Rondeaktual.com
Terima kasih, ketika usia sudah pas-pasan seperti sekarang, ternyata masih semangat menjalankan liputan tinju dari kota ke kota. Tanpa putus.
Sabtu malam tiba di Pasarturi. Aku ingin melihat Surabaya. Meliput pertandingan tinju pro, yang ditangani promotor Yosua Taniasurya, di Jembatan Merah Plaza, Surabaya, Minggu, 1 Oktober 2023.
Panitia mengarahkan supaya check-in di kawasan bersejarah Jembatan Merah. Menurut mantan juara Indonesia kelas bantam Agus Ekajaya, diperlukan berjalan kaki hanya lima menit dari hotel menuju arena pertandingan.
Di ujung mata, terbayang rasa nostalgia yang begitu kental. Kebetulan, sudah lama tidak melihat Surabaya. Pada Februari 2001, pernah dua hari di Surabaya untuk memberikan penghormatan terakhir kepada pemegang medali emas kelas berat PON VII/1969 Surabaya, Setijadi Laksono.
Tidak terasa, itu sudah 22 tahun yang lampau. Sekarang ingin melihat kemajuan Surabaya yang luar biasa. Ingin pergi ke tempat-tempat yang bersejarah, termasuk Gang Dolly, yang sangat kesohor sebagai salah satu lokalisasi prostitusi terbesar Asia, yang akhirnya dipaksa ambruk. Tidak boleh lagi ada wanita penghibur di sana. Tutup 100%.
Benarkah Dolly sudah bersih? Aku ingin singgah melihat rumah-rumah yang sangat melegenda. Tempat itu telah menjadi salah satu destinasi paling favorit bagi banyak wartawan yang jago menulis feature. Dolly telah dikunjungi oleh sejumlah jurnalis dalam dan luar negeri. Ditulis dalam berbagai versi human interest.
Pada tahun 2001, di sela-sela memberikan penghormatan terakhir dan ketika masih terikat kerja wartawan di sebuah harian di Jakarta, aku menurunkan tulisan fecture bersambung hasil investigasi ke Gang Dolly.
Ketika menerobos dari kamar ke kamar, aku sengaja mendatangkan Tara Singh untuk mendampingi. Jaga-jaga, lantaran centeng di sana tidak suka ada wartawan datang untuk membuat tulisan. Tara Singh adalah mantan petinju pro yang menetap di Sepanjang. Beliau kawan yang baik.
Bagi aku, Surabaya yang disebut Kota Pahlawan, menyimpan seribu kenangan yang tak terlupakan.
Hampir seperempat hidup ini, aku peroleh dari Surabaya. Apa-apa yang aku percayai tentang tinju, aku peroleh dari Surabaya, bukan dari Jakarta.
Belajar tentang tinju yang universal, tidak aku peroleh dalam hitungan bulan, melainkan bertahun-tahun, yang akhirnya mengantar hidup ini setiap menulis untuk tinju.
Belajar di markas Sawunggaling Surabaya, sudah tentu bersama nama yang sangat melegenda; Setijadi Laksono.
Di sana, belajar bagaimana menjadi seorang wasit di atas ring harus segitiga. Bagaimana menjadi seorang manajer dan promotor. Bagaimana menjadi seorang pelatih, tidak pernah aku pelajari karena pelatih sebaiknya mantan petinju.
Pada awal 1984, aku mulai menangani Redaksional Majalah Tinju Indonesia. Setijadi Laksono harus menutup majalah karena sudah tidak sanggup lagi untuk bertahan. Terlalu banyak orang yang berbohong. Mau menerima majalah tetapi tidak mau bayar. Jahat sekali.
Di Surabaya, aku pernah terikat kerja wartawan Desk Olahraga selama lima tahun. Sempat melakukan perjalanan ke Singapura dan Thailand, melalui paspor cepat jadi.
Di Singapura, ada tempat favorit untuk berlayar satu-dua ronde dalam versi short time. Di Thailand apalagi, dunia prostitusinya jauh lebih gila. Mereka sengaja display tiga pilihan; usia 17, usia 20, dan usia 25. Di Dolly tidak berlaku batasan usia. Tinggal pilih tinggal tunjuk. Berlayar sampai kandas.
Di Surabaya, aku pernah mengikuti Penataran Wasit/hakim, dipimpin oleh Leon Johannes dari KTI Pusat. Pernah mengikuti Seminar IBF, dipimpin oleh Presiden IBF Robert Lee Sr. Harus bayar 100 Dollar AS.
Di Surabaya, aku menjadi satu-satunya yang meliput semua pertandingan Ellyas Pical. Tercatat tiga kali bertanding.
1. Tanggal 11 Desember 1983, Gedung Go Skate: Ellyas Pical menang unanimous decision dua belas ronde atas juara Indonesia kelas bantam yunior Wongso Indrajit dari Sawunggaling Malang. Promotor Handoyo Laksono. Malam itu, southpaw Ellyas Pical pertama kali menyandang gelar juara.
2. Tanggal 6 September 1987, Go Skate: Ellyas Pical menang KO ronde keempat atas Sukardi dari Satria Perkasa Surabaya. Pertandingan ditangani promotor Eddy Pirih, sebagai pemanasan sebelum Elly menuju kejuaraan dunia IBF melawan Tae-il Chang di Jakarta.
3. Tanggal 4 September 1988, Stadion 10 Nopember, Tambaksari: Ellyas Pical mempertahankan gelar juara dunia tinju versi IBF kelas bantam yunior, menang UD-12 atas Ki Chang Kim dari Korea Selatan. Ditangani promotor Anton Sihotang.
Ketika itu, IBF baru saja menurunkan durasi ronde dari 15 menjadi 12 untuk setiap kejuaraan. Perubahan ronde pertama kali diberlakukan WBC kemudian WBA dan IBF, sebagai keprihatinan yang tinggi atas meninggalnya petinju Korea Selatan, Duk-koo Kim.
Kim menderita KO pada ronde 14 yang menyisahkan 19 detik, setelah dipukul juara dunia WBA kelas ringan Ray Manchini di Caesars Palace, Nevada, 13 November 1982. Kim diangkut dari dalam ring dalam kondisi koma dan tidak pernah sadarkan diri sampai meninggal empat hari kemudian akibat luka yang dideritanya dalam pertarungan tersebut.
Di Surabaya, aku pernah maju sebagai promotor menggantikan FK. Sidabalok, yang sakit setelah pulang dari tugas militer. Pertandingan kejuaraan Indonesia kelas bantam antara Nurhuda (Javanoea Malang) melawan Edward Apay (Kawanoe Malang), berakhir draw 12 ronde di Gelora Pantjasila, Jalan Indragiri, 16 November 1986.
Bersama lima mantan petinju, aku pernah mengadakan acara Reuni Tinju Indonesia yang pertama di Hotel Grand Park, Jumat, 2 Desember 1989. Mengundang Ketua Umum KTI Pusat, Mayjen TNI Hendropriyono. Beliau tidak hadir karena masalah waktu.
Sejak Reuni Tinju Indonesia pertama di Surabaya, reuni tinju semakin sering diselenggarakan. Terakhir berlangsung pertemuan mantan petinju di Tanjung Priok, Jakarta Utara. Hadir antara lain Ippo Gala, petinju Indonesia satu-satunya yang pernah bertanding melawan Manny Pacquiao.
Surabaya tidak hanya membawa diri ini ke dunia tinju yang luar biasa, tetapi menemukan setidaknya dua makanan khas; rawon dan kupang.
Pertama bersama rawon di Jalan Kedungdoro. Makan di ujung malam bersama orang-orang hebat seperti; Ellyas Pical, Kairus Sahel, Simson Tambunan, Anton Sihotang, Sutan Rambing, Rocky Joe, Kid Francis.
Itu 12 Desember 1983. Awalnya kurang menantang. Setelah menikmatinya, barulah ketagihan order semangkuk rawon lengkap cambah dan telur asin sebelah serta kerupuk udang khas Sidoarjo. Itu sepaket.
Kupang beda lagi. Sejenis kerang kecil hitam, yang hidup di pinggir pantai bahkan di kali kotor berlumpur. Pertama merasakannya di Pantai Ria Kenjeran, Sukolilo, tahun 1984, ketika petinju kidal buatan Yani Hagler berlatih di pinggir laut.
Awalnya, melihat saja sudah hilang selera. Tetapi, setelah melewati tiga-lima sendok, kupang menjadi tidak terlupakan. Sampai sekarang.
Apakah kupang tidak berbahaya bagi kolesterol? Kudu hati-hati di usia pas-pasan seperti sekarang.
Di kepala ini, tidak hanya kupang dan rawon yang menjadi target. Aku ingin singgah sebentar ke Jalan Kedondong Kidul III Nomor 25. Pada 1994, di sana aku menyusun artikel tinju sampai terbit berjudul “Memoar Tinju Profesional”.
Pengantar buku ditulis oleh Valens Doy, wartawan yang seakan tiada duanya, yang menjadi guru bagi banyak wartawan muda di era itu, termasuk diri ini.