Mike Wangge adalah wartawan Suara Pembaruan, maka saya jelaskan bahwa saya pernah menulis tinju di koran sore Suara Pembaruan. Di tahun itu saya sedang bekerja sebagai tenaga kontrak pembantu layout untuk Majalah Variasi dan Majalah Monalisa (edisi bahasa Inggris).
“Tinju tentang apa itu,” kejar Mike Wangge.
Berita tinju pertama saya dan satu-satunya di Suara Pembaruan adalah preview Valence Hurulean (Poor Boys Boxing Camp Jakarta) dalam menghadapi si raja KO asal Korea Selatan, Chong Pal Park.
Laga Hurulean-Park berlangsung di Seoul, 18 Juli 1982. Hanya dua ronde, Park mempertahankan gelar OPBF kelas menengah. Sebelumnya di Istora Senayan Jakarta, 4 Mei 1980, Park mempertahankan gelar OPBF melalui kemenangan TKO ronde ke-7 atas penantang Indonesia, Rocky Joe.
Setelah itu saya bergabung dengan kelompok SG, milik tokoh pers besar Syamsudin Lubis. SG menerbitkan majalah antara lain: Selecta Sport, Nova, Senang, Detektif & Romantika atau DR, Stop, dan Selecta.
“Setelah itu ke mana saja,” tanya Mike Wangge.
Saya keluar dari Ibu Kota dan pergi ke Surabaya untuk menangani Tinju Indonesia, majalah tinju satu-satunya Tanaha Air yang secara spesifik menulis untuk tinju. Majalah ini milik almarhum Setijadi Laksono, peraih medali emas kelas berat PON VII/1969 Surabaya.
Itu tahun 1984. Cukup lama membuat sadar bahwa saya dan Mike Wangge adalah dua orang tua yang tua di tinju.
Disebut “tua” karena umur memang sudah kepala enam. Disebut “tua di tinju” karena perjalanan saya dan Mike Wangge di dunia menulis tinju memang sudah cukup lama.
Sudah bertahun-tahun Mike Wangge memberikan hatinya untuk tinju. Ketika Olimpiade Los Angeles cabor tinju mempersiapkan tiga petinju, Mike Wangge menjadi salah satu wartawan peliput petinju paling banyak menulis preview tiga petinju Indonesia termasuk sang suhu almarhum Daniel Bahari.
3 PETINJU INDONESIA DI OLIMPIADE XXIII/1984 LOS ANGELES
1. Johni Asadoma, kelas bantam 54 kilogram, gagal medali.
2. Alexander Wassa, kelas bulu 57 kilogram, gagal medali.
3. Fransisco Lisboa, kelas welter 67 kilogram, gagal medali.
“Saya tidak ikut meliput ke Olimpiade Los Angeles, tapi hampir setiap hari bersama mereka (Johni Asadoma, Alexander Wassa, Fransisco Lisboa, dan pelatih Daniel Bahari). Menulis persiapan mereka dari berbagai angle. Itu sesuatu yang sangat menyenangkan,” kenang Mike Wangge. “Olimpiade berikutnya (Olimpiade XXVIII/2004) saya ke Athena. Saya satu apartemen dengan almarhum Yongky (reporter RRI, Firmansyah Gindo).”
Dari Olimpiade Athena 2004, Mike Wangge menulis tentang pelatih Wiem Gommies dan petinju Bonyx Saweho. Bonyx sekali bertanding dan tumbang.
Perjalanan Mike Wangge adalah perjalanan yang panjang di dunia tinju Tanah Air. Beliau sudah menulis tinju mulai kelas daerah, kelas nasional, kelas internasional.
Liputan besar terakhir Mike Wangge adalah PON XVIII/2008 Kalimantan Timur. Melalui koran sore Suara Pembaruan, Mike Wangge banyak menulis tentang tinju.
Tahun terakhir era surat kabar sudah tenggelam. Sudah habis. Berbagai media cetak gulung tikar. Bahkan ada ribuan media (harian, mingguan, tabloid, dan majalah) dipaksa harus berhenti karena tidak kuat berurusan dengan percetakan, termasuk majalah Ronde (majalah tinju satu-satunya). Tahu sendiri, harga kertas bukan main.
Era koran telah berlalu. Tetapi, bukan berarti semangat tinju Mike Wangge hilang. Sahabat satu ini tetap berkutak dengan segala tingkah laku tinju melalui online.
Dalam ingatan saya, ketika Ketua Umum KONI Pusat, Mayjen TNI (Purn) Tono Suratman melantik personalia PP Pertina 2016-2020 di Wisma Serbaguna, Senayan, Kamis, 8 September 2016, Mike Wangge ada di sana.
Saya melihat dari kejauhan Mike Wangge sedang berbicara dengan Ketua Umum PP Pertina, Brigjen Pol Johni Asadoma. Saya tidak mendengar apa yang sedang mereka bicarakan.
Sehari setelah pertemuan itu, saya membaca tulisan Mike Wangge tentang Johni Asadoma di media online yang ditanganinya.
Tulisan itu tidak panjang-panjang amat. Saya membacanya enak dan lurus-lurus saja tanpa harus mengangkat kasus Pertina yang sempat nyangkut selama empat bulan di Badan Arbitrase Olahraga Indonesia (BAORI). (rondeaktual.com /finon manullang)