Rondeaktual.com – Masa berganti. Persainganpun berubah di ring tinju amatir Asia. Perubahan sehubungan dengan bubarnya negara Uni Soviet.
Uni Soviet merupakan salah satu negara adikuasa pemenang Perang Dunia II. Setelah 69 tahun berdiri, akhirnya Uni Soviet runtuh pada 26 Desember 1991. Jatuhnya Uni Soviet berawal dari kemerosotan ekonomi yang terjadi pada sekitar tahun 1980.
Kembali ke tinju. Pada dekade 70-an, tinju amatir Asia masih memiliki kekuatan yang sama. Tidak ada negara yang dominan berprestasi. Kekuatan hampir merata antara negara Asia Timur, Korea Selatan, Jepang, dengan Asia Tenggara, Filipina, Indonesia dan Thailand, sangat disegani karena prestasinya yang mampu merebut medali emas.
Sementara, India dan Pakistan, masih tertinggal jauh prestasinya.
Jelang tahun 90-an, India dan Pakistan melejit kwalitasnya karena mendatangkan pelatih Kuba. Tinju amatir India menjadi sangat tangguh dan nyaris tak tergoyahkan oleh siapa saja.
Kekuatan tinju amatir dunia waktu itu dikuasai oleh Kuba, Amerika Serikat, Uni Soviet dan beberapa negara Eropa Timur.
Bubarnya negara Uni Soviet membuat persaingan tinju amatir Asia berubah total. Pecahan negara Uni Soviet, seperti Kazakhstan, Uzbekistan, Turkmenistan, masuk menjadi negara Asia. Beberapa negara bekas pecahan Uni Soviet, dulunya adalah tulang punggung Soviet di pertandingan tingkat dunia.
Tinju amatir Asia berubah kekuatannya dan banyak negara yang tidak bisa mengantisipasinya. Kecuali India dan Pakistan, memang beda.
Kehebatan kwalitas bertanding mereka terletak pada kecepatan dan ketepatan memukul. Benturan pukulan mereka seperti kekuatan batu membentur. Kecepatan pukulannya, sejengkal lebih cepat dari pukulan petinju kita atau petinju Asia lainnya. Sehingga dalam setiap persaingan di tinju amatir Asia, kita dan beberapa negara Asia lainnya tak dapat berbuat banyak. Tertinggal jauh.
Hingga kini, jika ada pertanyaan untuk pelatih tinju kita: “Bagaimana cara mempercepat lajunya pukulan hingga maksimal?”
Saya rasa masih jarang yang bisa menjawabnya.
Kecepatan pukulan yang belum maksimal, daya hindar yang minim. Membuat peluang kita menjadi juara Asia, menjadi langka.
Pada Kejuaraan Asia ke-31 di Hotel Le Meridien, Delhi-Dubai, Uni Emirat Arab, 24-31 Mei 2021, Indonesia mengirim dua petinju terbaiknya, yaitu Kornelis Kwangu Langu dan Huswatun Hasanah.
Kornelis yang sangat pengalaman bertanding di kelas 49 kilogram putra, gagal merebut medali setelah pada pertandingan pertamanya kalah. Padahal, sekali saja dia menang sudah dipastikan memperoleh medali perunggu. Dua kali menang medali perak. Tiga kali menang medali emas. Sayangnya tidak terwujud. Masih ada waktu pada kesempatan yang lain.
Huswatun Hasanah yang bertanding di kelas ringan putri, berhasil membawa pulang medali perak.
Itu sejarah. Huswatun menjadi petinju Indonesia pertama yang bisa merebut medali dari Kejuaraan Asia wanita.
Sampai sekarang Indonesia sudah merebut enam medali emas Asia putra melalui:
1. Wiem Gommies, medali emas kelas menengah Asia V/1971 Teheran.
2. Frans van Bronckhorst, medali emas kelas welter Asia VI/1973 Bangkok.
3. Syamsul Anwar Harahap, medali emas kelas welter ringan Asia VIII/1977 Jakarta.
4. Benny Maniani, medali emas kelas berat ringan Asia VIII/1977 Jakarta.
5. Ferry Moniaga, medali emas kelas bantam Asia IX/1980 Bombay.
6. Hendrik Simangunsong, medali emas kelas menengah ringan Asia XVI/1992 Bangkok.
Syamsul Anwar Harahap, juara Asia kelas welter ringan 1977, menulis dari Kota Medan, Provinsi Sumatera Utara.