Rondeaktual.com – Coretan Finon Manullang
Pria itu berkumis. Merokok tak pernah putus. Topi menutupi hampir separuh wajahnya, menjadi ciri khas yang kuat dalam hidup Little Holmes. Asli “Kera Ngalam”. Lahir di Malang, Jawa Timur, 7 Desember 1967.
Little Holmes, 54 tahun, sebenarnya bernama Misiyanto. Little Holmes hanya nama ring. Holmes diambil dari nama belakang juara dunia kelas berat yang hebat Larry Holmes, yang pernah memaksa Muhammad Ali menolak meneruskan ronde kesebelas.
Little Holmes menghabiskan seluruh hidupnya untuk tinju. Diawali sebagai petinju amatir Gajayana Malang kemudian masuk tinju pro dan juara Indonesia kelas bulu yunior.
Sasana Gajayana terletak di Jalan Mojopahit, di samping pasat kaget dekat kali besar yang airnya mengalir deras.
Little Holmes –salah satu petinju kesayangan promotor Tinton Soeprapto—sekarang 100% menjaga KPJ Bulungan Boxing Camp. Sasana itu menjadi satu-satunya yang tertua yang masih bertahan sampai sekarang. Sangat kesohor di seluruh Blok M dan sekitarnya.
KPJ Bulungan milik legenda pemusik jalanan H. Anto Baret. Sasana itu sepenuhnya diurus oleh Little Holmes, yang juga ikut menjaga warung istrinya di pinggir jalan, dekat pintu masuk sasana tinju.
Di sana, di KPJ Bulungan Boxing Camp, Little Holmes lebih terkenal sebagai Pak Hom. Ratusan orang-orang yang pernah belajar tinju termasuk legenda H. Anto Baret menyebut sang pelatih sebagai Pak Hom.
Saya, barang kali, satu-satunya yang tidak pernah memanggilnya sebagai Pak Hom. Saya juga tidak pernah memanggilnya Little Holmes, melainkan Misiyanto.
Mengapa Misiyanto?
Karena saya pertama mengenal beliau sebagai Misiyanto, ketika usai bertanding tinju amatir di Mojokerto, Jawa Timur.
Itu awal tahun 1984. Mendiang pelatih H. Abu Dhori mengenalkan saya dengan Misiyanto, bukan Little Holmes.
Beberapa bukan kemudian, Misiyanto terjun sebagai petinju pro, yang umurnya belum 17 tahun (melanggar PP Nomor 18). Holmes kecil bertanding di GOR Pulosari, Jalan Kawi, Malang. Sejak saat itu Misiyanto mulai dikenal sebagai Little Holmes. Sampai sekarang.
Bagi saya, dan mungkin juga bagi siapa saja, tidak sulit untuk menjumpai seorang Litlle Holmes, pelatih tinju paling dermawan. Siapa saja yang ingin latihan atau menggunakan perlengkapan tinju miliknya, tidak pernah hitung-hitungan harus bayar. Padahal, cek harga di toko, sarung tinju sudah Rp 1,5 juta.
“Saya di sini terus, dari pagi sampai malam. Saya tidak ke mana-mana,” kata Little Holmes, yang pernah mengalahkan Azaddin Anhar, mantan juara dunia Ju Do Chun, Robby Rahangmetan, Monod, Yani Hagler, Wongso Indrajit. Little Holmes pernah dua kali kalah dan sekali draw melawan Wongso Indrajit.
Selasa siang, 6 September 2022, saya janjian bertemu dengan mantan petinju Demianus Ahuluheluw dan Nita Regar, istrinya.
Belum banyak yang kami bicarakan, tiba-tiba datang Little Holmes dan Nik`ayah, istrinya, yang umurnya lebih muda 17 tahun dari Little Holmes 54 tahun.
Little Holmes dan Nik`ayah duduk sekitar satu meter dari duduk saya.
“Habis dari pasar,” kata Nik`ayah.
Saya langsung potong: “Siang begini, Ibu baru ke pasar?”
“Iya, Pak Finon, ada yang pesan makanan. Ada instansi yang mau ulang tahun,” balas Nik`ayah. Ramah.
Saya langsung teringat, bahwa istri Little Holmes memang hebat soal memasak. Nik`ayah bisa menghidangkan rawon dan nasi gultik yang sangat melegenda itu, menyamai masakan orang lain. Saya sampai ketagihan.
“Saya juga bisa masak (bebek) entok rica-rica,” tambah Nik`ayah, kelahiran Malang, 11 Mei 1980.
“Aku lahir dari keluarga yang sederhana,” Nik`ayah meneruskan kisahnya. Semangat sekali. “Mulai kecil, almarhumah ibu aku sudah ngajarin aku cara memasak dan kebetulan ibu aku pinter masak. Ilmu memasak dan cara hidup sederhana, aku peroleh dari kedua orangtuaku.” Hebat.
Ketika saya, Demianus Ahuluheluw, dan Nita Regar, sedang membicarakan masalah rekor donor darah, Little Holmes menawarkan kopi dan kue pancong.
Kopi bukan favorit bagi saya. Tetapi, menurut Little Holmes, kopi dan kue pancong sudah sepaket alias bagian yang tidak terpisahkan. Kopi saja, menurut Little Holmes, nikmatnya kurang lengkap. Kopi harus didampingi kue pancong, yang bisa membuat hidup menjadi lebih lengkap.
Akhirnya secangkir kopi dan kue pancong menemani kami, Selasa siang, di DPR alias di bawah pohon rindang.
Bagi saya, itu bukan servis pertama. Sebelumnya di meja DPR yang kami duduk, atau sekitar sepuluh meter dari ring tinju, saya sudah merasakan secangkir kopi dan kue pancong bersama Little Holmes.
Menurut Little Holmes, kue pancong yang ditawarinya beda dengan kue pancong di tempat lain.
“Ini bukan kue pancong biasa. Ini spesial. Rasakan dulu baru komentar.”
Kata-kata itu yang membuat saya tidak berani untuk menolak. Secangkir kopi (dalam porsi gelas kecil) dan kue pancong dalam piring kecil dihidangkan seorang penjaga warung. Jarak warung dengan meja DPR hanya sekitar sepuluh langkah orang dewasa.
Pertama kali melihatnya memang beda. Kopi mungkin boleh sama. Kue pancong yang ditawarkan Little Holmes selebar tangan orang dewasa dilengkapi cokelat dan keju. Bentuk dan rasanya mendekati pisang goreng di pinggir pantai.
Kue pancong sudah terkenal ke mana-mana.
Kue asli tradisional rasa tepung dan kelapa ditaburi sedikit gula pasir.
Itu kue pancong asli. Kue pancong bersama Little Holmes dilengkapi cokelat dan keju tanpa gula pasir, menjadi lebih lunak dikunyah. Sudah seperti bawang putih tunggal versi fermentasi, yang dikunyah menjadi lebih lembut.
Sudah lebih dari sekali menikmati secangkir kopi dan kue pancong bersama Little Holmes. Tetapi belum pernah bertanya; apakah kopi dan kue pancong itu datang dari warung milik Little Holmes atau bukan?
Suatu saat nanti, bila saya ke sana lagi, saya ingin bertanya tentang asal-usul kue pancong tadi.