Rondeaktual.com
Matahari sudah menghilang dari langit. Jakarta hampir gelap ketika saya duduk di sebelah kanan meja resepsionis Komite Olimpiade Indonesia, Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta, empat hari yang lalu, atau Rabu, 25 Januari 2023.
Saya sedang hendak menjumpai seorang tokoh olahraga. Karena ditanya untuk keperluan apa, saya menjelaskan bahwa saya Finon Manullang untuk keperluan tinju. Itu saja.
Hanya beberapa menit kemudian, seorang pria, yang kemudian saya kenal sebagai Aris Dwi bicara begini: “Pak Hengky Silatang (Ketua Pengprov Pertina DKI Jakarta) sering ke sini. Pak Taufiq (Dahlan, staf secretariat PP Pertina) juga pernah ke sini. Pak Lado juga.”
Saya diam saja.
“Sekarang (tinju amatir) ada dua kejuaraan dunia,” kata Aris Dwi.
“Iya. Sebentar lagi ada seri tinju dunia amatir di Maroko.”
“Tinju kita sudah maju,” balas Aris Dwi. “Sudah mendunia. Kita sudah ada juara dunia. Sudah ada yang ikut pertandingan olimpiade. Dulu ada Francisco Lisboa, Alexander Wassa, dan Johni Asadoma.”
Apa-apa yang diucapkan Aris Dwi seolah memaksa saya untuk menanggapinya. Saya bicara begini: “Ada juga petinju amatir yang menjadi polisi dan sekarang sudah jenderal bintang dua.”
“Hebat. Beliau sudah menjadi Kapolda NTT,” sambung Aris Dwi.
Kapolda NTT yang dimaksud adalah Irjen Pol Johni Asadoma.
“Petinju kita hebat-hebat. Dulu ada Polly Pasireron.”
Disebut Polly Pasireron membuat saya harus menatap muka Aris Dwi. Saya bertanya: “Bapak petinju?”
“Bukan. Saya silat, tapi kelas regional.” Aris Dwi meneruskan tentang Rahman Kilikili, yang mengakhiri jalan hidupnya dengan cara tidak wajar. “Kasihan, Rahman meninggal eetelah menggantungkan diri di dapur dekat kamar mandi.”
Belum habis di situ. Aris Dwi menyebut Polly Pasireron sekarang hidup dengan tongkat, setelah menjalani amputasi. Kemudian, Aris Dwi menyebut Ellyas Pical. Ia banyak tahu tentang perjalanan karir Ellyas Pical, termasuk dua rahasia hidup Ellyas Pical, yang di dalam tulisan ini sengaja tidak saya sebut.
Aris Dwi menyebut pertarungan Ellyas Pical yang luar biasa ketika menghadapi petinju kidal asal Thailand, Khaosai Galaxy.
“Elly memulainya dari Ju Do Chun,” kata Aris Dwi. “Kemudian dipertahankan gelarnya melawan Wayne Mulholland dari Australia dan kalah melawan Cesar Polanco. Elly rebut lagi gelarnya dalam pertandingan ulang melawan Polanco. Tapi, yang paling menggemparkan melawan Galaxy. Sebelum itu, ada Jiro Watanabe.”
Ketika Aris Dwi menyebut Jiro Watanabe, saya benar-benar menjadi kagum. Ia bukan saja tahu banyak tentang Ellyas Pical, tetapi petinju lain.
Jiro Watanabe (Jepang) adalah juara dunia WBA kelas bantam yunior asal Jepang, yang berkuasa pada tahun 1981 hingga tahun 1984.
Pada tahun 1984, Watanabe keluar dari WBA dan mendapatkan sabuk juara dunia WBC kelas yang sama, mengalahkan petinju top Thailand, Payao Pooltarat. Era Watanabe akhirnya berhenti ketika petinju Meksiko, Gilberto Roman datang ke Osaka untuk melucuti gelar juara dunia Watanabe pada 30 Maret 1986.
Setelah menyebut tentang Ellyas Pical, Khaosai Galaxy, dan Jiro Watanabe, Aris Dwi bergeser ke Nico Thomas.
“Nico juara dunianya sebentar,” kata Aris Dwi. Ini membuat saya terkejut. Bisa-bisanya Aris Dwi tahu kalau Nico Thomas hanya tiga bulan menyandang gelar juara dunia IBF kelas terbang mini.
“Nico menjadi juara dunia dari siapa ya?” Saya pura-pura bingung, seolah tidak tahu. Saya ingin tahu sekuat apa ingatan Aris Dwi tentang tinju di masa lalu. “Nico ambil gelar dari Samuth…..” Saya sengaja berhenti di situ dan menunggu agar lawan bicara saya yang meneruskan.
Ternyata luar biasa. “Samuth Sithnaruepol,” katanya dengan pasti. “Nico mengalahkan dia (Sithnaruepol) dalam pertandingan ulang.”
Saya, untuk kesekian kalinya, benar-benar dibuat kagum atas pemahaman Aris Dwi tentang tinju.
Saya belum pernah bertemu dengan seseorang yang tahu banyak tentang tinju. Aris Dwi menjadi orang pertama, bagi saya. Biasanya, atau kebanyakan orang, hanya menyebut Ellyas Pical, sang legenda, atau mungkin nama Chris John, Daud Yordan, Muhamad Rachman.
Aris Dwi beda. Ia bukan seorang petinju, melainkan penggemar tinju yang luar biasa. Beliau juga tidak tahu kalau saya wartawan.
Setahu saya, Aris Dwi mengira saya pengurus tinju, karena ia menyamakan saya dengan Syaripudin Lado, Hengky Silatang, Taufiq Dahlan, yang memang murni pengurus tinju.
Karena keterbatasan waktu bercakap-cakap, saya tidak sempat bertanya, apakah ketika Ellyas Pical atau Nico Thomas bertanding dalam kejuaraan dunia, Aris Dwi datang ke arena pertandingan, atau hanya mendengar cerita orang lain. (Finon Manullang)