Rondeaktual.com, ditulis oleh Finon Manullang – Tinju pro dan tinju amatir kita sama-sama tidak menghasilkan prestasi besar. Tidak menggembirakan dan hampir di bawah standar. Tidak ada yang patut untuk didokumentasikan sebagai bagian dari perjalan tinju yang hebat. Ibarat air di sungai; kering kerontong.
Roda organisasi terus digoyang sampai ke ruang Mukernas. Rasa benci itu semakin kuat karena keberhasilan seorang wanita bertahan di posisi strategis. Mereka mendesak supaya digeser ke Bidang Luar Negeri.
Sementara, organisasi tinju pro yang jumlahnya sampai lima dianggap sengaja membiarkan sejumlah pelanggaran. Tidak ada kemauan untuk membenahinya. Masalah peringkat petinju menjadi salah satu paling buruk, yang entah mengapa terus-menerus dibiarkan.
Semua orang selalu berharap ada sesuatu yang membanggakan dari pertandingan tinju pro dan tinju amatir. Kenyataannya pahit. Pertandingan tinju pro dan amatir, di mana-mana, pintu bebas masuk alias gratis tetapi tidak ada penonton.
Tinju pro tidak buruk-buruk amat karena masih bisa merebut gelar Asia. Tinju amatir yang disebut-sebut menghabiskan uang pelatnas sampai miliaran, hanya merebut medali perunggu Asian Games melalui Sunan Amoragam (Maluku Utara) dan Huswanun Hasanah (Nusa Tenggara Barat).
Tinju Asian Games XVIII berlangsung di Jakarta International Expo, Kemayoran, Jakarta Pusat, 24 Agustus hingga 1 September 2018. Setiap hari disaksikan supporter yang dipimpin oleh seorang perwira menengah. Sengaja didatangkan ke arena pertandingan.
Itu bagus. Sebab Thailand, India, dan negara lain, juga membawa supporter. Ada yang membunyikan terompet, drum, gendang, dan tari tradisional.
Pertandingan tinju Asian Games XVIII menjadi tidak bagus karena penonton dari kalangan amatir tidak menonjol karena pengurus sudah tidak kompak. Penonton dari kalangan profesional malah lebih sering datang memberikan dukungan kepada setiap petinju Indonesia yang bertanding.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa persahabatan itu telah koyak. Sudah retak sejak awal terbentuknya kepengurusan 2016-2020.
Tinju pro beda lagi. Koyak mungkin, tetapi masing-masing organisasi saling berlomba untuk menghapus beberapa kutipan uang.
Contest fee, yang dalam aturan tinju pro adalah keharusan, sudah dihapus oleh satu atau dua badan tinju. Kutipan uang pintu dan keharusan membayar uang lisensi, sudah mulai dihapus oleh beberapa badan tinju. Jika ada yang maju sebagai promotor tidak perlu lagi takut dimintai uang untuk membayar lisensi.
Tinju pro telah membuat banyak pengampunan, meski tidak semua memberlakukannya. Sayangnya keringanan tersebut tidak diimbangi oleh capaian prestasi.
Tinju pro sulit merebut kemenangan besar, karena promotor sudah tidak berani menyelenggarakan pertandingan kelas dunia. Lebih memilih bertanding di luar negeri.
Hasilnya tidak bagus. Hampir setiap minggu para agen tinju mengirim petinju Indonesia bertanding di luar negeri dan kalah. Hanya ada satu atau dua petinju menang.
Datang untuk kalah, sebutan ini sudah mulai melekat kuat dalam bisnis tinju pro. Petinju asing yang datang ke Indonesia, bisa dipastikan 99% bakal kalah. Sebelum bertanding dan melalui penerjemah, petinju Thailand meminta supaya lepas dulu tiga atau empat ronde. Tetapi, belum setengah ronde sudah tumbang.
Tinju pro Tanah Air sempat berharap banyak kepada Daud Yordan. Sayang dia tidak bertanding di Indonesia. Terakhir Daud kalah angka dalam eliminator kelas ringan WBA melalui pertarungan 12 ronde melawan mantan juara dunia WBA kelas ringan Anthony Crolla (Inggris), yang berlangsung di Manchester, Inggris, 10 November 2018.
Sepanjang 12 ronde, Daud memberikan perlawanan besar. Seandainya berlangsung di Indonesia, bukan tidak mungkin pemenangnya adalah Daud Yordan, bukan Anthony Crolla.
Masalahnya tidak ada yang berani mendatangkan Crolla ke Indonesia. Itu saja.
Finon Manullang, menulis dari Desa Tridayasakti, Jawa Barat.