Rondeaktual.com
Kejuaraan Tinju Amatir Dunia tahun 1978 di Boegrad, adalah kejuaraan dunia yang pernah saya ikuti. Yogoslavia adalah nama negaranya waktu itu, telah pecah menjadi enam negara. Boegrad sekarang menjadi ibu kota Serbia.
Kejuaraan itu –1978 AIBA World Boxing Championships—berlangsung dari 6 hingga 20 Mei. Hanya ada dua orang Asia yang berhasil merebut medali perunggu; Ishi Koki (Jepang) di kelas terbang dan Chung Kim Chil (Korea) di kelas bantam.
Ketika pemeriksaan kesehatan, para dokter tidak yakin bahwa saya adalah petinju. Mereka tidak percaya, setelah melihat tangan kananku kecil dan lumpuh.
Akhirnya para dokter tinju itu mengadakan rapat dan bertanya beberapa hal kepadaku.
“Aku dari Indonesia,” itu jawabanku. “Aku juara Nasional dan juara Asia Tenggara beberapa kali. Aku pernah mengalahkan Thomas Hearn.”
Mereka terkejut, lalu menggeleng-gelengkan kepala.
Akhirnya dokter memutuskan untuk membuat sepotong busa 10 x 20 sentimeter, diberi tanda palang merah. Apabila saya tidak berdaya akibat serangan lawan, maka dokter akan melempar busa tersebut ke dalam ring, yang secara otomatis pertandingan dihentikan.
Pada Kejuaraan Dunia di Boegrad 1978, pertandingan pertamaku melawan petinju Aljazair, Adda Dhekkat.
Sebelum pertandingan, dokter telah memberikan arahan kepada wasit agar sigap dan hati-hati karena salah satu petinju yang akan bertanding tangannya nyaris lumpuh.
Ternyata, aku bisa tampil luar biasa, dengan stamina yang prima dan serangan yang cepat dan tajam. Aku berhasil mengalahkan Adda Dhekkat, dengan menang angka mutlak 5-0.
Para dokte tercengan, seperti tidak percaya apa yang telah terjadi. Tangannya lumpuh dan kecil sebelah kanan, mengapa bisa bertinju dan menang dalam pertandingan tingkat dunia? Begitu yang berkecamuk di dalam pikiran mereka.
Dokter-dokter itu mendatangiku. Mereka memegang tangan kananku yang jauh lebih kecil dari tangan kiriku. Mereka geleng kepala lalu menyalamiku. Rasanya senang sekali.
Istirahat sehari menjelang pertandingan kedua. Biasanya untuk menjadi juara dunia, bertanding sampai empat kali. Aku berlatih di sekitar hotel tempat tinggal kami.
Aku heran, mengapa ada orang yang memutar video ketika aku melawan petinju Aljazair. Mareka adalah tim tinju Kuba yang datang dengan segala persiapan. Mereka merekam semua calon lawan mereka. Mereka putar video berulang-ulang. Mereka lihat dan mereka diskusikan dengan bahasa mereka.
Aku baru tersadar, memang lawanku berikutnya adalah petinju Kuba, bernama Andres Aldama.
Pantas saja mereka diam-diam mempelajari permainan bertinjuku. Kelemahan dan kekuatanku telah mereka analisis secara detail. Sehingga mereka sudah menelanjangiku secara fisik dan teknis.
Tiba saatnya pertandingan. Tim dokter sudah tidak ragu lagi bahwa aku adalah betul-betul seorang petinju. Aku masuk ke dalam ring pertama, baru lawanku dari Kuba.
Wah, setiap gerakku sudah mereka pelajari. Semua kekuatanku telah mereka kunci. Tenaga Bulldozer-ku gontai, karena pukulanku sudah dibaca dan tidak kena. Sebaliknya, pukulan balasan yang aku terima cepat dan bertubi-rtubi. Banyak pukulan lawan yang aku terima. Selain cepat, jangkauan Kuba itu juga lebih panjang.
Telingaku pecah dan berdarah. Wasit memanggil dokter. Setelah diperiksa, dokter meminta kepada wasit agar pertandingan dihentikan. Aku dinyatakan RSC pada ronde pertama.
“Untung darah mengalir dari daun teliga, bukan dari rongga telinga,” kata dokter pertandingan.
Pada pertandingan berikutnya, quarterfinal, petinju Kuba yang mengalahkan aku, akhirnya kalah 2-3 melawan Valeriy Lvov dari Uni Soviet.
Pada akhir pertandingan, medali emas kelas welter ringan menjadi milik Valeriy Lvov (Uni Soviet), medali perak diraih Memet Bogujevci (Yugoslavia), medali perunggu Jean-Claude Ruiz (Prancis) dan Karl-Heins Kruger (Jerman Timur).
Sebetulnya, kualitas petinju Kuba dengan petinju kita tidak seberapa jauh. Tetapi, petinju Kuba bertanding setelah mengetahui kelemahan dan kekuatan lawannya, yang mereka pelajari jauh sebelum bertanding. Sehingga yang bertanding tidak hanya petinju, tetapi juga tim pelatihnya.
Kembali kepada diriku, aku melawan lawanku seorang diri. Tidak ada bantuan data dan arahan teknis. Pelatihku hanya berkata: “Baik baik ya.”
Jika dunia pertinjuan kita ingin maju, harus ada tim audio dan video serta tim analisis yang berkompeten. Kalau tidak ada, jangan harap bisa maju meski hanya selangkah saja.