Rondeaktual.com
Ini adalah foto para legenda tinju Pirih Boxing Camp Surabaya. Terdiri dari:
1. Hasanuddin Hasibe, kidal kelas bantam.
2. Dominggus Siwalette, kelas terbang mini.
3. Mudafar Dano, kelas ringan.
4. Andrian Kaspari, kelas bantam.
5. Yani Malhendo, kelas terbang ringan.
1. HASANUDDIN HASIBE
Penulis sudah lama ingin tahu di mana keberadaan southpaw Hasanuddin Hasibe. Pada awal karirnya di tahun 90-an di Surabaya, namanya hanya disebut Hasan.
Biar lengkap, penulis bertanya kepada Hasan, ketika melakukan liputan ke sasana Pirih, Jalan Nginden Kota II Nomor 100, Surabaya.
“Nama lengkap saya Hasanuddin Hasibe. Pakai dua “d”, asal Baubau,” katanya.
Sejak saat itu, penulis menulis namanya di koran tempat penulis berkarya di Surabaya sebagai Hasanuddin Hasibe.
Penulis sudah lama mencari keberadaan Hasanuddin Hasibe. Aku mencarinya, selama beberapa tahun terakhirnya. Sempat terjadi komunikasi dan menyebut posisinya masih di Sidoarjo, Jawa Timur, menangani petinju amatir.
Sejak itu, komunikasi putus. Ketika aku pergi ke Malang di bulan November tahun lalu, mendapat kepastian tentang di mana sekarang southpaw Hasanuddin Hasibe, mantan juara Indonesia kelas bantam, yang pernah mengalahkan Agus Ekajaya di Stadion Municipal, Dili, Timor Timur, dalam partai Kejuaraan Indonesia bersama promotor A Seng, tahun 1993.
Di Malang dan sambil menunggu pertandingan dimulai, aku bertanya kepada Yani Malhendo. “Di mana sekarang Hasanuddin Hasibe?”
“Dengar kabar katanya sudah pulang kampung ke Baubau,” kata Yani Malhendo, teman satu sasana dengan Hasanuddin Hasibe di Pirih Boxing Camp Surabaya.
“Jangan-jangan kawin lagi,” aku menduga-duga saja. Sebab jika seseorang yang dengan sengaja menghindar, biasanya sedang menikmati hidup bersama selingkuhannya.
Yani diam dan menunduk. Ia mengangkat bahunya lalu membentangkan kedua tangannya. Yani seolah ingin mengatakan: “Maybe. I don’t know.”
Hasibe tiga kali bertanding Kejuaraan Indonesia kelas bantam melawan mendiang Steven Togelang.
Pertama di Bekasi, Hasibe kalah split 12 ronde. Malam itu hampir diwarnai pertarungan tangan kosong antara Novi Lolowang (pendukung Togelang) versus Butje Kojongian (asisten manajer Hasibe).
Tanding ulang di Surabaya, Hasibe menang TKO pada ronde ketujuh. Togelang muntah nasi akibat terlalu kenyang order soto ayam Ambengan. Togelang harus dilarikan ke RSUD Karangmenjangan, rumah sakit rujukan.
Ketiga, Hasibe memukul KO Togelang pada ronde kelima di Indramayu. Robby Rahangmetan segera mendorong tandu ke dalam ring tetapi Togelang dapat berdiri dan kembali ke sudutnya.
2. DOMINGGUS SIWALETTE
Setelah pensiun dari tinju, penulis dua kali jumpa Dominggus Siawalette, mantan raja kelas terbang mini Indonesia dan mantan juara IBF Intercontinental. Siwalette merebut gelarnya di Bangkok, didampingi Tourino Tidar dari TT Promotion Jakarta.
Siwalette seorang fighter sejati, yang dilatih oleh ayahnya sendiri di Jakarta. Ia datang ke Surabaya atas permintaan promotor A Seng, yang ketika itu sedang naik daun. Siwalette yang lahir di Ambon, Maluku, 9 Desember 1969, memiliki penggemar besar. Mereka suka dengan gaya menyerang Siwalette.
Ketika final tinju PON XIX GOR Pelabuhan Ratu, September 2016, aku jumpat Siwalette di bangku tribun. Konon, menangani tinju amatir. Bisa jadi, sebab Sukabumi terkenal dengan tinju amatir.
Tujuh tahun kemudian, aku bertemu Dominggus Suwalette di Surabaya. Langkahnya gagah. Wajahnya terlihat santai. Senyumnya manis.
“Setelah tinju, saya sempat di Sukabumi. Sekarang sudah di Surabaya lagi. Istri tinggal di sini,” Dominggus Siwalette menjelaskan. Hidupnya terbilang sukses, tetapi mengaku tidak memiliki pekerjaan tetap. “Cuma nagih aja, itupun kalau ada yang ditagih,” Siwalette tertawa, dihubungi Jumat tengah malam.
3. MUDAFAR DANO
Orang ketiga yang ada pada gambar di atas adalah Mudafar Dano. Sama dengan petinju Pirih lainnya, Mudafar Dano awalnya bernama Mudafar.
Suatu hari aku pergi ke Pirih, tempat Mudafar latihan di Jalan Nginden Kota, Surabaya. Di situlah baru tahu kalau Mudafar bernama Dano, asal Ternate, Maluku Utara.
Di masa muda dulu, aku sering mengikuti pertandingan Mudafar Dano, termasuk yang paling menggemparkan di GOR Arie Lasut Manado, melawan Max Karamoy, 2 April 1994.
Dua hakim –domisili Jakarta dan Gresik—secara aneh memenangkan Mudafar Dano. Jootje Darmawan dari Bandung satu-satunya yang berani menulis jujur dan mengatakan yang benar bahwa pemenangnya adalah Karamoy. Pertandingan diputuskan 2-1 untuk Mudafar Dano sekaligus sukses mempertahankan sabuk juara Indonesia kelas ringan.
Seorang emak-emak marah. Kursi rotan yang didudukinya, diangkat kemudian dibanting ke dalam ring, sekuat tenaga yang ada di dalam tubuhnya.
Penonton lain ikut terbakar. Mereka melempari apa saja ke dalam ring, sebagai bentuk ketidakpuasan terhadap keputusan kontroversial yag merugikan petinju tuan rumah.
GOR Arie Lasut Manado suruh. Seorang jenderal purnawirawan berdiri di tengah ring untuk meredam kemarahan penonton. Hampir setengah jam sang jenderal di sana. Biasanya, kasus kontroverial bisa diselesaikan dalam waktu lima menit. Ini beda. Sangat menakutkan.
Untuk menghindari serangan membabi-buta, Mudafar Dano disuruh diam-diam turun dan meninggalkan ring tinju tanpa sabuk kejuaraan. Sangat tidak terhormat melihatnya.
Mudafar Dano meninggal dunia di Surabaya, Kamis, 15 Desember 2022, pukul 23.15 WIB, akibat sakit.
4. ANDRIAN KASPARI
Andrian Kaspari salah satu petinju top Jawa Timur. Pernah juara Indonesia kelas bantam dan kelas bulu yunior. Pernah ke luar negeri untuk kejuaraan dunia, tetapi dilarang karena dokter di sana menemukan Hepa-C di dalam tubuh Kaspari.
Setelah pensiun dari tinju, nama Andrian Kaspari tenggelam. Ia tidak aktif dalam kegiatan tinju. “Saya fokus kerja saja,” katanya. “Saya sekarang kerja ikut Dispora, ditempatkan di GOR Pancasila Lapangan Thor Surabaya,” jelas Kaspari, kelahiran Surabaya, 16 Juli 1972.
Ia memiliki buku “Perjalanan Tinju Indonesia” dengan cara membeli. Buku dibaca pelan-pelan. Buku itu buku yang sangat bersejarah tentang perjalanan tinju pro Tanah Air.
Andrian Kaspari salah satu petinju Jawa Timur paling disukai mendiang promotor A Seng. Selain bergaya fighter, Kaspari memiliki pukulan mematikan (killing punch). Kaspari pernah melakukan pertarungan yang luar biasa sepanjang 12 ronde melawan salah satu yang terbaik Virgo Warouw.
Kaspari mengalahkan Waraouw dan menjadi juara Indonesia kelas bulu yunior, yang terjadi di Studio III Indosiar, Jakarta, 17 Juli 2002.
Itu sudah 21 tahun silam. Namun, pertandingan itu merupakan yang terbesar sepanjang sejarah kejuaraan kelas bulu yunior Indonesia. Itu pertarungan terbaik sekaligus paling dikenang. Sampai sekarang.
5. YANI MALHENDO
Yani Malhendo salah satu petinju Pirih Surabaya paling berhasil. Lelaki kidal asal Nusa Tenggara Barat ini termasuk murid kesayangan mendiang Eddy Pirih, bos tinju Surabaya yang mendirikan sasana Pirih pada tahun 1980.
Di masa karirnya dulu, Yani pernah juara Indonesia kelas terbang ringan, juara Indonesia kelas terbang, dan juara WBC International kelas bantam yunior. Yani mengalahkan petinju Indonesia seperti Darwin Marbun dan Ippo Gala. Ia kalah dalam kejuaraan Indonesia melawan Hengky Wuwungan dari JK Tanjungproik Jakarta.
Dari lima kali bertemu Faisol Akbar, Yani dua kali menang dan tiga kali kalah. Setelah itu, Yani naik kelas.
Setelah mengantungkan sarung tinju, Yani sempat meneruskan karirnya sebagai pelatih. Sering membawa petinju Surabaya bertanding dalam siaran langsung Sabuk Emas RCTI maupun Gelar Tinju Profesional Indosiar.
Sempat dipercaya sebagai pelatih dan membawa petinju Jawa Timur bertanding pada PON XIX di Pelabuhan Ratu, September 2016.
“Sekarang tinju sedang tiarap. Saya tidak ada pekerjaan di tinju,” kata Yani Malhendo, yang selalu menutupi rambutnya dengan topi. “Tapi alhamdulillah, anak pertama sudah selesai kuliahnya. Sudah sarjana. Sebagai orangtua senang hati sudah pasti. Tinggal adiknya yang masih sekolah.”
“Tidak kerja, tapi mampu mengantar anak sampai sarjana. Itu luar biasa,” kata penulis lalu melihat air muka Yani Malhendo. “Dari mana uang untuk menutup biaya kuliah anak?”
Yani Malhendo diam sejenak. “Rezeki itu ada saja. Saya ada tanah. Saya beli dari uang tinju. Tanah itu sudah saya petak-petak. Pernah saya jual untuk biaya kuliah anak. Semua sudah ada namanya. Itu investasi untuk anak. Tidak akan saya jual lagi. ” (Finon Manullang)