Rondeaktual.com
Saya sudah sering meliput pertandingan tinju amatir dan profesional, yang berakhir gaduh akibat keputusan wasit/hakim berbau kontroversial.
Takut tentu. Tetapi kali ini rasa takut itu benar-benar sangat menakutkan.
Mungkin lantaran umur sudah pas-pasan. Tetapi, rasa takut malam tadi juga dialami okeh orang lain.
Berikut kronologi keributan pertandingan final kelas berat antara Willis Riripoy (Jawa Tengah) dengan Erico Amanupunjo (Papua), di GOR Cendrawasih (Gorcen), Kota Jayapura, Papua, Rabu, 13 Oktober 2021.
PUKUL 19.55 WIT
Willis Riripoy masuk dari sudut merah, disusul Erico Amanopunjo (Papua).
Willis didampingi pelatih Rivo Rengkung dan Husni Ray. Erico didampingi pelatih Ayub Epa, Apolos Kurni, dan Selsius Umbiri.
Suara gemuruh dan gendang bertalu-talu terdengar tak henti-hentinya. Sangat mengganggu telinga siapa saja yang ada di dalam Gorcen.
“Papua! Papua!! Papua!!!”
Suara itu tak pernah berhenti. Membakar semangat.
Ketika bel terdengar tanda dimulainya ronde, Erico Amanopunjo, southpaw yang selama bertahun-tahun membawa nama Sulawesi Selatan, melepaskan jab-straight kemudian membuang langkah ke samping atau lebih sering langsung merangkul lawan.
Setahu saya, itu adalah spesialisai Erico Amanopunjo, sejak ia memulai karir tinju amatir dari tingkat paling bawah; junior dan youth.
Belakangan ada aturan yang dipromosikan oleh personalia Pertina , jika petinju memukul lalu merangkul, tidak akan mendapat nilai.
Itu bagus. Tetapi, tidak semua atlet mengerti, mengingat implementasi sangat terbatas.
Dari sudut merah, veteran Willis Riripoy yang kalah tinggi dan kalah jangkauan, disiplin melindungi muka dan tubuhnya. Wilis yang bukan kidal (orthodox) menyerang dengan jab-straight dan hook atau upper-cut.
Tidak semua serangan Erico dan serangan Willis masuk atau mendapat poin. Pukulan kedua petunju banyak yang mengenai sarung tinju atau tangan lawan.
Tidak ada yang mendominasi ronde. Sangat berimbang.
Dalam kasat mata, Erico yang juga seorang veteran, bisa saja unggul perolehan angka. Sebaliknya, Willis bisa saja unggul perolehan angka.
Masalah mulai muncul ketika pada ronde ketiga, wasit Royke Wanay (Sulawesi Utara) menghentikan pertandingan. Wasit membawa Willis ke sudut netral dan memanggil dokter.
Dokter membalikkan jempol ke bawah sebagai tanda pertandingan tidak bisa diteruskan.
Erico langsung melampiaskan kegembiraan yang berspi-apu. Dia mengambil pigura yang sudah disiapkan di bawah ring. Erico mengangkat foto ke arah penonton.
Pigura itu berisi foto orangtua Erico, almarhum John Amanopunjo dan istri.
Sesuai dengan aturan tinju di seluruh dunia, pemenang harus diumumkan.
Pembawa acara (ring announcer) menyebut nama Willis Riripoy adalah pemenang.
Kaget. Semua tercengan. Willis Riripoy seolah tidak percaya kalau dirinya baru saja memenangkan partai terakhir, partai kelas berat, yang disaksikan sekitar 750 penonton. Willis segera setengah melompat dan mendorong tangan kanannya ke atas.
Erico yang mendengar putusan dirinya kalah, seperti orang bingung. Tidak menduga kakah. Dia sangat yakin menang RSC. Sudah selebrasi di atas ring.
Pendukung Erico terdiam. Sekitar satu menit isi Gorcen hening. Tidak menyangka Willis Riripoy memenangkan medali emas kelas berat PON XX/2021 Papua.
Tidak terima, Erico Amonapunjo dan tim pelatih PON Papua mendatangi meja ofisial ring. Ketua Pengprov Pertina Papua, Ricky Ham Pagawak, ada di sana. Memimpin dan mendukung tim PON Papua. Support habis-habisan.
Protes berlangsung. Suara marah dari penonton tribun memanaskan situasi. Semua berteriak menuntut keputusan harus dianulir. Menuntut pemenang adalah petinju tuan rumah Erico Amanopunjo, putra tokoh tinju Sulawesi Selatan John Amanopunjo.
Ketika protes berlangsung di bawah tekanan pendukung, tiba-tiba botol air mineral melayang dan jatuh di pinggir pagar pembatas. Tidak ada yang tahu tangan siapa yang melakukan pelemparan.
PUKUL 20.25 WIT
Rasa takut mulai menyerang kepala saya, meski tidak ada tindakan anarkis. Tidak ada yang mengamuk. Tidak ada petinju yang menendang-nendang pagar pembatas. Tidak ada yang kena tonjok. Tidak ada petinju yang mencari orang-orang di sekitar keributan, seperti kejadian lima hari sebelumnya, yang akhirnya menggemparkan dunia.
Di bawah tekanan rasa takut, saya mencoba melihat ketegangan di sekitar ring. Area steril.
Banyak orang-orang yang tidak berkompeten berkerumun di sana. Beberapa pria yang seolah-olah pemburu berita mengajukan pertanyaan, ketika situasi semakin meningkat. Sejumlah orang bicara keras. Sangat provokatif.
Saya memilih tetap berdiri di luar pagar pembatas area steril. Sebagian penonton berdiri dekat pagar. Orang-orang yang berkumpul di sekitar ring, dituding-tuding dari kejauhan. Menuntut kemenangan Erico Amanopunjo segera diumumkan.
PUKUL 20.30 WIT
Petugas keamanan yang terdiri dari Polri dan TNI, melakukan pengawal ketat dan mengantar wasit/hakim ke ruang istirahat, yang berjarak sekitar 15 meter dari ring tinju.
PUKUL 20.40 WIT
Saya mulai mencari tempat duduk untuk menulis.
Saya melihat tangga menuju tribun paling aman. Saya duduk.
Di sana ada polisi duduk di tanggal pertama, tangga kedua, dan tangga keempat. Tangga ketiga kosong. Saya duduk dan mulai menulis.
Saya merasa seoalah dalam pengawal khusus, karena di sekitar saya banyak polisi. Padahal bukan. Hanya kebetukan saja anak tangga ketiga kosong dan saya permisi untuk duduk.
Tidak ada yang melarang. Mungkin Pak Polisi mengira saya wasit/hakim, karena memakai baju putih celana hitam. Mirip wasit/hakim.
PUKUL 20.50
Saya menghabiskan waktu 15 menit untuk menulis.
PUKUL 21.10 WIT
Selesai menulis, saya tetap duduk di tangga. Tiba-tiba Relawan Cabor Tinju datang dan meletakkan plastik besar, yang berisi makanan dalam kotak.
Satu-satu mengambil satu kotak lalu meletakkannya di lantai dan mulai membuka kotak.
“Itu nasi siang,” kata saya, karena saya tahu bahwa nasi untuk makan malam belum dikirim.
Saya menunduk. Pura-pura tidak melihat tetapi bisa memastikan tidak ada yang makan nasi, karena sudah basi. Mereka hanya mengambil buah atau minuman yang tersedia di dalam kotak. Itu sepaket.
PUKUL 21.35 WIT
Dua meter dari posisi saya duduk di tangga, Ketua Umum PP Pertina, Mayjen TNI (Purn) Komaruddin Simanjuntak masuk ke ruang wasit/hakim, disusul tuan rumah Ketua Pengprov Pertina Papua, Ricky Ham Pagawak, dan disusul sejumlah orang-orang penting untuk membahas hasil petandingan Willis Ruripio versus Erico Amanopunjo.
PUKUL 21.45 WIT
Seorang petugas meminta saya untuk meninggalkan tangga.
“Mohon maaf, ini daerah steril.”
Ya sudah. Tidak apa-apa. Saya mengangkat pantat dan berdiri kemudian pergi.
PUKUL 21.50 WIT
Saya duduk di atas bangku milik kesehatan cabor tinju. Itu satu- satunya tempat, yang menurut saya, paling aman dari kemungkinan kena sasaran marah orang-orang yang masih bertahan di dalam Gorcen. Tidak ada yang mau meninggalkan Gorcen.
Ketika rasa takut semakin menyerang jiwa, tiba-tiba Percy Rumere (pelatih tim PON Papua) lewat dan berhenti di depan saya.
Coach Percy menawarkan diri untuk mengantar ke kuar. Keamanan saya dijamin.
Niat baik sang pelatih saya batalkan, setelah saya bertanya bagaimana situasi di luar Gorcen.
“Banyak orang. Tidak usah takut. Saya antar,” katanya.
PUKUL 21.55 WIT
Saya memilih tetap di dalam Gorcen untuk mendapat kepastian hasil pertandingan.
Saya juga ragu, apakah saya aman dengan baju putih dan celana hitam.
Tidak lama, Erico Amanopunjo keluar dari ruang wasit/hakim.
Saya pikir ini peluang terbaik untuk mendapatkan berita paling up date. Tidak ada wartawan lain.
Tetapi saya mengambil keputusan untuk membiarkan Erico Amanopunjo lewat, meski ia sudah melihat ke arah saya.
Dalam pikiran saya, bila Erico saya wawancarai, situasi yang sudah mulai dingin akan memanas.
Tiba-tiba, saya melihat seorang wartawan sudah berdiri satu meter di depan saya. Dia tidak tahu siapa saya, karena saya menutup hampir seluruh muka dengan topi dan masker ganda.
Karena sangat mengenalnya dan sebelum dia mulai bertanya, saya langsung bicara begini: “You ini dari mana saja. Mondar-mandir aku cari-cari you tidak kelihatan.”
Dia bilang dia ada di dalam Gorcen dan melihat bagaimana wasit Royke Wanay memimpin pertandingan Willis Riripoy versus Willis Riripoy.
Saya sengaja menekan aksentuasi agar dia tidak ke mana-mana. Sebagai wartawan yang sudah senior di Papua, saya membutuhkan perlindungan tanpa harus dia mengetahuinya.
Bebar kan. Beliau tidak ke mana-mana. Dia berdiri di depan saya. Dia berhasil membuang setengah rasa takut yang saya alami.
Kawan wartawan itu bicara tentang karir saya sebagai wartawa, sebagai orang satu-satunya yang menulis untuk tinju sepanjang 40 tahun. Tanpa putus.
Beliau mengaku masih menyimpan buku tinju yang saya berikan di Jakarta lengkap tanda tangan. Buku itu berjudul “Memoar Tinju Profesional”, edisi 1995.
Buku itu terbit ketika saya masih terikat kerja sebagai wartawan di harian nasional di Surabaya.
Apa-apa yang ditanyakannya (tentang karir jurnalistik dan tentang mendiang Valens Doy (guru untuk sejumlah wartawan di tahun 80-90 an termasuk guru saya), berhasil memulihkan rasa takut yang saya alami. Kata-katanya sakti.
PUKUL 22.30 WIT
Ketua Umum PP Pertina, Komaruddin Simanjuntak, keluar dari ruang istirahat wasit/hakim.
Sebelumnya Ricky Ham Pagawak sudah mengumumkan masih menunggu hasil pertandingan Willis-Erico. Ia meminta penonton pulang.
Komaruddin Simanjuntak segera meminta pihak keamanan melakukan pengawalan secara khusus. Menjamin keselamatan wasit/hakim. Meninta segera disiapkan mobil untuk membawa pulang seluruh wasit/hakim.
“Ayo, jalan-jalan,” ajak Komaruddin Simanjuntak. Beberapa wasit/hakim merasa takut. Seorang wanita harus memeluk setengah tubuh pria Papua, untuk mendapatkan rasa aman.
Di halaman Gorcen, Komaruddin Simanjuntak memimpin evakuasi. Hebat sekali.
Mobil jemputan datang dan langsung tancap gas, setelah diisi wasit/hakim.
Mobil kedua, saya segera masuk dan duduk di sebelah supir yang mengantar kami pulang ke Balatkop, Angkasapura.
Di dalam mobil semua diam. Orang yang membawa kami bertanya: “Ada apa ini. Kok tegang sekali. Apa yang terjadi?”
Semua diam. Kalimat serupa diucapkan lagi. “Ada apa? Mengapa banyak orang di luar.”
Seorang di antara kami menjawab: “Biasalah. Tidak puas, jadi ribut.”
Di tengah jalan, tiba-tida ada yang menelepon dan kami diperintahkan agar diamankan di Polda Papua.
Setelah dipastikan, ternyata bukan ke Polda. Kami diantar dan tiba selamat di Balatkop.
PUKUL 23.15 WIT
Saya memutuskan untuk tidak menulis apa-apa.
Padahal sejak tiba di Papua, Minggu, 26 September 2021, setiap malam sebelum tidur saya selalu menulis untuk tinju.
Saya ingin pikiran tenang. Saya ingin tidur enak. Tetapi, orang yang sekamar dengan saya, mencoba merusak pikiran saya. Mungkin dia bergurau tetapi orang itu bilang bakal ada serangan di tengah malam.
Saya tidak mau percaya. Saya pikir tidak sejauh itu. Apalagi, sejak kasus ribut petinju tendang-tendang pagar pembatas ring Gorcen dalam patai 8 besar antara Jill Mandangie (DKI Jakarta) melawan Lucky Hari (Nusa Tenggara Timur), pihak keamanan (enam anggota Polri) sudah bertugas menjaga keamanan tempat penampungan kami.
Setelah membersihkan muka dan kaki, saya mematikan AC dan
baringan. Di sini dingin, karena kamar saya tinggal menghadap laut.
PUKUL 23.45 WIT
Ketika mata mulai menangih istirahat, tiba-tiba terdengar suara gaduh.
Di luar kamar banyak orang-orang datang. Teman sekamar saya kekuar. Saya ikut.
Saya tidak bisa melihat siapa yang datang tetapi setidaknya ada tiga jenderal purnawirawan.
Mereka pergi, karena akasan sudah jauh malam. Sudah pukul 23.45.
Saya masuk dan mendapat sebungkus nasi kuning. Empuk dan berisi ikan. Enak sekali.
Saya bertanya, siapa yang membawakan nasi kuning?
Teman saya menyebut nama Ketua Umum PP Pertina Komaruddin Simanjuntak.
Saya bertanya lagi, apakah tadi Paketum ikut mengantar nasi kuning? Kawan saya, yang profesinya 100% pelatih tinju, menjawab iya.
Luar biasa perhatian jenderal pernawirawan itu, yang saya kenal ketika menjadi promotor untuk tinju di atas kapal tongkang yang sangat bersejarah di Siring Sungai Martapura, Banjarmasin, Kalimantan Selatan, 11 Oktober 2011.
Komaruddin Simanjuntak bukan saya bertanggung jawab sampai pertandingan tutup dan mengawal keselamatan wasit/hakim cabor tinju PON Papua 2021, tetapi masih sempat-sempatnya mengantar nasi kuning di ujung malam yang sepi.
Bagi saya, meski saya bukan bagian dari wasit/hakim, itu tak akan terlupakan.