Rondeaktual.com, ditulis oleh Finon Manullang – Anda barangkali mengenal Ricky Pontoh, 52 tahun. Baik-baik saja tentunya. Sikap dan pribadi Ricky Pontoh menyenangkan. Rendah hati dan terbilang dermawan. Suka menyumbangkan sebagian uangnya untuk orang lain. Patut ditiru.
Saya tidak ingat berapa kali melihat Ricky Pontoh bertanding di atas ring. Saya tidak menyimpan coretan tentang karir tinjunya. Tetapi, setidaknya saya sangat mengenang tiga pertemuan terakhir sebelum Ricky Pontoh pergi jauh untuk selama.
Ricky Pontoh, kelahiran Tondano, SulawesiUtara, telah pergi meninggalkan kita semua pada Senin (11/6/2018) subuh. Ricky Meninggal dunia di rumah sakit, di Tarakan, Jakarta Pusat, akibat sakit yang dideritanya selama bertahun-tahun.
INILAH 3 PERTEMUAN TERAKHIR
1. Minggu, 3 November 2017: Ketika saya sedang membawakan acara pertemuan mantan petinju nasional di Bumianggrek, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, tiba-tiba terlihat Ricky Pontoh turun dari mobil dan setengah oleng. Ricky tidak sendiri, karena ada sahabat setianya Arche Unsulangi dan teman lain.
Kehadiran Ricky mengejutkan, karena sebelumnya dikabarkan masuk rumah sakit dan sempat beberapa hari tidak sadarkan diri akibat komplikasi parah.
Ricky dengan setia menyebut Tuhan Maha Besar, Maha Penyayang, Maha Pengasih.
Berkat campur tangan Tuhan, Ricky menyebut dirinya bisa bertahan. “Saya sudah divonis, tapi Tuhan masih memberi saya kehidupan,” katanya ketika itu.
Setelah makan siang bersama, para mantan petinju spontan menjalankan aksi “panci tertutup”. Ada yang menyumbang lima puluh ribu dan ada juga hanya sepuluh ribu. Semua datang dari hati paling dalam untuk sahabat Ricky.
Ricky menerima sumbangan tak sampai satu juta dan itu dianggap sebagai sesuatu yang luar biasa. Ricky menyadari bahwa kebersamaan itu memperkuat semangat.
2. Sabtu, 17 Maret 2018: Siang itu saya sengaja berdiri di luar pintu masuk Balai Sarbini, Plaza Semanggi, Jakarta. Saya ada janji dengan Syarifudin Lado, untuk mengerjakan Monthly Boxing Car Free Day.
Sambil menunggu, saya melihat Ricky turun dari mobil (taksi tanpa argo). Dia seorang diri.
Lantaran terlihat sehat, saya memuji ketangguhan hidup Ricky Pontoh.
“Ini semua berkat yang di atas,” telunjuk kanannya diangkat ke atas, sementara tangan kirinya menjepit tas yang tertahan di bawah ketiaknya.
“Terima kasih, saya bisa begini berkat Tuhan. Terma kasih teman-teman, yang selalu mendoakan kesembuhan saya. Kalau menurut vonis, sudah lewat.” Begitu kata Ricky.
Sebelum pertandingan tinju dimulai, kami berjalan melewati tangga dan duduk sekitar lima meter dari ring tinju. “Itu dia, duduk di atas,” Ricky menyebut posisi promotor Martin Daniel. “Saya datang lantaran dia ada undang. Kita berteman sudah lama,” Ricky meneruskan.
Banyak yang disampaikan Ricky dan salah satunya tentang kegagalan rumah tangganya. Saya juga masih ingat ketika Ricky mengambil permen dari dalam tasnya lalu diberikan kepada saya. “Gula-gula. Pas tinggal satu.”
Tanpa saya tanya, Ricky menjelaskan sudah lama hidup sendiri. Ia bekerja di sebuah rumah kos mewah di Jalan Daan Mogot, Grogol Jakarta Barat. Gajinya bisa untuk hidup.
Ricky dua kali berpisah. Seorang anaknya (perempuan) sudah menetap di Amerika.
“Dia semangati saya terus. Dia bilang, dia tidak bisa datang ke Indonesia. Tapi dia selalu telepon dan itu obat bagi saya. Saya jadi semangat. Tapi mungkin itu lantaran dia perempuan. Anak perempuan biasanya lebih sayang kepada papanya.” Ricky tertawa.
Saya sengaja tidak bertanya siapa nama anaknya dan Amerikanya di mana.
Ricky mengambil ponselnya dari dalam tas dan memperlihatkan gambar anak perempuannya dan cucunya.
3. Sabtu, 7 April 2018: Inilah pertemuan terakhir dengan Ricky Pontoh, dalam acara kumpul mantan petinju di Jalan Cikini, Jakarta Pusat, markas promotor Willem Lodjor menjalankan bisnis tinjunya.
Di setiap membawa acara pertemuan mantan petinju, saya selalu memperkenalkan tiga atau lima mantan petinju untuk bercerita tentang perjalanan hidupnya.
Salah satu yang akan saya perkenalkan adalah Ricky Pontoh. Saya tidak akan menyinggung karir tinju tetapi tentang perjuangan hidupnya yang luar biasa.
Ricky menolak, karena jantungnya tidak kuat. Ia memilih duduk.
Tak lama Ricky mengangkat tubuhnya lalu berjalan. Saya pikir Ricky mau bicara ternyata ia mengeluarkan uang sumbangan untuk kas Keluarga Besar Tinju Indonesia (KBTI).
Seorang perempuan yang melihat, berbisik kalau Ricky menyumbang lebih dari cukup.
Berdasarkan kesepakatan, setiap anggota KBTI wajib mengisi kas lima puluh ribu dan wajib menyumbang komsumsi yang disediakan tuan rumah lima puluh ribu.
Orang-orang yang datang terkagum-kagum dan saling menoleh. Seorang mantan petinju bicara begini: “Ricky aja yang sakit masih bisa datang ke pertemuan dan masih rela menyumbang dua ratus ribu. Bagaimana kita yang sehat ini, ayo semangat.” Ricky tersenyum dan tidak bicara apa-apa.
Ternyata itulah pertemuan terakhir. Selamat jalan, Bung Ricky Pontoh. Semoga mendapat tempat yang damai di rumah Bapa di surga.
Finon Manullang, menulis dari Desa Tridaya, Jawa Barat