Rondeaktual.com – Menjadi petinju adalah pilihan. Mungkin oleh sebagian orang dianggap sebagai pilihan profesi yang tidak mempunyai masa depan.
Alasan seperti itu tentu beragam, sesuai dengan pemahamannya masing masing.
Profesi tinju bisa jadi dianggap sebagai sebuah profesi yang sangat berisiko, itu sebabnya para wanita terutama ibu rumah tangga, banyak yang kurang mendukung putranya terjun sebagai petinju.
Di samping berisiko, tinju bahkan diembel-embeli dengan sebutan profesi yang tidak punya masa depan.
Dengan dasar alasan seperti itu, petinju tidak punya masa depan, saya menyempatkan diri melontarkan pertanyaan ke grup mantan petinju dan mendapat tanggapan.
Saya kira beberapa suara mantan petinju cukup mewakili. Punya pendapat yang sama yakni, menolak kalau dikatakan petinju tidak punya masa depan.
Sebagai mantan pelatih tinju, saya sangat mendukung pendapat dari rekan mantan petinju di atas bahwa menekuni olahraga tinju sebagai sebuah pilihan profesi adalah sebuah pilihan yang punya masa depan cerah.
Dengan catatan, asal pelatihannya dilakukan dengan cara yang benar yakni, sejak usia dini, yang dimulai dari usia 6 sampai 10 tahun dengan pola latihan dasar yang terukur disesuaikan dengan kemapuannya karena proses membekali fundamental bertinju bagi seorang calon petinju itu adalah pekerjaan yang relatif panjang. Bisa berkisar tiga sampai lima tahun.
Itulah yang saya lihat, yang dilakukan di dua negara Asia Tenggara; Thailand dan Filipina.
Kedua negara cukup banyak mencetak juara, baik amatir maupun profesional. Bahkan hampir setiap tahun Thailand dan Filipina melahirkan juara dunia baru.
Thailand pernah punya seorang petinju profesional legendaris kelas bantam yunior, Khaosai Galaxy, yang catatan rekor kejuaraan dunianya tak terkalahkan, sampai akhirnya memutuskan untuk menggantungkan sarung tinju sebagai juara dunia WBA kelas bantam yunior.
Itu sangat luar biasa dan atas prestasinya yang begitu hebat, di Thailand, Galaxy mendapatkan kehormatan dari raja Thailand Bumibhol, sebagai anak angkat raja.
Sementara, Filipina tak kalah mentereng, punya banyak juara dunia tinju dan yang paling populer sudah pasti Manny Paquiao, juara dunia yang menjuarai lebih dari 7 kelas berbeda, di mulai dari kelas terbang hingga terakhir bertanding di kelas menengah, berhadapan dengan Floyd Myweather Jr.
Pada pertandingan tersebut kedua petinju mendapatkan bayaran yang sangat fantastis. Pacquiao 1,5 triliun dan Mayweather 2 triliun.
Dengan fakta bayaran yang ditorehkan oleh kedua petinju, maka apa yang sempat menjadi polemik tentang masa depan seorang petinju, dengan sendirinya terjawab.
Sekarang timbul pertanyaan mengapa di Indonesia kehidupan petinju “dalam tanda kutip” sepertinya suram walaupun ada banyak yang sukses secara ekonomi dari hasil bertinju.
Dalam pandangan saya ada berbagai alasan, kebetulan saya pernah terjun langsung menjadi petinju dan pelatih tinju profesional selama lebih dari 25 tahun di beberapa sasana tinju profesional di Ibu Kota.
Catatan saya seperti ini. Melahirkan seorang juara tinju adalah kerja tim yang terdiri dari petinju, pelatih, promotor. Ketiga unsur ini perlu bersinergi dan saling mengisi dalam porsinya masing masing.
Petinju di samping bertalenta dia juga harus punya disiplin yang baik, rajin berlatih dan mampu berkomunikasi dengan pelatih dalam menjalani program yang diberikan.
Demikian sebaliknya pelatih, sehingga target peningkatan teknis dapat dicapai dengan baik.
Seorang pelatih sangat berperan di dalam memoles, mengasah potensi yang ada pada diri seorang petinju dan mengevaluasinya agar semakin hari penampilan tekniknya akan terlihat semakin baik dan meningkat dari sisi seni bertinjunya.
Bagi seorang petinju profesional, nilai jual atau seni bertinju sangat dibutuhkan di dalam setiap pertandingan. Seni bertinju adalah salah satu daya pikat yang dijual kepada penonton, yang akan membangkitkan animo masyarakat untuk datang menyaksikan pertandingan.
Promotor adalah peracik pertandingan. Mengatur lawan bagi seorang petinju yang mungkin bisa dijadikan bintang di masa mendatang.
Kalau ketiga unsur ini kerjasamanya bisa bersinergi dengan baik niscaya akan lahir idola-idola tinju yang akan kembali membangkitkan animo masyarakat.
Dengan demikian diharapkan dari sisi bayaran para petinju bisa semakin ditingkatkan, sesuai dengan kualitas nilai jual yang dipunyai para petinju. Sehingga masa depan seorang petinju semakin baik.
Saya menolak kalau dikatakan masa depan petinju khususnya petinju profesional suram. Hanya saja prosesnya berliku. Panjang dan tidak semudah membalikan telapak tangan.
Alex Rabadeta (mantan pelatih BIN Boxing Camp Jakarta), menulis dari Kota Waingapu, Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur.