BUKU PERJALANAN TINJU INDONESIA – Seperti tulisan pertama “Saoul Mamby versus Thomas Americo”, tulisan kedua ini juga merupakan bagian dari isi buku “Perjalanan Tinju Indonesia”. Tulisan berikutnya “Melihat Kemenangan Ellyas Pical di Surabaya”. Selamat mengikuti.
Ini adalah perjalanan jurnalistik pertama ke Jawa Timur. Meliput pertandingan tinju untuk Majalah Selecta Sport, yang berkantor di Jalan Kebon Kacang XXIX/4, Jakarta Pusat.
Itu Desember 1982. Berangkat dengan bus malam dari Jakarta menuju Surabaya. Murni perjalanan pertama.
Seorang calo mengajari penulis supaya hemat beli tiket di atas (di dalam bus). Bayar Rp 12.500 dan sah. Kalau beli di loket, kata pria baik hati asal Pangururan Samosir itu, bisa dipatok Rp 17.500. Hemat lima ribu. Uang segitu, di era itu, sangat terasa.
Penulis sengaja memilih duduk di sebelah kiri menempel ke kaca. Maksudnya, supaya lebih puas melihat pemandangan sepanjang perjalanan. Waktu itu, aku berumur 24. Masih gagah dan semangat. Sekarang tentu gagah dan kuatnya sudah jauh berkurang. Tetapi, terima kasih masih menyisahkan semangat yang luar biasa menulis untuk tinju.
Bus meninggalkan Pulogadung –terminal bus terbesar Asia di era itu—pukul 15.45 dan tiba pukul 07.00. Kemudian estafet ke Malang.
Itu pengalaman pertama. Bukan saja buta tentang Jawa Timur, tetapi nol besar dalam berbahasa Jawa. Tetapi kemudian, bukan saja menyukai cara berbicara Arek-arek Jawa Timur, lebih dari itu sangat menyukai kupang dan rawan. Makanan khas yang hanya da di Jawa Timur.
Di sana, di Jalan Kawi, Malang, ada GOR yang sangat legendaris bernama Pulosari. Anda seorang petinju era tahun 80-an pasti mengenal GOR Pulosari. Paling angker, karena sering menghasilkan keputusan kontroversial. Kalah dalam kasat mata, bisa diumumkan menang split dan itu dibiarkan berlangsung selama bertahun-tahun. Komisi tinju seolah tidak melihat. Malas melakukan perubahan.
Teror penonton GOR Pulosari Malang sangat terkenal karena terbukti mampu menjatuhkan mental petinju tamu. Tidak sedikit kalah sebelum bertanding.
Sudah lebih 41 tahun, liputan tinju ke Kota Malang masih kuat dalam ingatan. Seperti baru saja terjadi.
Malam itu, Minggu, 19 Desember 1982, merupakan liputan yang tidak terlupakan sepanjang hidup. Sampai sekarang.
Promotor Arief Zakky dari Dinoyo, Malang, mencoba menjual popularitas Ellyas Pical, yang sudah dikenal sebagai bintang tinju amatir dua kali medali emas Piala Presiden RI dan sekali best boxer. Elly menghadapi Benny (Alamanda Malang), kelas bantam yunior empat ronde. Partai pemula.
Elly ditargetkan menang KO tak lebih dari dua ronde, ternyata harus bermain habis ronde. Elly menang angka mutlak, menyenangkan hati pelatih Pontas Simanjuntak dan Simson Tambunan. Simson dikenal ahli strategi bertanding.
Banyak yang tidak tahu tentang perjalanan awal karir tinju pro Ellyas Pical. Kebanyakan orang mulai berapi-api menulis tentang Ellyas Pical setelah menjadi juara dunia. Mereka tidak pernah melihat bagaimana Ellyas Pical bertanding di awal karir pronya, yang merangkak dari bawah, dari pertandingan non peringkat sampai perebutan peringkat Indonesia.
Itu bukan perjalanan yang gampang. Butuh kesabaran juga strategi dalam menyusun langkah berikutnya. Bukan seperti sekarang, era badan tinju berlapis-lapis. Belum pernah merebut peringkat, tahu-tahu sudah juara Indonesia. Enak sekali.
Tinju pro GOR Pulosari Malang menampilkan partai kelas bulu yunior 10 ronde. Monod (Arema Malang) dan salah satu paling favorit GOR Pulosari Malang, mencetak rekor KO tercepat. Hanya dalam 23 detik dan hanya melepaskan tiga pukulan tanpa balas, Monod menghabisi perlawanan mantan petinju top amatir Eddy Gommies (Garuda Jaya Jakarta). Monod bersorak disambut pelatih Tan Hwa Swui di sudut merah.
Setelah duduk di sudutnya, sudut biru, pelatih Pontas Simanjuntak melepas sarung tinju yang dipakai Eddy Gommies. Di situlah Eddy Gommies sadar kemudian bertanya apa gerangan yang terjadi.
Pontas menjelaskan: “You KO. Sudah selesai. Buka, buka, buka.” Pontas melepas sarung tinju Eddy Gommies.
Kelas bantam 8 ronde, bintang baru tuan rumah asal Merauke, Edward Apay (Bhirawa Boxing Camp Malang, yang terletak di belakang pekarangan Hotel Merdeka) mengobrak-abrik pertahanan Yan Ucok Nainggolan (PP Jakarta, tetapi berlatih di Garuda Jaya).
Yan Nainggolan, mantan petinju amatir cukup matang dan pernah merebut medali perunggu Piala Presiden RI di Jakarta, menderita KO pada ronde kedua. Tangan Edward Apay memang luar biasa. Lelaki asal Merauke itu terlalu kuat.
Menderita KO, petugas kesehatan segera mendorong tandu ke dalam ring. Yan dilarikan ke RSUD Syaiful Anwar. Rahangnya bergeser. Tengah malam ia kembali ke Hotel Merdeka. Wajahnya digulungi beberapa lembar perban putih.
Partai kejuaraan Indonesia kelas welter 12 ronde, Piet Gommies (Garuda Jaya Jakarta) mengalahkan favorit tuan rumah M Solikin (Gajayana Malang).
Pada dua ronde terakhir, Piet rajin melepaskan jab-straight, sebagai bukti betapa pentingnya jab-straight. Serangan one-two itulah yang memenangkan Piet Gomies, sekaligus menebus kekalahan sebelumnya di tempat yang sama.
Ketua Umum KTI Pusat, Mayjen Pol (Purn) Drs Legowo menyematkan sabuk juara ke pinggang Piet Gommies, didampingi pelatih Pontas Simanjuntak dan wasit Soejadi dari Semarang.
Kejuaraan Indonesia kelas ringan 12 ronde, Juhari (Gajayana Malang) menyerang dengan hook kanan menukik jauh ke depan menembus pertahanan sang juara, Kai Siong murid Setijadi Laksono dari Sawunggaling Surabaya.
Juhari, asuhan pelatih Abu Dhori, terkenal dengan straight maupun long hook kanan. Banyak petinju yang tiba-tiba saja terjatuh mencium kanvas ring akibat sentakan tangan kanannya.
Sementara, Kai Siong, sang juara yang hebat, tampil lebih moderen terbuka dan berani membiarkan lawan masuk. Kai Siong terkenal dengan jab-straight cepat dan sering mendarat telak. Namun, sang juara kedodoran di ronde-ronde terakhir.
Kai Siong, penggemar tato, datang ke Malang tidak dalam stamina 100% dan harus berjuang melawan berat badan agar bisa in 61 kilogram.
Pada akhirnya, Kai Sing kecewa karena kehilangan gelar juara Indonesia kelas ringan melalui pengumpulan angka yang ketat.
Wasit Jafar (Jakarta) merangkap Hakim A, 116-115. Hakim B, Eddy Poernomo (Malang) 115-114. Hakim C, Jopie Limahelu (Surabaya) 117-116. Semua untuk Juhari.
Pada era itu, seorang wasit boleh merangkap hakim. Sekarang, di setiap pertandingan dan di seluruh dunia, wasit tidak ikut memberikan nilai dan hanya konsentrasi untuk memimpin pertandingan. Berlaku sama di seluruh dunia.
Setelah diumumkan menang angka, Juhari menerima sabuk juara kelas ringan, yang diserahkan oleh Walikota Malang, Kolonel TNI Sugiyono, didampingi Inspektur Pertandingan MDG Leuwol (Sekretaris KTI Malang), pelatih Abu Dhori dan asistennya Kid Hasan. Beberapa petinju Gajayana Malang ikut masuk ke dalam ring.
Seluruh pertandingan berakhir pukul 23.15. Penonton harus sabar agar bisa melewati pintu sempit. Itu merupakan akses satu-satunya GOR Pulosari Malang.
Tidak ada jumlah pasti tentang kehadiran penonton. Tetapi, seluruh tempat duduk terisi. Sedikitnya 2.500 penonton dan itu sudah menguntungkan promotor.
Semua orang datang dengan cara membeli tiket. Ada budaya malu jika sampai memegang tiket gratis. Termurah Rp 5.000 dan termahal atau ring side (duduk dekat ring) Rp 25.000. Tidak sedikit penonton harus membeli tiket hampir dua kali lipat dari tangan calo. Era itu memang era calon. Panen besar mengeruk untung berlipat-lipat.
Salah satu yang tak terlupakan tentang GOR Pulosari Malang adalah semangat penonton yang luar biasa dalam memberikan support kepada petinju tuan rumah.
Solikin (Gajayana Malang) sang favorit mendapat dukungan hebat dari semua sudut. “Solikin…, Solikin…, Solikin…!”
Itu merupakan upaya terakhir dan jalan satu-satunya untuk mengangkat fighting spirit Solikin.
Namun, mental bertanding Piet Gommies memang luar biasa karena sudah teruji ketika bertahun-tahun sebagai petinju amatir. Piet, adik kandung legenda tinju Maluku Wiem Gommies, tak pernah goyah dan terus melepaskan jab-straight sampai lonceng panjang terdengar sebagai tanpa berakhirnya pertandingan.
Malam itu, banyak orang kalah taruhan. Mereka menjagokan Solikin secara total. Piet Gommies di bawah. Underdog besar. Meski kalah taruhan, penonton sangat sportif. Tidak ada yang menolak kemenangan Piet Gommies. Applause panjang terdengar ketika Piet Gommies menerima sabuk juaranya. Terhormat melihatnya.
Ikuti terus tulisan seri ketiga; Melihat Kemenangan Ellyas Pical di Surabaya.