Rondeaktual.com
Tidak terasa, sudah empat kali berturut-turut olimpiade berlangsung tanpa petinju Indonesia.
Sudah empat kali berganti Ketua Umum Persatuan Tinju Amatir Indonesia (Pertina), olimpiade berlangsung tanpa petinju Indonesia.
Tinju amatir Indonesia bukan tertinggal, tetapi tidak bisa berkembang.
Di pertandingan Kejurnas mungkin bagus. Muncul wajah baru semangat baru. Setelah itu berat. Apalagi, ketika masuk pemusatan latihan nasional (pelatnas), atlet tidak didampingi oleh pelatih asal.
Sejumlah petinju top Indonesia sulit memenangkan pertandingan. Kalah dan pelatih menganggapnya sebagai kekalahan jam terbang, bukan kalah teknik.
Petinju luar negeri memiliki buku rekor berlapis-lapis. Sementara. petinju Indonesia baru diisi sebaris. Hanya petinju yang sudah bertahun-tahun mewakili Indonesia bisa memiliki rekor tanding berlembar-lembar. Mereka bertanding di kejuaraan terbuka atau invitasi internasional. Tampil di SEA Games, Asian Games, Asia.
Petinju kita dianggap oleh pelatih kalah jam terbang bisa jadi begitu.
Lihat saja, pertandingan di dalam negeri sendiri bahkan yang sudah masuk kalender Pertina, tidak ada yang bisa menjamin dapat terlaksana dengan teratur. Kejurnas bisa diatur oleh kepala daerah setingkat bupati.
Sudah menjadi tradisi bahwa Kejurnas diselenggarakan setiap akhir Oktober, sekaligus menyambut HUT Pertina 31 Oktober.
Piala Presiden yang lahir pada 1976, adalah satu-satunya turnamen internasional di Indonesia. Belakangan diselenggarakan setiap empat, atau satu periode masa jabatan ketua umum.
Sarung Tinju Emas (STE) yang dulu sangat bergengsi dan sering melahirkan bintang tinju amatir, perlahan-lahan hilang.
STE pertama kali dipertandingkan di Kota Ambon, Provinsi Maluku, pada 1976, yang mengantar petinju kelas bantam 54 kilogram asal Bali, Soeryadi terpilih sebagai petinju terbaik.
STE terakhir dipertandingkan di Gedung Kesenian dan Olahraga, Jalan Teguh Beriman, Kecamatan Cibinong, Kabupaten Bogor pada 2017.
Sampai sekarang, STE sudah empat tahun tidak diselenggarakan.
Tidak setidik yang hilang. Piala Wakil Presiden yang dimulai di Cibubur, Jakarta, pada 2012, sudah enam tahun istirahat. Tidak dipertandingkan. Ganti pimpinan ganti jalan pikiran. Piala Kapolri yang dimulai dari Jambi pada 2017 berhenti di penyelenggaraan kedua di Manado 2018.
Semakin banyak pertandingan dihapus, semakin berat untuk melangkah menuju olimpiade. Tidak main-main. Apalagi, di sana ada Uzbekistan, Kazakhstan, dan negara bekas pecahan Uni Soviet.
Di olimpiade terakhir, Olimpiade Rio de Janeiro 2016, Uzbekistan tampil luar biasa merebut tempat paling terhormat dengan medali emas-perak-perunggu 3-2-2. Kuba yang dianggap paling tangguh, menempati posisi kedua dengan emas-perak-perunggu 3-0-3.
Terlalu jauh kalau melihat dominasi petinju Uzbekistan. Tetapi, seberat apa pun itu, tinju amatir menunggu generasi baru. Generasi Bonyx Saweho.
Sudah terlalu lama olimpiade berlangsung tanpa petinju Indonesia. Sudah empat olimpiade dan itu sudah 17 tahun lamanya, kalau dihitung sejak Olimpiade Athena 2004.
Bonyx Saweho adalah petinju Indonesia terakhir yang bertanding di olimpiade.
Boxyx, didampingi pelatih Wiem Gommies, bertanding di kelas terbang 51 kilogram dan langsung tersingkir di babak penyisihan.
Bonyx kandas di tangan petinju Polandia, Andrzej Rzany, yang berlangsung di Peristeri Olympic Boxing Hall, 17 Agustus 2004.
4 OLIMPIADE
Indonesia tidak berhasil mengirim petinjunya di empat olimpiade terakhir:
1. Olimpiade XXIX/2008 Beijing, Cina.
2. Olimpiade XXX/2012 London, Inggris.
3. Olimpiade XXXI/2016 Rio de Janeiro, Brasil.
4. Olimpiade XXXII/2020 Tokyo, Jepang.
Ketika tinju amatir membutuhkan generasi Bonyx Seweho, saatnya mendatangkan pelatih asing untuk memulai pelatnas jangan panjang.
Tetapi, persoalannya tidak semudah membalikkan telapak tangan. Butuh akal butuh uang. (finon / foto dok / ist)