Rondeaktual.com
Pekan lalu saya membuat janji untuk bertemu dengan Yon Moeis, sahabat lama. Selama bertahun-tahun, beliau menghabiskan waktunya sebagai wartawan olahraga. Sangat menyenangkan dan bangga.
Saya rencana naik kereta api turun di Kraji, tetapi dianjurkan agar turun di Klender Baru, Pondok Kopi, Jakarta Timur.
Akhirnya, Yon Moeis menjemput saya di depan Stasiun Kereta Api Klender Baru, tak jauh dari pangkalan ojek terkenal di sana, Minggu siang, 20 November 2022.
Dari sana, Kami sepakat untuk singgah di sebuah kafe sejuk di pinggir jalan, masih di Pondok Kopi. Saya order secangkir kopi capucino. Yon tetap setia dengan favorit lamanya, kopi hitam.
Yon Moeis adalah seorang wartawan sejati. Menulis tentang olahraga dan orang-orang terkenal di sepakbola Nasional. Kami sudah saling mengenal ketika Yani Hagler mempersiapkan diri untuk menghadapi juara dunia IBF light flyweight Dodi Penalosa (Filipina) di Istora Senayan, Jakarta, 12 Oktober 1985.
Yon meliput persiapan Yani Hagler, seorang petinju kidal buatan, ketika berlatih di rumah pengurus tokoh muda sepakbola Dimas Wahab, Jalan Bangka, Jakarta Selatan.
“Waktu itu ada Setijadi Laksono (pelatih sekaligus manajer Yani Hagler) dan promotor Boy Bolang. Banyak orang tinju hadir melihat persiapan Yani Hagler,” kenang Yon Moeis.
Hasil pertandingan sangat menyedihkan. Itu merupakan tragedi. Yani Hagler yang umurnya belum 18 tahun, jatuh-bangun dihantam tangan kidal Penalosa. Yani TKO pada ronde ketiga dari lima belas ronde yang direncanakan di Istora Senayan, Jakarta, Sabtu malam, 12 Oktober 1985.
Bagi saya, itu merupakan kenangan yang luar biasa meliput Yani Hagler bersama Yon Moeis.
Tidak itu saja. Yon bersama rekan wartawan Ibu Kota pernah meliput pertandingan tinju pro pertama di lapangan sepakbola di Serang, Jawa Barat, tahun 1985. Ketika itu Serang masih bagian dari Provinsi Jawa Barat. Provinsi Banten belum berdiri.
Yon Moeis teringat Herman Sarens Soediro, sebagai promotor. Yon juga menyebut Polly Pasireron, raja kelas menengah Indonesia, yang berhasil memukul KO penantangnya Albert Bapaimo.
Tidak hanya di lapangan, Yon Moeis terus berkarya di berbagai media cetak maupun online. Menerbitkan beberapa buku, termasuk Arifin Panigoro.
Kami pernah satu kantor di Fatmawati Mas, menangani harian pagi edisi warna. Saya di Desk Olahraga. Yon Moeis sebagai Redaktur Hiburan, yang banyak menangani artis-artis manja Ibu Kota.
Itu tahun 1998, atau beberapa bulan menjelang Pak Harto lengser.
Sejak tahun itu, atau sejak 1998, kami memilih jalan masing-masing. Saya bekerja sebagai wartawan untuk sebuah harian pagi, di mana saya secara spesifik menulis tentang wanita-wanita muda maupun ibu-ibu rumah tangga yang bertumbangan akibat narkoba. Banyak yang masuk penjara dan banyak yang bercerai. Narkoba memang mengerikan.
Sementara, Yon mulai bergeser menerbitkan media cetak. Menjadi Redpel untuk sebuah tabloid yang pernah memuat wawancara Hendropriyono. Yon juga terus bergerak untuk menjadi Pemred edisi sepakbola. Sempat beberapa tahun sebagai Redaktur Olahraga media besar di Ibu Kota. Yon menjadi orang pertama yang memberi tahu kepada saya bahwa Rahman Kilikili meninggal dunia dengan cara bunuh diri di Palembang.
Saya pikir, pengalaman panjang seorang Yon Moeis sangat penting ketika saya sekarang sedang menyusun buku yang sangat bersejarah bagi tinju pro Indonesia. Ini merupakan buku keempat dalam perjalanan tinju, yang saya mulai dari tahun 1981.
Seluruh isi buku sudah selesai. Sebagai sahabat, Yon Moeis menyarankan agar judul buku tidak lebih dari empat kata dan dua baris.
“Kapital semua. Judul besar di atas. Nama penulis letakin di bawah,” kata Yon Moeis, yang memulai karir wartawan dari Majalah Sportif, milik tokoh atletik Bob Hasan, pada tahun 1983.
Isi buku murni hasil liputan lapangan sepanjang hampir 42 tahun. Saya memulainya dari kejuaraan dunia WBC kelas welter yunior antara Saoul Mamby (Amerika Serikat) melawan Thomas Americo (Indonesia).
Thomas Americo kalah melalui majority decision lima belas ronde, yang terjadi di Istora Senayan, Jakarta, 29 Agustus 1981.
Itu merupakan satu-satunya kejuaraan dunia WBC yang pernah diselenggarakan di Indonesia. Sampai sekarang.