Rondeaktual.com
Ring tinju Indonesia di masa lalu, khususnya kelas terbang ringan atau sama dengan kelas terbang yunior 49 kilogram, pernah mencatat pertarungan balas dendam sampai lima kali. Terjadi kalah-menang antara Faisol Akbar (Lumajang, sekarang 53 tahun) dengan kidal Yani Malhendo (Surabaya, sekarang 55 tahun).
Dari lima pertemuan, tiga non gelar delapan ronde dan dua Kejuaraan Indonesia kelas terbang ringan yang ditutup dengan dua belas ronde.
“Mas Yani Malhendo lebih besar dari saya, dalam ukuran fisik,” kata Faisol Akbar di Lumajang, dihubungi Selasa, 21 November 2023. “Yani besar. Saya kecil. Tetapi harus diingat, kemenangan dalam tinju tidak ditentukan oleh besarnya badan dan kuatnya otot, melainkan strategi dan itu rahasia.”
“Saya tidak takut untuk menghadapi pertarungan balas dendam yang keenam melawan Yani Malhendo. Tetapi itu sudah tidak mungkin. Kami sudah sama tuanya. Saya hormat dan sudah membaca tulisan tentang Yani Malhendo yang berhasil mengantar putrinya sampai sarjana. Itu hebat. Saya bangga untuk Yani Malhendo.”
CATATAN PERTARUNGAN FAISOL AKBAR VERSUS YANI MALHENDO
1. OKTOBER 1990
Faisol Akbar (Akas Probolinggo) datang ke Surabaya dan kalah di tangan Yani Malhendo (Pirih Surabaya) dalam pertandingan non gelar kelas terbang ringan delapan ronde, yang terjadi di tengah jalan, di Jalan Raden Saleh, Surabaya.
Ring tinju di pasang di tengah jalan, menutup seluruh badan jalan sepanjang pertandingan. Penonton dibiarkan berdiri sampai ke pinggir ring.
Itu merupakan pertandingan tinju pro pertama yang diselenggarakan di tengah jalan. Terbuka dan gratis, yang dipromotori oleh A Seng.
2. FEBRURI 1991
Promotor Eddy Rumpoko mendatangkan Faisol Akbar dan Yani Malhendo untuk bertarung non gelar kelas terbang ringan delapan ronde, di Hotel Kartika Princes Malang. Faisol menang angka.
3. AGUSTUS 1991
Faisol Akbar datang ke Surabaya untuk memenuhi kontrak pertandingan kelas terbang ringan delapan ronde melawan Yani Malhendo. Faisol harus mengakui Yani pemenang.
4. JULI 1992
Di hadapan lebih 1.400 penggemar Kaliwates, Jember, Faisol Akbar menyerang sang juara Yani Malhendo sepanjang dua belas ronde untuk memenangkan pertandingan sekaligus menjadi juara Indonesia kelas terbang ringan.
Keputusan dianggap berbau kontroversial, mendorong kubu Yani Malhendo segera meninggalkan Jembar pulang menuju Surabaya, hanya beberapa menit setelah pertandingan selesai.
5. SEPTEMBER 1992
Tiga bulan kemudian, promotor A Seng membuka jalan rematch Kejuaraan Indonesia kelas terbang ringan antara juara Faisol Akbar melawan penantang Yani Malhendo, berlangsung dua belas ronde di Gedung Go Skate, Jalan Embong Malang, Surabaya.
Faisol berhasil mengalahkan Yani Malhendo sekaligus sukses pertama mempertahankan gelar juara.
Seingat Faisol, promotor A Seng membayarnya dengan cara mahal. “Saya menerima kontrak seharga tiga juga,” kata Faisol Akbar. “Padahal, pasaran seorang juara Indonesia, waktu itu, satu juta. Pak A Seng bayar saya semahal itu dan selalu saya ingat.”
Dalam pertarungan terakhir atau yang ke lima di Surabaya, Faisol mengaku sakit kena angin naik mobil perjalan Probolinggo ke Surabaya.
“Di koran, Yani bilang; Faisol, kalau kamu berani, kita main fight. Habis-habisan. Jangan lari-lari. Hadapi saya.”
“Dengar begitu, saya tersinggung. Saya kan masih muda waktu itu. Akhirnya saya terpancing. Saya coba turuti main fight. Buktinya saya fight pun, Yani tidak bisa menjatuhkan saya. Saya diputuskan menang. Tapi sekali lagi, saya sangat hormat. Yani seorang lawan yang hebat. Dalam tulisan di Rondeaktual.com, yang sudah saya baca, Yani mengakui bahwa 3-2 untuk saya. Terima kasih, Yani sportif.”
Sejak dibayar Rp 3 juta untuk pertai Kejuaraan Indonesia, Faisol Akbar menjadi juara termahal. “Bayaran saya menjadi selalu di atas dari rata-rata. Bukan sombong, saya menjadi salah satu juara Indonesia termahal.”
“Mengapa saya dibayar semahal itu? Karena hati Pak A Seng panas, setelah saya mengalahkan Yani di Jember. Katanya kontroversial, itu yang membuat Pak A Seng panas. Padahal bukan. Saya menang mutlak. Yani dua kali berdarah di bagian kepala. Saya terbuka di sini, luka Yani bukan lantaran pukulan melainkan kena sikut,” jelas Faisol Akbar, kelahiran Lumajang, 6 Agustus 1970.
“Kalau bukan Pak A Seng, saya tidak akan pernah menerima kontrak mahal sampai tiga juta,” tambah Faisol Akbar, yang menutup karir tinjunya dengan rekor menang-kalah-draw 58-8-2.
Harus diterima, mendiang A Seng memang seorang promotor bermurah hati, yang berani membayar mahal petinju Indonesia. (Finon Manullang, penulis buku “Perjalanan Tinju Indonesia” edisi 2023)