BUKU PERJALANAN TINJU INDONESIA – Yani Hagler dan Tragedi 12 Oktober 1985 merupakan tulisan kedelapan dari buku tinju Finon Manullang. Ikuti terus tulisan yang sangat bersejarah bagi olahraga tinju Tanah Air. Semoga bermanfaat.
Kejuaraan dunia IBF 15 ronde kelas terbang ringan durasi 3 menit, atau sama dengan kelas terbang yunior, 48.988 kilogram.
Kidal Dodie “Boy” Penalosa (Filipina) Versus kidal buatan Yani “Hagler” Dokolamo (Indonesia).
Tempat pertandingan: Istora Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta.
Waktu pertandingan: Sabtu, 12 Oktober 1985, pukul 22.30 WIB, siaran langsung TVRI.
Promotor: Boy Bolang.
Wasit: Lucien Joubert (Amerika Serikat).
Hakim A: Oscar Bryan (Amerika Serikat), menilai 20-15.
Hakim B: Godofredo Fandialan (Filipina), menilai 20-15.
Hakim C: Leon Johannes (Indonesia), menilai 20-15.
Hasil pertandingan: Penalosa menang TKO ronde ketiga dan sukses tiga kali mempertahankan gelar juara dunia IBF kelas terbang ringan. Penalosa merebut gelar lowong di Osaka, Jepang, 10 Desember 1983, menang TKO ronde 12 atas Satoshi Shingaki (Jepang).
Yani Hagler dan Tragedi 12 Oktober 1985
Inilah satu-satunya kejuaraan dunia yang sama sekali tidak berimbang, yang pernah diselenggarakan di Indonesia. Sang juara southpaw Diasdado ”Dodie Boy” Penalosa (Filipina, 22 tahun) memukuli dan memaksa penantangnya southpaw buatan Yani Hagler Dokolamo (Sawunggaling Surabaya, Indonesia, 18 tahun) jatuh-bangun sampai empat kali kemudian dihentikan wasit. Berlangsung di Istora Senayan, Jakarta, Sabtu, 12 Oktober 1985.
Yani bukan kidal tetapi sengaja berlatih dengan tangan kidal sehingga setiap bertanding selalu kidal. Tangan kanan di depan dan tangan kiri di belakang. Tetapi, ketika berhadapan dengan Penalosa, Yani hampir tidak pernah memanfaatkan serangan kidal buatannya sendiri. Ia berdiri dan bertanding sebagai orthodox.
Penalosa menutup pertandingan pada ronde ketiga yang baru berjalan 50 detik. Cepat sekali. Ini merupakan kejuaraan dunia IBF ketiga di Indonesia, seperti ditulis dalam buku “Perjalanan Tinju Indonesia”, Finon Manullang 2023.
Kejuaraan dunia pertama di Indonesia adalah Ellyas Pical menang KO ronde kedelapan atas Ju Do Chun (Korea Selatan), Istora Senayan, 3 Mei 1985. Promotor Boy Bolang.
Kedua: Ellyas Pical menang KO ronde ketiga atas Wayne Mulholland (Australia), 25 Agustus 1985. Promotor Boy Bolang.
Ketiga: Dodie Penalosa (Filipina) menang KO ronde ketika atas Yani Hagler, Istora Senayan, 12 Oktober 1985. Promotor Boy Bolang.
Dodie Boy Penalosa adalah petinju kidal, yang terungkap menderita polio sejak lahir. Polio itu membuatnya harus bertinju dengan tangan kidal. Tetapi, kekuatan aslinya tetap di tangan kanan, bukan di tangan kiri.
Kehadiran Yani Hagler di pentas dunia sempat membuat publik tinju berdecak kagum dan berharap banyak dari tangan kidal buatannya sendiri.
Yani bukan kidal. Ia meniru idolanya, seorang juara dunia kelas menengah yang luar biasa asal Newark, New Jersey, Amerika Serikat, Marvin Hagler, kidal asli dan gundul.
Ketika bel tanda ronde pertama terdengar, Penalosa langsung menyerang Yani. In-fight dan tanpa harus mengukur kekuatan lawan terlebih dahulu. Penalosa seolah sudah hapal betul bagaimana permainan termasuk kekuatan Yani Hagler. Bisa dipastikan dia sudah mendapat bocoran dari orang yang tidak suka melihat petinju Indonesia berhasil.
Penulis, sambil memegang kamera, sengaja berdiri di bawah ring sudut netral. Beberapa wartawan dari berbagai surat kabar, juga berdiri di pinggir ring. Rebutan untuk tujuan mendapatkan gambar yang tajam.
Penulis melihat orang Filipina itu melepaskan pukulan sekuat tenaga. Serangan Penalosa benar-benar bertubi-tubi. Tidak mengenal iba sekaligus mematikan. Aku merasa tubuhku bergetar.
Itu baru ronde pertama. Ronde kedua, aku melihat Yani Hagler, petinju kidal buatan dari Sawunggaling Surabaya, terus berjuang.
Aku melihat Yani Hagler memberikan perlawanan sekuat tenaga yang dia miliki. Aku dan wartawan yang berdiri di pinggir ring, melihat tubuh Yani Hagler jatuh dan bangun.
Dua kali knock down yang sangat parah tidak membuat nyalinya putus. Yani melawan. Melepaskan jab-straight dan hook serta upper cut. Sayang tidak ada yang masuk. Semua ditangkis sang juara, yang memang memiliki pertahanan sangat tangguh.
Aku dan ribuan penonton memastikan tidak ada pukulan Yani yang bisa menghasilkan poin. Kalah secara total.
Ronde ketiga, Yani Hagler pengagum raja kelas menengah Marvin Hagler mencoba tenang. Dengan gaya plontos mirip Hagler asli dan di usianya yang baru 18 tahun, ia melindungi dirinya dengan double cover, tetapi kakinya tidak bergerak. Diam di tempat. Itu sangat menguntungkan lawan karena tangan Penalosa memang kering dan menyengat. Timing yang bagus dan lagi-lagi menjatuhkan Yani.
Jatuh dan jatuh lagi. Apa boleh buat. Tidak ada pilihan. Wasit Lucien Joubert (Amerika Serikat) menghentikan pertandingan. Kondisi Yani sangat menyedihkan. Dia sempat menatap meja ofisial ring, seakan-akan meminta pertolongan. Semua orang-orang yang duduk enak di barisan meja ofisial ring membisu.
Akhirnya dengan sekuat tenaga Yani Hagler mampu berdiri. Yani, sambil menundukkan mukanya, bisa kembali ke sudut biru sudutnya sendiri. Yani sudah ditunggu dua pelatihnya; Didik Mulyadi di dalam ring dan Setijadi Laksono di bawah ring.
Setelah trategi jatuh-bangun, penonton mulai gaduh. Yani dianggap belum waktunya maju untuk kejuaraan dunia. Terlalu muda, 18 tahun.
Promotor Boy Bolang dan orang-orang tinju mendapat kritik. Dituding ambisius mendorong Yani untuk title fight. Padahal, menurut penonton yang sudah marah, belum waktunya.
Sebelum tragedi 12 Oktober 1985, Yani Hagler menyimpan rekor tanding belum terkalahkan dengan prestasi juara Indonesia kelas terbang ringan. Beda dengan Ellyas Pical, yang sudah teruji dengan merebut gelar OPBF di Korea dan sekali mempertahankannya dengan memukul KO pada ronde keenam penantang Mutsuwo Watanabe, petinju Jepang di Jakarta.
Yani terlalu cepat diorbitkan, inilah konklusi umum. Ia merebut gelar juara Indonesia kelas terbang ringan melalui 12 ronde melawan juara Tubagus Jaya di Surabaya, 23 September 1984. Ketika itu Tubagus Jaya sudah berantakan. Sudah putus dari Garuda Jaya.
Setelah juara Indonesia, Yani bertanding imbang 10 ronde melawan Little Baguio (Filipina).
Itu saja belum cukup untuk menghadapi seorang juara dunia sehebat Penalosa, yang tidak pernah berhenti memukuli Yani Hagler. Penalosa bukan saja luar biasa ketika melepaskan jab-straight, namun hook dan upper cut yang dia miliki sulit dihindari. Semua pukulan Penalosa berhasil mengenai tubuh dan kepala Yani. Sepanjang tiga ronde, hampir tidak ada perlawanan. Ini kejuaraan dunia paling menyedihkan.
Tidak sedikit penonton, terlebih wanita, hanyut dalam kesedihan yang dalam. Menangis, kemudian diam-diam pergi meninggalkan Istora Senayan. Bagi mereka, itu bukan tontonan yang sehat, tapi pembantaian.
34 TAHUN KEMUDIAN
Sekitar 34 tahun kemudian, secara tidak diduga-duga, aku bertemu Yani Hagler di GOR Laga Satria, Bogor, 13 Desember 2019.
Yani datang sebagai pelatih tim Pra PON Jawa Timur. Sementara, aku datang meliput Pra PON untuk Rondeaktual.com.
Banyak yang kami bicarakan, tetapi tidak tentang tragedi 12 Oktober 1985, yang membuat Yani Hagler jatuh-bangun di tangan Penalosa.
“Tinggal di mana sekarang, Mas Yani?” aku pura-oura bertanya. Padahal sudah tahu, Yani menetap di Desa Pujon, Kabupaten Malang, Provinsi Jawa Timur.
Kami pernah selama beberapa tahun tinggal bersama di markas Sawunggaling Surabaya. Yani sebagai petinju dan aku menangani Redaksional Tinju Indonesia, majalah tinju terbesar dan satu-satunya di era itu. Kami pernah sama-sama mengamen dari gang ke gang di sekitar Karangmenjangan, Surabaya, untuk mendapatkan uang jajan harian.
“Aku masih di rumah yang dulu,” jawab Yani Hagler. “Aku hidup di desa. Kalau ke Malang, jangan lupa mampir ke rumahku. Aku bisa bikin gitar. Monggo, siapa mau beli tinggal order,” kata Yani Hagler Dokolamo, kelahiran tahun 1967. Yani lahir di Jayapura, besar di Malang. Ayah Yani berdarah Maluku dan ibunya berdarah Madura.
Dalam pertemuan di GOR Laga Satria Bogor, aku tidak bertanya tentang kehidupan Yani Hagler. Tetapi, aku tahu kalau Yani pernah hidup dengan wanita yang berbeda. Kawin dan cerai sudah dilewatinya, setelah kejuaraan dunia IBF light flyweight melawan Dodi “Boy” Penalosa.
Menurut pengakuannya sendiri, Yani Hagler menghidupi keluarganya dengan cara menjual gitar karyanya sendiri.
Yani memiliki tanah yang subur di sekitar tinggalnya di Desa Pujon. Tetapi, Yani tidak pandai bertani. Yani menjelaskan, Mintohadi adalah salah satu mantan petinju yang pernah membeli gitar produksi Yani Hagler.
Mintohadi adalah mantan juara Indonesia kelas terbang, yang buta akibat kerasnya persaingan tinju di atas ring era promotor A Seng. Mintohadi pernah bertanding sampai lima kali melawan orang yang sama; southpaw Jack Siahaya.
Aku dapat memastikan bahwa Yani Hagler memiliki banyak talenta. Beliau sangat sayang kepada adik-adiknya.
Selain bakat tinju, Yani adalah juara bulutangkis di sekolahnya, di Malang. Sekolah Yani hanya sampai SD.
Yani pernah mendirikan grup ngamen di Terminal Batu. Ketika itu Batu masih bagian dari Kabupaten Malang. Yani tercatat sebagai vokalis tunggal. Penggemarnya banyak, terutama para penumbang bus luar kota yang singgah ke Terminal Batu. Grup ngamen itu sempat sangat favorit di sana sebelum akhirnya dibubarkan.
Yani tidak mengenal tinju amatir. Ia berlatih di Malang, karena ikut-ikutan. Bisa dipastikan mantan juara Indonesia kelas bulu yunior, Didik Mulyadi, adalah orang pertama yang menemukan bakat tinju Yani Hagler.
Ketika aku pergi ke Malang pada November 2023, aku merasa bahagia bisa bertemu Didik Mulyadi di usianya yang sudah 67 tahun. Didik baru saja mengikuti konferensi pers di sebuah hotel tempat para petinju menginap untuk menghadapi pertandingan di Simpang Balapan, Ijen, Malang, Jawa Timur, Sabtu, 11 November 2023.
Setelah setahun menjalani latihan tinju bersama Didik Mulyadi di Malang, Setijadi Laksono (seorang tokoh tinju ternama di Surabaya) berkenalan dengan Yani Hagler, melalui Didik Mulyadi.
Pada tahun 1983, Setijadi Lsksono yang memang butuh petinju berbakat, memboyong Yani Hagler dan tinggal di markas tinju Sawunggaling, Jalan Kalikepiting 123, Surabaya. Di sana pula kantor pusat Majalah Tinju Indonesia, tempat aku berkarya selama hampir sembilan tahun.
Di Sawunggaling Surabaya, Yani Hagler dididik sebagai petinju profesional yang taat akan disiplin.
Pada Agustus 1985, promotor Boy Bolang bersama seorang tokoh sepakbola, Dimas Wahab, datang ke markas Sawunggaling Surabaya untuk menyodorkan kontrak kejuaraan dunia seharga Rp 40 juta. Uang terbesar sepanjang hidup Yani Hagler. Sampai sekarang.
Setelah potong komisi, manajer, uang latihan selama persiapan kejuaraan dunia, dan contest fee, ternyata Yani Hagler hanya menerima tak sampai Rp 20 juta. Tinju pro memang begitu. Terlalu banyak potongan.
Masih dikutip dari buku “Perjalanann Tinju Indonesia”, satu bulan jelang kejuaraan dunia, ayahanda Yani Hagler, Abdul Hair Dokolamo, seorang pensiunan polisi di Malang, meninggal dunia akibat gula tinggi, pada hari Minggu, 8 September 1985.
Yani tidak mendapat pilihan untuk menunda pertandingan. Konon, semua sudah diatur mulai dari promosi, penjualan tiket, dan jadwal siaran langsung TVRI. Percaya tidak percaya, katanya sudah tidak bisa digeser. Harus tanggal 12 Oktober 1985.
Dua minggu menjelang pertandingan, Yani jatuh kena straight kidal petinju kelas bulu Marthen Kasangke. Latih tanding terpaksa dihentikan sebelum waktunya.
Tidak siap dan masih dalam suasana berduka, Yani Hagler tetap berangkat ke Jakarta, didampingi abangnya seorang polisi yang datang dari Ambon. Yani tumbang ronde ketiga di tangan southpaw asli Dodie Panalosa.
Tragedi Istora Senayan, 12 Oktober 1985, sangat menyedihkan.
PERJALANAN TINJU YANI HAGLER, antara lain:
GOR Pulosari, Malang, 1 Maret 1984: Yani (Sawunggaling Surabaya) menang KO-4 atas Little Pono (Arema Malang).
Gelora Pantjasila, Surabaya, 17 Februari 1984: Yani Hagler (Sawunggaling Surabaya) menang KO-3 non gelar atas juara Indonesia kelas terbang Munadi (Banteng Bandung). Promotor: Handoyo Laksono.
Gedung Go Skate Surabaya, 23 September 1984: Yani merebut gelar juara Indonesia kelas terbang ringan, 48.988 kilogram, menang melalui unanimous decision dua belas ronde melawan juara yang hebat Tubagus Jaya (Garuda Jaya Jakarta). Promotor: Handoyo Laksono.
Istora Senayan, Jakarta, 14 Oktober 1984: Yani menang angka delapan ronde non gelar atas Bristol Simangunsong (Garuda Jaya Jakarta). Promotor: Edward Simorangkir.
GOR Ngurah Rai, Denpasar, 16 Maret 1985: Yani menang TKO-4 atas Acan Tabalubun (Cipta Jasa Jember). Promotor: Letkol (CHB) FK. Sidabalok.
Gedung Go Skate, Surabaya, 1985: Yani Hagler draw 10 ronde melawan petinju kidal Little Baguio (Filipina). Promotor: Handoyo Laksono.
Istora Senayan, Jakarta, Sabtu, 12 Oktober 1985: Yani Hagler tumbang KO ronde ketiga di tangan Dodi Penalosa (Filipina). Promotor: Boy Bolang.
GOR Bulungan, Jakarta, 19 April 1986: Yani kalah TKO-4 atas Little Holmes (Gajayana Malang). Yani seharusnya menerima uang kontrak dari promotor Tinton Soeprapto Rp 1 juta. Namun, Yani hanya menerima Rp 750 ribu, setelah matchmaker menilep bayaran dengan cara merusak nilai kontrak asli dengan penghapus tipe-x. Promotor: Tinton Soeprapto.