PERJALANAN TINJU INDONESIA – Tulisan ini berjudul asli Inilah Kejuaraan Dunia Pertama, dikutip dari buku Perjalanan Tinju Indonesia, buku tinju ketiga karya Finon Manullang. Tulisan berikut berjudul Kota Malang yang Tak Terlupakan. Selamat mengikuti.
Promotor: Herman Sarens Soediro.
Tempat: Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta.
Waktu: Sabtu, 29 Agustus 1981.
Juara: Saoul Mamby (Amerika Serikat), 34 tahun.
Penantang: Thomas Americo (Indonesia), 22 tahun.
Wasit Ken Morita (Jepang).
Hasil: Marcello Bertini (Italia) 147-139, Rudy Ortega (Amerika Serikat) 146-141, Takeo Ugo (Jepang) 146-146. Mamby menang mojority decision dan mempertahankan gelar WBC kelas welter yunior, 63.503 kilogram, untuk keempat kalinya.
Inilah Kejuaraan Dunia Pertama
Sejarah mencatat, Thomas Americo adalah petinju Indonesia pertama yang bertanding dalam partai kejuaraan dunia.
Sepanjang 15 ronde, Americo bertarung tidak duduk tidak minum dan kalah angka melalui majority decision atas juara dunia WBC kelas welter yunior asal Amerika Serikat, Saoul Mamby. Peristiwa yang sangat bersejarah itu terjadi di Istora Senayan, Jakarta, Sabtu malam, 29 Agustus 1981.
Itu merupakan kejuaraan dunia pertama dan satu-satunya gelar dunia WBC yang pernah diperebutkan di Indonesia. Sampai sekarang dan sudah hampir 43 tahun, belum ada kejuaraan dunia WBC yang kedua di Indonesia. Mamby-Americo satu-satunya.
Pertarungan Mamby-Americo ditangani oleh promotor Herman Sarens Soediro, bersama Satria Kinajungan Boxing Corporation. Preview pertandingan menjadi headline utama halaman olahraga di empat koran terbesar ketika itu; Pos Kota, Merdeka, Kompas, dan harian sore Sinar Harapan.
Pertandingan itu sangat bersejarah bagi olahraga Indonesia. Kejuaraan dunia tinju pertama. Bukan main.
Penulis ingin mendapatkan berita langsung dari arena pertandingan, tetapi gagal meliput Mamby-Americo, meski sejak sore sudah berada di sekitar pekarangan Istora Senayan.
Saya tidak memegang ID Card lantaran baru saja memulai karir wartawan. Ibarat petinju pemula, mohon maaf hanya boleh bertanding di level paling bawah alias partai empat rondean. Belum boleh masuk main event.
Namun, harus penulis akui bahwa semangat untuk menulis memang kuat, makanya berani ke sana, ke Senayan, dengan cara berjalan kaki dari halte depan pintu pagar besar Polda Metro Jaya.
Di Senayan, sejumlah calo menawarkan tiket dengan harga mahal. Seingat penulis, selembar tiket termurah ditawarkan Rp 7.500. Penulis sampai geleng-gelang kepala. Uang segitu sama dengan harga satu tulisan di majalah.
Menurut yang menjual, tiket termurah harus duduk paling ujung. Jauh dari ring. Penulis memutuskan tidak jadi melihat Thomas Americo.
Saya pulang. Saya tinggal dan menumpang kos di Jalan Baladewa, Gang Muhammad Ali, Tanah Tinggi, Jakarta Pusat, tidak jauh dari rumah tinggal artis top Adi Bing Slamet, putra mendiang seniman besar Bing Slamet.
Penulis menyaksikan pertandingan Mamby-Americo melalui siaran langsung TVRI bersama reporter olahraga favorit; Sambas dan Hazwar Hamid.
Penggemar olahraga yang umurnya sudah 60 tahun ke atas, pasti pernah mendengar suara kedua reporter tersebut. Melekat dan tersimpan kuat di hati. Keduanya merupakan reporter olahraga favorit.
Sejak pukul 21.45 WIB, penulis sudah di depan televisi. Kedua reporter TVRI saling bergantian memberikan laporan pandangan mata.
Pertandingan dipimpin wasit asal Jepang, Ken Morita. Penonton langsung bersorak memberikan dukungan: “Thomas…! Thomas…!! Thomas…!!!”
Saya diam saja. Lagipula seisi rumah yang saya tumpangi tidak ada yang suka tinju. Boro-boro suka tinju, kenalpun tidak. Orang-orang di sepanjang gang, hampir 100% menempatkan bulutangkis sebagai olahraga favorit. Di tahun itu, nama Iie Sumirat –legenda bulutangkis dari Bandung—sangat disukai. Sedikit-sedikit Iie Sumirat, sakit favoritnya.
Thomas Americo –lebih muda 12 tahun dari sang juara Saoul Mamby 34 tahun—mengandalkan jab-straight dan uppercut kanan. Americo dikenal dengan jab yang cepat dan panjang.
Mamby jelas kalah tinggi, tetapi cerdas dan tidak mau membuka jalan masuk bagi penantangnya. Setiap melepaskan pukulan, Mamby segera melangkah masuk dan bahkan dengan sengaja menempelkan tubuhnya sehingga menutup peluang Americo untuk melancarkan serangan balik. Itu murni perang strategi.
Juara dan penantang sama-sama suka menyerang, meski banyak luput. Terlalu emosional.
Sampai tiga ronde pertama, Americo unggul dengan strategi menyerang dan terus bergerak. Tidak mau diam, karena didukung foot work bagus.
Memasuki ronde keempat, situasi mulai berubah. Mamby sudah berhasil mengukur dan mengatur lawan. Pukulan beruntun mulai mengenai muka dan tubuh Americo. Mulai terasa, meski pukulan Mamby tidak mematikan.
Memasuki pertengahan atau pada ronde kedelapan, penonton mulai dag-dig-dug. Cemas melihat situasi. Americo berusaha mencegah langkah sang juara. Sebelum mundur untuk menghindari serbuan lawan, Americo masih sempat melapaskan jab-straight. Tetapi, harus diakui juga bahwa stamina Americo tidak sebagus Mamby.
Ronde 15, ronde terakhir, Mamby sudah di atas angin. Sudah tidak terkejar. Hanya dengan KO yang bisa mengantar Thomas Americo menjadi juara dunia dan itu tidak pernah terjadi. Mesti tidak memberikan gelar dunia tinju bagi Indonesia, tetapi ini menjadi peristiwa olahraga tinju paling besejarah.
Hakim Marcello Bertini (Italia) memberikan nilai 147-139. Rudy Ortega (Amerika Serikat) memberikan nilai 146-141. Takeo Ugo (Jepang) 146-146. Bila dua hakim menilai menang dan satu menilai imbang, maka disebut mojority decision. Pengamat menilai, Mamby seharusnya menang melalui unanimous decisioan, bukan majority decision.
Setelah pertandingan, sejumlah koran menulis pendapat Setijadi Laksono (pelatih Sawunggaling Boxing Camp Malang) dan Tjipto Moerti (pelatih Arema Boxing Camp Malang). Keduanya mengecam sikap Americo, yang tidak mau duduk dan tidak mau minum sepanjang 15 ronde. Belum ada petinju yang bisa melakukannya. Americo satu-satunya.
Americo dinilai terlalu banyak fighting. Terlalu sering merubah gaya dari kebiasaan menyerang dengan tangan kiri di depan, menjadi tangan kanan di depan atau menjadi kidal. Americo sering menempatkan kaki kanannya di depan. Padahal dia asli orthodox, bukan southpaw.
Selama interval ronde, pelatih Abu Dhori yang berada di dalam ring rajin mengolesi wajah petinjunya dengan vaselin. Dia mengerti kondisi petinjunya, yang ditanganinya setiap hari di sasana Gajayana, yang terletak di Jalan Mojopahit, Malang, tak jauh dari Pasar Senggol yang terkenal itu.
Abu Dhori tidak pernah menyuruh petinjunya duduk dan tidak pernah minum. Dibiarkan saja, yang akhirnya mengundang kritik. Sikap Americo dikecam secara habis-habisan. Bahkan, tidak sedikit yang berkomentar miring bahwa pemandangan seperti itu –tidak duduk tidak pula minum—adalah perintah dari Pak Dukun. Ada-ada saja mereka.
Tiga tahun kemudian –tepatnya hari Rabu, 10 Oktober 1984—penulis berada di rumah tinggal Thomas Americo, Jalan Manggar, Blimbing, Malang, Jawa Timur.
Lima hari sebelumnya di GOR Mojopanggung, Banyuwangi, Sabtu, 6 Oktober 1984, kami sudah bertemu. Di sana, Americo bertarung 12 ronde dan menang angka atas penantang Jimmy Sinantan. Menang, Americo mempertahankan gelar juara Indonesia kelas welter yunior.
Di rumah Jalan Manggar, di ruang tamu dan didampingi istrinya yang berasal dari kota apel Batu, Americo menjelaskan, memang sengaja tidak mau duduk dan tidak mau minum saat menghadapi Saoul Mamby di Jakarta. Ketika bertarung 12 ronde melawan Jimmy Sinantan di Banyuwangi, Americo juga melakukan hal yang sama; tidak duduk dan tidak minum.
Americo membantah dirinya membangkang. Kalau minum, katanya, tidak kuat menahan rasa mual. Mau muntah.
Selama lebih satu jam di Jalan Manggar, yang ditemani segelas teh manis, penulis hanya empat kali bertanya kepada Americo.
Pertama; tentang mengapa tidak duduk dan tidak minum. Saya sedikit takut karena Americo tersinggung dengan pertanyaan itu.
Pertanyaan kedua, ketiga, dan keempat, semua tentang tinju. Americo senang. Itu terlihat dari cara dia bicara. Berapi-api dan panjang seperti kereta api sambung menyambung tidak putus-putus.
Americo berasal dari Bobonaro, Timor Timur (sekarang negara Timor Leste), kelahiran 24 Desember 1958, bernama Jimmy Kelton, bukan Thomas Americo.
Di Kartu Keluarga, namanya tertulis sebagai Jimmy Kelton Sidabalok. Sidabalok diambil dari nama Felix Kilim Sidabalok, yang dihormatinya sebagai ayah angkat. Sidabalok pensiun dengan pangkat Kolonel CHB.
Thomas Americo datang ke Malang atas usaha FK Sidabalok, yang ketika itu sedang menjalankan tugas militer di Timor Timur. Thomas adalah nama pangilannya.
Sebelum masuk Gajayana Malang, Thomas Americo berlatih di Arema Malang bersama pelatih Tjipto Moerti, yang juga pelatih pertama bagi legenda tinju Malang, Monod dan Little Pono.
Supaya lebih komersial, Tjipto Moerti memberikan nama tambahan Americo, maka jadilah Thomas Americo.
Sampai kematiannya yang sangat menyedihkan dalam perang saudara, orang tetap mengenangnya sebagai Thomas Americo. Sampai sekarang.
Ikuti terus tulisan berikut, jangan pernah putus. “Kota Malang yang Tak Terlupakan”