Rondeaktual.com
Hentah mengapa, penulis masih suka memakai masker. Sejak meninggalkan Desa Tridayasakti hingga tiba di Makassar, penulis hampir 100% bersama masker. Padahal, era masker telah berakhir.
Masker hitam membuat banyak para sahabat tinju, para legenda tinju, tidak mengenali penulis.
Sejak di Makassar empat hari yang lalu, penulis telah bertemu dengan sejumlah nama besar di ring tinju.
Dufry Marihor, pemegang medali emas kelas bantam SEA Games dan pelatih Pertina Sulawesi Selatan, adalah orang pertama yang penulis jumpai. Sangat spesial.
Itu terjadi di lantai dua sebuah hotel di pinggir laut, yang menjadi pusat Sekretariat Panitia Pra PON I Makassar. Sementara, seluruh wasit/hakim menginap di lantai tiga.
Penulis tidak bicara tentang tinju, tetapi tentang karir militer Dufry Masihor.
“Sudah pensiun (dengan pangkat Peltu). Terima kasih, saya dapat rumah,” katanya. “Sebelumnya, sudah dapat bantuan uang seratus juta dari Menteri Adhiaksa Daulth. Uang harus dibelikan rumah, kurangnya kita tambah sendiri. Tapi sekarang, sejak beliau tidak lagi menjabat Menpora, bantuan rumah dan bantuan uang bagi atlet berprestasi sudah dihapus.”
Dua hari kemudian, pas pembukaan Pra PON I Makassar, Sabtu, 22 Juli 2023, penulis bertemu dengan sejumlah legenda tinju. Hati ini senangnya bukan main.
Slamet Riyadi menjadi orang pertama yang penulis salami di arena tinju Pra PON I Makassar. Slamet merupakan pemegang medali emas kelas terbang ringan, 48 kilogram, PON XIII/1993 Jakarta. Di sebelah Slamet Riyadi, duduk pemegang medali emas PON Anthonius Johny. Keduanya sebagai pelatih senior untuk Pertina Kalimantan Selatan.
Sekarang, kata Anthonius, atlet Kalimantan Selatan jauh lebih sejahtera. Ada yang PNS dan Brimod. Mereka mendapat support besar dalam meneruskan karir olaharaga. Tidak hanya tinju, cabor lain juga mendapat hak yang rata.
Pantas saja, hampir setiap PON atlet tinju Kalimantan Selatan berhasil merebut setidaknya medali perunggu. Pada PON terakhir di Papua, Beatrix Sugoro membawa pulang medali emas kelas terbang.
Dari sana, penulis bergeser dua meter dan menyalami Herry Maitimu, legenda kelas terbang ringan (sering disebut kelas layang) asal Pertina Maluku, yang kemudian berkarya untuk Pertina Jambi.
Herry Maitimu sempat protes, mengapa penulis masih saja bersama masker. “Lepas saja,” ia menganjurkan.
Penulis menjelaskan, di usia pas-pasan seperti sekarang, memakai masker itu bagus. Herry Maitimu tertawa.
Herry Maitimu adalah seorang legenda kelas 48 kilogram yang tak terbantahkan. Beliau merupakan bintang tinju amatir yang tiada duanya.
Itu terjadi pada era Pertina masih dipimpin oleh mendiang Bapak Saleh Basarah. Karir Herry Maitimu memang luar biasa. Bayangkan, empat kali merebut medali emas PON. Semua petinju kelas 48 kilogram terbaik Tanah Air, patah di tangan Herry Maitimu. Hanya Atman Wiratman (Jawa Timur) satu-satunya yang pernah menghentikan langkah Herry Maitmu.
Prestasi Herry Maitimu hanya bisa disampai oleh legenda lainnya; Alberth Papilaya, yang juga mencatat rekor empat kali merebut medali emas PON.
Rekor empat kali memenangkan pertandingan final PON atas nama Herry Maitimu dan mendiang Alberth Papilaya tak akan tersamai. Rekor ini akan bertahan sampai beberapa dekade berikutnya.
Dari Herry Maitimu, penulis menjumpai Hermensen Ballo, legenda kelas terbang dari Nusa Tenggara Timur, yang berdiri bersama Elyzabeth Haning, Adrianus Manopo, dan petinju lain. Elyzabeth sempat kesal dan menunjuk ke dalam ring. “Lihat, itulah wasit yang mereka bilang terbaik.”
Hermensen Ballo adalah petinju terbesar bagi Nusa Tenggara Timur. Meski penulis hanya beberapa kali melihat pertandingannya, Ballo adalah pemegang rekor tiga kali merebut medali emas PON.
Di arena pertandingan Pra PON Sport Center “Gedung 100 Hari karya Reza Ali” di Pettarani, Makassar, penulis juga bertemua dengan salah satu legenda tinju Jawa Barat. Siapa lagi kalau bukan Dadan Amanda; tiga kali merebut medali emas PON.
Dadan datang ke Makassar untuk mendampingi atlet tinju Jawa Barat. Dia tidak sendiri, ada pelatih asal Korea dan pelatih Marthen Surati dari Kota Bekasi.
Sebelum magrib, penulis menjumpai legenda kelas berat Papua Barat; Lodewijk Akwan.
Di usia 74 tahun, Lodewijk yang bertubuh tinggi besar masih fit dan aktif mengurus tinju di daerahnya.
Lodewijk, yang berkali-kali mengisi kelas berat di pelatnas masa mudanya, mengakui bahwa era sekarang adalah era sulit uang. Banyak daearah harus menerapkan ilmu efesiensi. Mengurangi berbagai belanja. Mengurangi pengiriman atlet. Banyak daerah tidak mengirim petinjunya.
“Kebetulan ketua kami seorang pengusaha yang memiliki hati besar untuk tinju. Beliau mau mengeluarkan uangnya dulu, sehingga kami bisa datang ke Makassar.”
Di sekitar arena tinju Pra PON, penulis melihat legenda tinju Ayup Epa berdiri bersama tim Papua, termasuk wasit/hakim terbaik mereka; Alfred Kayoi. Foto bersama. Gembira sekali, meski hati Alfred Kayoi sedang marah besar terhadap seorang wasit/hakim yang sedang naik daun, yang dianggapnya sebagai “anak baru kemarin” berhati congkak.
Kemarin, penulis sengaja tidak menegur Ayup Epa.
Mantap…GoodJob