Rondeaktual.com – Boleh jadi, tahun ini, tahun 2020, merupakan tahun paling pahit sepanjang sejarah tinju pro Tanah Air. Pertandingan tinju pro benar-benar tenggelam. Tanpa ampun.
Semua orang diwajibkan mematuhi protokol kesehatan. Tidak ada promotor yang berani menggelar pertandingan. Semua jadwal yang sudah tersusun bahkan sudah ada mencairkan termin pertama 30%, dinyatakan tunda. Tunda lagi dan tunda lagi. Bimbang. Tanpa kepastian.
Juara IBO kelas terbang ringan southpaw Tibo Monabesa, yang sudah berumur 30 tahun dari Armin Tan Promotion, harus kehilangan uang besar yang sudah terbayang di depan mata. Dia tidak boleh bertanding. Punya gelar dunia tapi tidak bisa menghasilkan uang. Itu sangat disayangkan.
Andika Sabu, 24 tahun, milik raja tinju Bali, Zainal Tayeb harus kehilangan kontrak kejuaraan dunia WBA Super kelas terbang ringan melawan sang juara asal Jepang, Hiroto Kyoguchi, 26 tahun. Kontrak yang sudah ditandatangani petinju dan manajer hangus tanpa uang kompensasi.
Seharusnya setiap kontrak yang sudah ditandatangani wajib menerima pembayaran 30% dari nilai kontrak. Sisa 70% dibayar pada saat timbang badan petinju, melalui badan tinju yang mengawasi pertandingan. Lazim diurus oleh Inspektur Pertandingan. Itu aturan.
Pengiriman petinju ke luar negeri yang marak dikerjakan oleh para mantan petinju atau para petinju yang umurnya sudah masuk kategori veteran, sama pahitnya dengan situasi dalam negeri sendiri. Tidak ada petinju Indonesia yang bertanding di luar negeri, yang biasanya sudah menjadi langganan di Jepang, Thailand, Filipina, Australia, Cina, Pakistan, Vietnam. Banyak orang kehilangan mata pencaharian. Mau berteriak, tapi semua penjuru dunia juga mengalami nasib serupa. Ini sangat tragis.
Orang-orang yang meneruskan warisan mendiang Willy Lasut mengirim petinju ke luar negeri harus menerima kenyataan pahit. Kering kerontong.
Para matchmaker atau agen tinju Indonesia antara lain; Hendra Julio (Tanjung Priuk), Ricky Manofoe (Solo), Rosa Kusuma (Jakarta), Hendrik Barongsai (Jakarta), Apat S (Jakarta), Ongen Ferdinandus (Jakarta), Aryo Sulkhan (Semarang), Jack Amisa (Malang), Erick Purna Irawan (Jakarta).
Peran para pengirim tinju ke luar negeri sangat besar bagi kehidupan petinju Tanah Air.
Haru tentunya. Mereka yang selama ini menggantungkan hidup dari bertinju tak bisa melawan. Para pelatih member atau pelatih privat yang tumbuh bagai jamur di musim hujan, ikut-ikutan gigit jari. Kehilangan jadwal latihan. Kehilangan uang les.
Tak ada yang bisa melawan COVID-19. Semua orang harus tunduk. Tidak sedikit orang dibuat takut. Tidak semua berita di internet benar. Kita disuruh di rumah saja. Stay at home. Ini sepertinya lebih aman.
COVID-19 merujuk pada singkatan dari Coronavirus Disease 2019. COVID-19 adalah penyakit yang disebabkan oleh virus Corona pada 2019.
Seperti penyakit pernapasan lainnya, COVID-19 dapat menyebabkan gejala ringan seperti pilek, sakit tenggorokan, batuk, dan demam. Butuh imun yang bagus untuk membentengi diri sendiri.
Menggunakan masker menjadi keharusan ketika seseorang pergi meninggalkan rumah. Bisnis masker mendadak marak di sepanjang jalan, mirip jual kacang goreng. Laris manis di pinggir jalan, mulai dari yang mahal sampai diobral sepuluh ribu dikasih tiga.
Ke mana-mana dengan masker. Masker mampu menghalangi virus atau bakteri yang akan masuk ke mulut atau hidung.
Kita semua berharap COVID-19 segera lenyap sehingga dunia tinju Tanah Air bisa dibangun kembali seperti tahun sebelumnya. Berharap bisa menghasilkan calon juara dunia baru. Berharap lahir Ellyas Pical baru. Sebab tidak bagus juga jika Indonesia biarkan tanpa juara dunia. Harus ada generasi Ellyas Pical.
Beruntung masih ada juara dunia dari Indonesia, seperti juara IBA kelas welter yunior Daud Yordan, juara IBA kelas bulu Ongen Saknosiwi, juara IBO kelas terbang ringan Tibo Monabesa. Ketiganya sudah lebih satu tahun tidak naik ring. Apa enaknya juara tanpa bertanding. Butuh kesabaran yang tinggi.
Sebelum tinju pro benar-benar ditenggelamkan oleh COVID-19, Willem Lodjor Promotion masih sempat menggelar pertandingan di Lapangan Sepakbola Desa Merdeka, Lembata, Nusa tenggara Timur, Minggu, 22 Maret 2020. Itu yang terakhir, menjelang detik-detik diberlakukannya lockdown, menyusul work from home.
Di Lembata, Thomas Tope Hurek (King Lembata Jakarta) berhasil merebut sabuk juara Indonesia kelas terbang, setelah menghentikan perlawanan Madit Sada (tanpa sasana, Jakarta).
Setelah Lembata Boxing Fight selesai, pertandingan tinju berikutnya gugur satu per satu. Dua petinju amatir Sulawesi Selatan yang sudah menyatakan selamat tinggal Pertina, harus mencabut keinginannya untuk tetap di amatir. Rencana pertandingan di Bone harus dihentikan.
Tidak hanya di Bone. Di Jawa Tengah bersama promotor tunggal David Suprapto membatalkan pertandingan. Di Sumatera Barat, promotor Ilham Tanjung dan promotor Yudi Edmund tak berdaya dengan CODID-19.
Promotor seperti Milasari, Martin Daniel Tumbelaka, Nelson Nainggolan, Hodlif Hun, Welly Koto, dan yang lain, harus menghapus semua jadwal pertandingan. Banyak jadwal yang dihentikan, kecuali Pilkada serentak 270 daerah pada Rabu, 9 Desember 2020.
Ketika orang-orang tak ingin menyelenggarakan pertandingan, tiba-tiba muncul partai “dendam kesumat” antara Satria Antasena (Jember) dengan Joey de Ricardo (Jakarta). Respon besar. Tetapi, meski sudah dipanas-panasi melalui promosi versi media sosial plus cacimaki, akhirnya harus dilupakan.
Partai Antasena-Joey awalnya akan diambil Teket Jawa Promotion, namun jatuh ke tangan HWK Promotion.
Dianggap merebut lahan, perang kata-kata penuh kebencian di media sosial tak terhindarkan. Perang kata-kata menjadi sangat terbuka. Menyerang pribadi. Menyisahkan rasa congkak. Angkuh.
Kadangkala begitulah warna tinju. Orang bilang, bukan tinju namanya kalau bukan ribut.
Finon Manullang, menulis dari Desa Tridayasakti, Jawa Barat.