Rondeaktual.com – Suatu hari pelatih Daniel Bahari menyampaikan rencana kedatangannya bersama tim pelatnas ke Surabaya untuk tujuan latih tanding dengan petinju pro Jawa Timur. Sesuatu yang tabu ketika itu.
“Bilang ke Pak Setiyadi (Laksono) kami mau datang. Mau latihan di tempat Pak Eddy (Pirih) dan ke Sawunggaling. Datang ya, biar bisa liput. Gua bawa Ciko.”
Itu percakapan saya dengan Daniel Bahari melalui telepon di meja Redaksi Majalah Tinju Indonesia, yang berkantor di Jalan Kalikepiting, Surabaya, tempat saya bekerja, Juni 1984, (Daniel meninggal dunia kena serangan jantung di rumahnya, Denpasar, Bali, Senin, 16 Maret 2015).
Di tahun itu saya di Surabaya menangani majalah Tinju Indonesia bersama peraih medali emas kelas berat PON VII/1969 Surabaya, Setiyadi Laksono.
Setiyadi adalah pemilik majalah sekaligus pelatih Sawunggaling Surabaya, sasana tinju yang sangat terkenal karena berhasil mengantar anak-anak desa sebagai juara tanpa pernah melewati jenjang amatir.
Di tahun tabu bagi Pertina bila petinju amatir latih tanding atau bahkan hanya latihan bersama dengan petinju profesional. Namun aturan itu tak berlaku bagi Daniel Bahari. Dengan terbuka dan meski mendapat kritik keras dari Pertina, Daniel Bahari bersama mendiang Richard Pangkey berani mendatangi sasana tinju pro untuk mendapatkan latih tanding.
Daniel Bahari tidak menyebut siapa saja tim pelatnas Olimpiade XXIII/1984 Los Angeles. Daniel hanya bilang: “Gua datang bersama Ciko.”
Ketika itu nama Ciko (Fransisco Lisboa) sedang melambung sebagai bintang tinju amatir melalui Piala Presiden VI/1983 Jakarta, meraih medali emas kelas welter sekaligus best boxer.
Ketika bertemu Daniel Bahari di sasana Pirih Surabaya, Jalan Nginden Kota II/100, saya melihat selain Fransisco Lisboa ada Alexander Wassa dan Johni Asadamo. Semua peraih medali emas Piala Presiden. Alexander adalah juara kelas bulu tahun 1983 dan juara 1984 sekaligus best boxer. Johni Asadoma juara kelas ringan tahun 1984.
Di Pirih Camp itulah saya pertama kali mengenal Johni Asadoma, yang 32 tahun kemudian terpilih aklamasi sebagai Ketua Umum PP Pertina periode 2016-2020.
Saat latihan di Pirih Surabaya, Johni Asadoma, Alexander Wassa, dan Fransisco Lisboa, tidak banyak bicara. Tidak dilarang, tetapi waktu latihan sangat terbatas dan hanya 90 menit. Intensitas latihan sangat tinggi. Daniel Bahari sengaja mengurangi bicara karena benar-benar focus menangani ketiga petinju yang akan terjun di Olimpiade Los Angeles 1984.
Sambil latihan (bermain skiping), Johni menjawab beberapa pertanyaan yang saya ajukan seperti data kelahiran dan cita-cita ke depan. Johni lahir di Denpasar, 8 Januari 1966. Usia 18 tahun sudah mewakili negaranya ke olimpiade.
Tidak ada wartawan lain yang datang melihat latihan tersebut. Barangkali tidak diberitahu tetapi kepada saya Daniel mengabarkan rencana dan tujuan kedatangannya ke Surabaya.
Latihan bersama petinju pro antara lain Hengky Gun (kelas ringan yunior) dan Suwarno Perico (kelas welter yunior) dari kubu Sawunggaling. Dari sasana Pirih ada Albert Bapaimo (kelas menengah), Johannes Msiren (kelas ringan) dan petinju pro muda lainnya.
Selama di Surabaya, tim pelatnas berlatih di Sawunggaling (bersama pelatih Setiyadi Laksono) dan Pirih (bersama pelatih Suparlan dan manajer Eddy Pirih).
Selama latihan bersama petinju pro di Surabaya, saya hanya dua kali bertemu Johni Asadoma. Di situ ia menyampaikan cita-citanya ingin masuk Akademi Polisi.
Sekarang, atau setelah 36 tahun kemudian, Johni Asadoma menyandang bintang dua dan sejak 17 Juli 2020 mengemban amanat sebagai Kepala Divisi Hubungan Internasional Polisi Republik Indonesia.
Setelah pertemuan di Surabaya, 10 tahun kemudian, atau pada 1994, saya bertemu Johni Asadoma di GOR Arie Lasut, Manado, menyaksikan pertandingan tinju profesional. Ketika saya bertanya, Johni menjawab sudah Lettu. Sudah Letnan Satu.
Tujuh tahun kemudian, atau pada 2001, saya bertemu Johni Asadoma di arena tinju Piala Presiden XX/2004 Pulau Batam.
Johni Asadoma sebagai manajer Indonesia Rajawali, yang mengantar Dadan Amanda juara kelas bantam sekaligus best boxer. Di tahun itu Johni Asadoma sudah AKBP dan menjabat Kapolres Binjai.
Saya tidak pernah melihat Johni Asadoma bertanding. Beda dengan Ciko dan Alexander, yang sejak pulang dari Olimpiade Los Angeles keduanya memilih tinju pro sebagai jalan terakhir bersama promotor Boy Bolang.
Pada 2004 di Pulau Batam, saya pernah melihat Johni Asadoma mengikuti ujian tertulis untuk wasit/hakim Asia (Federation Asian Amateur Boxing, sekarang menjadi Asian Boxing Confederation) dan lulus bersama Agung Samsul Hadi (Jawa Timur), Sampun Asmara (Bali), dan Hermanto Ginting (Kalimantan Selatan). Johni Asadoma tidak pernah tugas wasit/hakim karena keterbatasan waktu dengan kedinasan.
Dua hari yang lalu –tanpa memberi ucapan selamat sudah bintang dua—saya komunikasi melalui WhatsApp. Irjen Pol Drs Johni Asadoma, SIK, M.Hum, menulis kalimatnya dengan singkat: “Begitulah manusia.”
Terakhir bertemu Johni Asadoma bersama (*AIBA) Warta Ginting dan (***AIBA) Hermanto Ginting, di Senayan, Jumat malam, 28 Februari 2020, ketika melepas keberangkatan empat petinju Indonesia ke Amman, Jordania, untuk menghadapi babak kualifikasi Olimpiade Tokyo. Tim tinju Indonesia dipimpin oleh Wakil III Ketua Umum PP Pertina, Hengky Silatang, SH.
TIM KE JORDANIA
1. Silpa Lau Ratu (Kalimantan Selatan), kelas bulu 57 kilogram.
2. Aldoms Suguro (DKI Jakarta), kelas terbang.
3. Lucky Hari (Nusa Tenggara Timur), kelas bulu 57 kilogram.
4. Maikhel Muskita (Jawa Barat), kelas menengah 75 kilogram.
5. Hemernsen Ballo (Nusa Tenggara Timur), pelatih.
6. Barbaro Jiminez (Kuba), pelatih.
7. Hengky Silatang (DKI Jakarta), manajer.
Di Jordania tidak ada petinju Indonesia yang lolos ke Olimpiade Tokyo 2021. Semua gagal medali.
Finon Manullang, menulis dari Desa Tridayasakti, Jawa Barat