Rondeaktual.com
Saroha Simorangkir adalah mantan petinju amatir kelas bantam Sumatera Utara dan mantan petinju pro kelas bulu. Berdasarkan pengakuannya sendiri, ia pernah mengalahkan nama terkenal seperti Joey de Ricardo, Rio Saragih, Untung Ortega, Guci Halim. Ia menggunakan tiga nama, mulai dari Boston, Memes Saputra, dan Saroha Simorangkir.
Saroha Simorangkir sekandung dengan Benget Simorangkir (petinju amatir Sumatera Utara yang pernah mengikuti Kejuaraan Dunia Elite Men`s kelas bulu di Bangkok, Thailand, 2003). Saroha Simorangkir pernah bercita-cita ingin seperti Mike Tyson, menjadi juara dunia yang hebat. Tetapi kemudian kandas sampai akhirnya putus dan berhenti sebagai petinju.
Saroha Simorangkir masuk tinju pro Rajawali Medan bersama pelatih Ucok Tanamal. Ia merantau ke Ibu Kota dan bergabung dengan Bawor Sihombing di Borsak Boxing Camp, Jalan Tawes, Rawamangun, Jakarta.
Setelah berhenti tinju, Saroha Simorangkir meninggalkan Kota Medan dan pergi ke Pulau Nias. Menjalani kehidupan baru dan tetap setia mendampingi istri berjualan. Sampai sekarang.
Berikut coretan kisah tentang perjalanan hidup Saroha Simorangkir, yang gagal mengikuti jejak Mike Tyson. Lelaki pengagum petinju legendaris Syamsul Anwar Harahap ini mengirim kisahnya untuk Rondeaktual.com, pas akhir pekan, Sabtu, 20 Januari 2024.
Inilah kisah coretan perjanan karirku di olahraga tinju.
Aku lahir di Rantau Prapat, Sumatera Utara, 13 Oktober 1971, sekampung dengan juara Asia Hendrik Simangunsong.
Menekuni olahraga tinju adalah keinginan sendiri. Menjadi juara dunia tinju adalah cita-cita hidupku. Waktu itu aku melihat di televisi Mike Tyson bertanding dalam siaran langsung.
Aku tertarik. Aku pikir, kalau sudah menjadi juara dunia, uangnya miliaran. Menjadi orang kaya dan terkenal.
Itu yang ada dalam pikiranku sekaligus mendorong untuk memulai latih tinju di sasana Masda Utama Medan, milik Pak Haji Husni Hasibuan, mantan manajer sepakbola Medan Jaya.
Penuh suka dan duka dengan tekad dan impian menjadi juara dunia. Itulah yang membuat aku berlatih penuh rintangan. Aku melewatinya dengan banyak kekurangan. Aku sadar akan hal itu dan harus sabar sambil terus berlatih.
Di amatir, aku pernah ditangani pelatih Iriadi Nasution, Asriel Gootje Lubis, Amir Siregar, Binsar Simamora, Rahman Boga. Di Riau bersama pelatih Darman Hutauruk, Joni Kasiran.
Di pro, aku pernah dilatih Ucok Tanamal di Medan, Lili Pado, Naswari dari Angkatan Darat, dan pelatih lainnya.
Aku diajari oleh orangtua dan mendapat nasehat yang selalu kutanam dalam hati, seperti:
1. Tidak ada rotan, akar pun jadi.
2. Rajin latihan dan jangan banyak mengeluh.
3. Anggaplah dirimu seperti pisau tumpul dan bila diasah setiap hari, lama-lama pisau tumpul tadi akan seperti pisau silet yang tajam.
4. Tiada yang mustahil di hadapan Tuhan.
5. Yakin apa yang kau kerjakan dan jangan takut gagal.
Dalam berjuang dan berlatih, harus pindah-pindah sasana dan harus ganti nama. Aku pernah naik ring bernama Boston, Memes Saputra, dan Saroha Simorangkir. Pernah mengalahkan nama besar seperti Joey de Ricardo di GTP Indosiar, Rio Saragih di GTP Indosiar, Guci Halim di Jakarta, Untung Ortega di Padang. Masih banyak petinju lainnya. Sudah lupa. Maklum lah, namanya juga petinju.
Mengapa harus ganti nama? Karena dulu aturan tinju sangat ketat. Kalau kita pindah sasana, harus dilengkapi surat. Tanpa surat pasti dicekal tidak boleh bertanding, makanya harus ganti nama.
Aku pernah di Aceh, di Jakarta, di Sumatera Barat, di Tanjung Pinang, Kepulauan Riau. Di sana sebagai pelatih.
Aku juara internasional, tiga negara, di Padang. Pernah ikut Kejuaraan OPBF (Asia dan Pasifik) di Jepang bertanding 12 ronde sebagai penantang dan kalah.
Pernah mengikuti penataran pelatih tingkat Nasional dan lulus. Pernah mengikuti penataran Wasit/hakim tingkat Nasional di Danau Toba, Sumatera Utara.
Pada tahun 1990, pernah sebagai sparring partner untuk juara dunia WBO kelas terbang yunior dari Puerto Rico, Jose de Jesus. Dia persiapan melawan penantang Abdi Pohan dari Malang, Jawa Timur. De Jesus menghabisi Abdi Pohan pada ronde ketujuh di GOR TD Pardede, Medan, 10 November 1990.
Setelah pensiun dari tinju, aku beralih profesi sebagai pelatih tinju amatir. Pernah terikat kontrak dengan Pertina Singkil, yang ketika itu Ketua Pertinanya adalah Kapolres setempat, AKBP Hutabarat.
Pernah menjadi asisten pelatih di Sasana HKMI Medan, yang diketuai oleh Pak Tengku Erry Nuradi, mantan Gubernur Sumatera Utara.
Cukup panjang perjalanan hidup ini. Meski gagal menjadi juara dunia seperti Mike Tyson, tetapi setidaknya telah menyimpan banyak pengalaman. Suka dan duka. Pahit dan manis. Tak akan terlupakan.
Dari perjalanan dan jam terbang tersebut, aku jadikan pengalaman yang sangat berharga dan cita-citaku yang belum terkabulkan.
Sekarang aku hidup di Pulau Nias, yang sehari-hari membantu istri berjualan. Aku ingin bangkit, setidaknya sebagai pelatih. Siapa tahu kelak bisa melahirkan atlet dengan prestasi tinggi.
Itulah kisahku dan salam olahraga, Saroha Simorangkir, dari Nias, Sumatera Utara. (Rondeaktual.com)