Rondeaktual.com – Saya membuat janji bertemu dengan Ketua Umum Komisi Tinju Indonesia (KTI) Pusat, Anthon Sihombing dan Ketua KTI Provinsi DKI Jakarta, Sangap Sidauruk.
Itu pekan lalu, setelah memastikan bahwa Anthon Sihombing sudah kembali ke Jakarta dari mengikuti upacara pemakaman abang kandung beliau di Sumatera Utara.
Saya menentukan janji bertemu Senin, 8 Maret 2021. Anthon Sihombing menentukan tempat di Rawamangun.
Saya ke sana. Setengah tergesa-gesa dan sudah terlambat hampir 10 menit dari kesepakatan bertemu pukul 13.00.
Anthon Sihombing duduk sendiri, sekitar lima meter dari lapangan golf. Saya duduk di sebelah kanan beliau.
Lima menit kemudian, Sangap Sidauruk datang sambil menenteng map dan duduk persis di depan saya. Kami bertiga. Pakai masker.
Karyawan restoran datang tanpa menyodorkan daftar menu. Sangap Sidauruk order gadogado.
Saya ikut. “Pakai lontong. Biji cabe dibuang ya,” saya berpesan begitu kepada karyawan.
“Di sini sudah diblender. Sudah campur,” balas anak muda itu.
Oke. Tidak masalah. Saya pesan air putih dalam kemasan. Sangap Sidauruk pesan kopi. Anthon Sihombing pesan kopi dan pisang goreng.
Gadogado yang saya pesan biasa-biasa saja. Tidak pedas.
Sejak remaja saya sudah suka gadogado. Pernah punya langganan di Tanah Tinggi, Jakarta Pusat, tidak jauh dari rumah seniman besar almarhum Bing Slamet.
“Mau tambah pake ikan? Di sini masak ikannya enak,” kata Anthon Sihombing.
Saya kaget. Sampai sejauh itu perhatian beliau. Saya merasa senang dan terima kasih.
Pertemuan Rawamangun untuk membicarakan rencana penerbitan buku KTI.
Dulu –mungkin sekitar 10 tahun yang silam—di tempat yang sama, kami pernah membicarakan rencana penerbitan buku KTI. Sudah masuk dalam notulen rapat pleno.
Mentah. Barangkali karena saya kurang serius. Beberapa jam sebelum bertemu pada Senin siang, saya sudah sampaikan kepada Anthon Sihombing, bahwa saya serius. Itu pula yang mendorong terjadinya pertemuan.
Menulis buku adalah hal yang mudah. Tetapi, menjadi tidak mudah ketika kita mulai berurusan dengan percetak. Harga kertas yang mahal menjadi senjata bagi para toke percetakan di negeri ini. Mereka suka memainkan harga.
Saya pernah menulis beberapa buku tinju. Tidak ada masalah dan saya harus berterima kasih kepada almarhum Anton Sihotang dan almarhum A Seng, untuk buku kedua. Pada buku ketiga, saya berterima kasih kepada Jenderal Hendropriyono. Buku keempat (sedang proses cetak), saya berterima kasih kepada Irjen Pol Johni Asadoma.
Dalam pertemuan dengan Anthon Sihombing dan Sangap Sidaruk, saya sampaikan bahwa rencana pembuatan buku KTI akan dimulai dari sejarah perjalanan tinju Tanah Air.
Kita tahu, sebelum KTI lahir, sudah banyak pertandingan tinju pro yang diselenggarakan dari pasar malam ke pasar malam lainnya.
Tinju pro masa lalu kental dengan sebutan tinju pasar malam. Pertandingan diawasi oleh Persatuan Gulat dan Tinju atau Pertigu.
Pertigu sudah selesai. Tinju amatir diurus oleh Persatuan Tinju Amatir Indonesia atau Pertina.
Tinju pro pertama kali diurus oleh KTI. Selama pertemuan Rawamangun, saya atau kami bertiga tidak pernah menyinggung tentang banyaknya badan tinju di Indonesia.
Kepada kedua lawan bicara saya, saya tidak pernah bicara tentang sejarah lahirnya badan tinju lain seperti:
Asosiasi Tinju Indonesia (ATI), yang sekarang dipimpin oleh Manahan Situmorang.
Komisi Tinju Profesional Indonesia (KTPI), yang sekarang dipimpin oleh Ruhut Sitompul.
Federasi Tinju Indonesia (FTI), yang pernah dipimpin oleh Hasurungan Pakpahan.
Federasi Tinju Profesional Indonesia (FTPI), yang pernah dipimpin oleh Neneng A Tuty.
Badan tinju profesional Tanah Air terlalu banyak. Bahkan nyaris tujuh badan tinju. Saya pernah diajak untuk mendirikan badan tinju baru. Saya ditawari menduduki posisi strategis Sekretaris Jenderal (Sekjen). Saya tolak.
Terakhir, sekitar tiga tahun silam, saya pernah diajak untuk mendirikan badan tinju baru. Saya diplot untuk jabatan Sekjen. Saya tolak.
Untuk apa mendirikan badan tinju baru, kalau dimulai dari hati yang marah. Dari rasa sakit hati.
Saya tidak akan pernah terlibat di sana (baca tinju pro). Di tinju amatir (Pertina), saya pernah berkali-kali menduduki posisi Hubungan Masyarakat (Humas). Untuk beberapa periode bersama Ketua Umum yang berbeda-beda. Ada yang jenderal. Ada yang politikus. Ada yang suka bagi-bagi dollar, usai menang besar di Genting.
Untuk tinju pro, selama bertahun-tahun saya tidak pernah masuk dalam jajaran personalia. Dalam kepengurusan terakhir nama saya tercantum sebagai Humas. Sampai sekarang tidak saya terima dan tidak saya tolak. Saya diamkan saja.
Meski tidak pernah masuk dalam jajaran pengurus harian tinju pro (baik KTI, ATI, KTPI, FTI, FTPI) saya tetap bersyukur bisa setia menulis untuk tinju. Selama bertahun-tahun tak pernah jenuh menulis untuk tinju. Setiap bangun pagi, melalui www.rondeaktual.com, pikiran saya adalah menulis.
Itu merupakan pengabdian. Selama bertahun-tahun. Tanpa putus. Setia menulis untuk tinju bukan halus tapi fakta. Saya sudah memulainya jauh sebelum Ellyas Pical menjadi juara dunia. Elly pertama kali menjadi juara dunia di Gelora Bung Karno, Senayan, Jumat malam, 3 Mei 1985, setelah menang KO ronde 8 dari rencana 15 ronde melawan juara asal Korea Selatan, Jo-do Chun.
Cukup lama mengenal KTI. Selama bertahun-tahun, dari kota ke kota, telah mengikuti pertandingan, yang wasit/hakimnya adalah orang-orang KTI.
Saya pernah meliput pertandingan di sebuah kota kecil di Porong, Jawa Timur. Saya pastikan liar, karena KTI Jawa Timur tidak pernah mengeluarkan daftar ring ofisial.
Itu pada 1984. Akhirnya, lantaran alasan kurang orang, Setijadi Laksono selaku penyelenggara menyuruh saya sebagai hakim penilai.
Di GOR Matahari Terbit, Dili, Timor Timur, saya harus duduk sebagai hakim untuk pertandingan amatir. Pertina setempat hanya mengirim dua hakim dan satu wasit, ketika promotor FK Sidabalok menggelar tinju Ampro, amatir dan profesional.
Saya pernah meliput pertandingan di Mojosari. Hujan deras membuat seluruh ofisial ring basah kuyup. Petugas ring berkali-kali naik membersihkan genangan air di atas kanvas ring. Pertandingan selesai hingga pukul dua dinihari. Itu merupakan pelanggaran.
Di Bengkulu, saya pernah disuruh menyampaikan kepada wasit asal Thailand, agar memenangkan Litle Pono. Jika Pono dari Arema Malang bisa bertahan sampai habis ronde, maka dipastikan dia menjadi juara OPBF kelas terbang mini. Sayang, setelah digempur habis-habisan oleh Samuth Sithnaruepol, Pono tumbang KO pada ronde 12 yang sudah berjalan 2 menit dan 45 detik.
Pada 1985 di lapangan sepakbola Stadion Teledan Medan, saya disuruh sebagai announcer. Pembawa acara terlambat datang.
Banyak kenangan bersejarah di masa lalu yang belum pernah terungkap dan itu akan menjadi bagian dari isi buku KTI.
Pertemuan Rawamangun tanpa proposal. Tetapi, dalam catatan khusus tertulis nominal honor penulis.
Saya sengaja menyiapkan buku KTI dengan harga tinggi. Saya tidak ingin dibayar murah, apalagi sampai gratis. Anthon Sihombing sudah memberi sinyal agar menaikkan angka yang saya ajukan. Itu ide yang bagus. Saya suka.
Kadangkala, sebuah buku ditakar dari honor penulis. Semakin tinggi honor penulisnya semakin baik untuk hari esok.
Finon Manullang, menulis dari Desa Tridayasakti, Jawa Barat.