Rondeaktual.com
Pada masa lalu, Pertina pernah melarang lima petinju Nasional untuk mengikuti Kejuaraan Nasional atau sering disebut Kejurnas.
Kelima petinju Nasional tersebut dianggap betul-betul tangguh dan sulit untuk dikalahkan bahkan bisa merusak masa depan petinju. Atau tidak akan muncul bibit-bibit petinju buat masa depan karena layu sebelum berkembang dilibas oleh para senior.
Pertama, nama yang tidak boleh ikut Kejurnas adalah Ferry Moniaga. Itu sejak tahun 1976.
Ferry, petinju tipe boxer, memang amat sulit untuk dikalahkan. Untuk memukulnya saja susah, karena gerak kakinya amat lincah dan body-movingnya gesit menghindarkan serangan lawannya.
Bila lawan tak menyerangnya, Ferry pancing lawan agar menyerang. Lawan tak mau juga menyerang, ia memancingnya dengan jab kanan yang cepat. Lawan tidak menyerang, maka pukulan one-two dengan cepat menghajar kepala dan perut. Jab ke perut dan straight kiri ke kepala. Sulit menghindarkannya karena daya serangnya amat cepat.
Hingga kini belum ada yang sebanding dengan Ferry Moniaga di kelas bantam. He is the best, karena memang dia tiga kali menjadi petinju terbaik tingkat nasional.
Saya berkompetisi di kelas welter ringan. Banyak lawan-lawanku yang takut sebelum bertanding. Bahkan ada yang mau bertanding langsung menunduk dan pasang tameng double-cover.
Aku diberi gelar “Bulldozer” dan memang sulit menahanku. Untuk kebaikan dunia tinju amatir Indonesia, aku dilarang ikut Kejurnas sejak tahun 1976.
Frans VB, merajai kelas welter. Sulit baginya untuk menemui lawan yang sepadan ketika bertanding di tingkat nasional. Pukulan one-two nya amat cepat dan keras. Hanya Frans VB satu satunya petinju kita yang bisa memukul KO dengan serangan jab. Dia akan mengurung lawannya, mencoba membuyarkan konsentrasi gerakan badan ke kiri dan kanan seakan hendak menyerang. Lawannya bereaksi, dia pun bertindak dengan jitu melalui pukulan lurusnya. Boleh dikatakan belum ada petinju sebaik Frans VB hingga sekarang di kelas Welter. Pribadinya juga sangat bersahabat. Santun, tampan, dan selalu rendah hati.
Wiem Gommies termasuk yang dilarang oleh Pertina ikut Kejurnas sejak tahun 1976.
Petinju santun dan rendah hati ini, seperti seorang pendeta layaknya. Tak ada perbuatan negatip yang saya tahu pernah dilakukannya. Ibarat kelakuan seorang pendeta, itulah gambarannya.
Di tingkat nasional, sebelum bertanding lawan-lawannya sudah takut. Itulah sebabnya Wiem termasuk yang dilarang ikut Kejurnas sejak tahun 1976.
Wiem banyak mendapat Ilham dari dunia persilatan. Apabila mau jadi pendekar, maka harus naik gunung. Bertapa dan latihan, latihannya hingga dapat mendengar daun yang jatuh karena rontok. Kalau Wiem berlatih, konsentrasinya terpusat. Sulit untuk membandingkannya dengan siapa pun di kelasnya di Indonesia dan Asia. Dia meraih dua medali emas Asian Games, 1970 Bangkok dan 1978 Bangkok
The Smiling-boxer, petinju ini juga dilarang ikut Kejuaraan Tinju Nasional sejak tahun 1976. Benny Maniani, kelas berat ringan, sulit untuk mencari imbangnya di Indonesia. Terkadang, langsung menuju babak final. Memang petinju Indonesia tak banyak yang ikut kelas ini, karena berbadan besar. Kalaupun ada gerakannya lamban. Akan halnya Benny Maniani, gerakannya enteng dan pukulannya cepat. Terlihat seakan dirinya tidak memiliki berat 80 kg. Lincah dan cepat menata serangan, serta bertahan dengan baik. Benny sang spesial.
Walau tidak ikut Kejurnas, mereka kemudian menjadi juara tingkat Asia. Fran VB tahun 1973, Syamsul Anwar tahun 1977, Ferry Moniaga 1980, Benny Maniani 1977.
Mereka dilarang ikuti Kejurnas karena akan membahayakan atau menghambat karir petinju yang lebih muda dan berbakat.
Mereka tidak protes atau sakit hati, akan tetapi bangga karena demi kemajuan dunia tinju amatir Indonesia.