BUKU PERJALANAN TINJU INDONESIA – Tulisan berjudul “Melihat Ratu Dangdut Elvy Sukaesih di Lampung“ merupakan tulisan ke-13 dari buku tinju Finon Manullang. Ikuti terus tulisan yang sangat bersejarah bagi olahraga tinju Tanah Air. Semoga bermanfaat.
Melihat Ratu Dangdut Elvy Sukaesih di Lampung
Aku pernah sekali ke Bandar Lampung, Provinsi Lampung, meliput pertandingan tinju profesional pertama dan satu-satunya yang terbesar di sana. Berlangsung di Stadion Pahoman, Minggu, 15 Maret 1987.
Rasanya senang bisa melihat ratu dangdut Elvy Sukaesih joget bersama Minarto Hary, petinju pertama dari Provinsi Lampung.
Promotor Tinton Soeprapto bersama Tonsco Boxing Jakarta menyuguhkan main event Kejuaraan WBC Intercontinental gelar lowong kelas ringan yunior, 58.967 kilogram, antara Pulo Sugar Ray (Garuda Airlangga Surabaya, Indonesia) versus Geron Porras (Filipina).
Pulo Sugar Ray (bernama Pulu Safrudin Deu asal Gorontalo) berhasil menjual permainan tinju yang enak ditonton. Jab-straight terbaik mengantarnya sebagai pemenang melalui pertarungan berdarah sepanjang 12 ronde atas Geron Porras.
Sepanjang pertarungan, Pulo Sugar Ray (diambil dari nama juara dunia yang hebat dan seniman ring Sugar Ray Leonard, yang ketika itu sedang naik daun setelah mengalahkan Roberto Duran dan Thomas Heanrs), menghadapi Geron Porras dengan sangat berapi-api.
Kedua petinju sama-sama berani in fight membuat pertandingan sangat mencekam, dihadapan sekitar 7.500 orang yang memadati lapangan terbuka. Tidak ada yang mencium kanvas ring, tetapi darah menetes dari muka Geron Porras yang terluka dihantam long hook kanan Pulo Sugar Ray.
Pada ronde terakhir, Porras menggempur Pulo Sugar Ray secara habis-habisan. Petinju Filipina mengejar target harus KO, mengingat akumulasi angka di kartu tiga hakim sudah tertinggal jauh. Porras terus maju memukul tapi sudah terlambat. Bel ronde terakhir berbunyi panjang. Teng…..!
Pulo, setidaknya menang di tiga ronde permulaan, kalah di pertengahan ronde, dan kalah di ronde terakhir.
Tiga hakim tinju memenangkan Pulo dengan nilai 120-113 (hakim Indonesia), 117-111 (hakim Thailand), dan 116-113 (hakim Filipina).
Nilai ideal adalah 117-111, yang diberikan oleh hakim dari Thailand, di mana Pulo kehilangan tiga ronde dan Porras kehilangan sembilan ronde.
Pada buku Perjalanan Tinju Indonesia” halaman 37 disebutkan, Pulo yang ganteng disambut bak seorang pahlawan baru di bidang olahraga. Ring tinju penuh manusia. Penonton berjingkrak-jingkar di pinggir ring. Sebagian penonton mengklaim gelar yang direbut Pulo sebagai gelar juara dunia. Banyak media yang menulis bahwa pertarungan merupakan kejuaraan dunia WBC. Padahal bukan begitu.
Ceritanya begini. Pada tahun 1986, mendiang Jose Sulaiman menciptakan gelar WBC Intercontinental (awalnya WBC Junior) untuk memberikan kesempatan kepada petinju Asia agar bisa memiliki sabuk WBC. Pemikiran Sulaiman sangat bagus dalam upaya mengangkat kemajuan tinju di kawasan Asia ke level dunia. Itu sejarahnya.
Pemberitaan yang salah telah menimbulkan presepsi yang berbeda. Apalagi, ketika itu publik tinju lebih akrab dengan WBC, yang dipandang sebagai gelar juara dunia paling bergengsi. Padahal, masih di era itu, badan tinju tertua WBA juga melahirkan sejumlah juara yang masyhur.
Pulo, putra asli Gorontalo, bertanding membawa sasana Garuda Airlangga Surabaya, didampingi manajer seorang prokol bambu Harry Sasmita, pelatih Suryadi (mantan juara Sarung Tinju Emas) dan petinju Julius Leojan ikut membantu di sudut merah.
Partai lain –juga berdarah-darah—kelas ringan yunior 10 ronde, Hengky Gun (Sawunggaling Surabaya) menghentikan langkah Ariel Duran (Filipina) pada ronde ketujuh.
Kelas terbang mini 10 ronde, Nana Suhana (Amar Sport Jakarta, sekarang pelatih di GRJU, Jakarta Utara) menang angka atas Edwin Inocencio (Filipina).
Aku mencatat, itu merupakan penampilan terbaik seorang Nana Suhana, yang menyerang sepanjang ronde dan melukai lawan.
Pada era itu, Nana Suhana yang terbaik di kelasnya, kelas terbang mini, 47.627 kilogram. Tetapi, entah mengapa dan di mana letak kesalahannya, untuk menjadi juara Indonesia saja Nana Suhana tidak pernah berhasil.
RATU DANGDUT
Setiap teringat Bandar Lampung, yang pertama di kepala ini bukan tentang tinju melainkan tentang ratu dangdut Elvy Sukaesih.
Ketika pertandingan belum dibuka, aku duduk persis di sebelah seorang lelaki berjampang lebat. Aku menyapanya dan kami ngobrol tidak tentang tinju dan tidak pula tentang Elvy Sukaesih, yang terkenal sebagai ratu dangdut. Lelaki itu ramah.
Lima menit kemudian, Elvy Sukaesih datang memperkenalkan lelaki tadi. “Ini Abah,” kata Elvy, yang sudah mengenal aku sebagai peliput acara spektakuler tinju dan kolaborasi musik dangdut.
Abah yang dimaksud Elvy Sukaesih adalah Zaidun Zeidh Abu Bakar Jindan, suami Elvy Sukaesih. Senang duduk ngobrol bersama suami ratu dangdut. Sampai seluruh acara tinju dan musik dangdut bubar, aku tidak pernah bertanya apakah Abah suka tinju.
Malam itu, promotor Tinton Soeprapto menggelar pertandingan tinju dan musik dangdut yang spektakuler. Jarang promotor menggelar kolaborasi musik dangdut dan tinju. Tetapi Bandar Lampung bukan yang pertama melakukannya.
Ketika Ellyas Pical menantang Khaosai Galaxy di Stadion Utama Gelora Bung Karno Senayan, Sabtu, 28 Februari 1987, promotor Kurnia Kartamuhari menampilan tinju dan dangdut.
Tidak main-main. Raja dangdut H. Rhoma Irama menggoyang publik dengan Begadang, lagu yang sudah populer pada tahun 1973, dan lagu Darah Muda, yang sangat terkenal pada tahun 1977.
Di Bandar Lampung, Selain Elvy Sukaesih, ada Jaja Miharja dan penyanyi dangdut lokal.
Sukses luar biasa. Dari atas panggung yang dilapis karpet hitam, Elvy Sukaesih mengajak ribuan penonton bergoyang di tengah malam. Minarto Hary, petinju amatir kelas welter Lampung, naik ke panggung dan joget berdua bersama Elvy Sukaesih, yang lain joget di bawah. Bisa jadi tak akan terlupakan.
Lebih 7.500 penonton memadati Stadion Pahoman Bandar Lampung. Pertunjukan yang sangat spektakuler kolaborasi tinju profesional dan musik dangdut. Elvy Sukaesih menjadi bintang, yang mampu membangun komunikasi dengan penonton. Djaja Miharja juga hebat.
KOPI DAN KERIPIK PISANG
Sehari setelah pertandingan dan sebelum kembali ke Surabaya, Pulo Sugar Ray dan rombongan diundang ke Balai Kota, disambut sebagai warga kehormatan oleh Wali Kota Bandar Lampung Drs. Nurdin.
Di Airport, sambil menunggu pesawat, semua rombongan tinju mendadak menerima oleh-oleh berupa kopi dan keripik pisang dalam kaleng besar. Entah dari siapa. Rombongan tinju tinggal menerima saja, termasuk aku, yang dengan sangat merepotkan menenteng kaleng sebagai oleh-oleh berharga sampai ke Surabaya. Di tahun iti, aku berkarya di Kota Pahlawan.
Lampung, sejak dulu memang sudah terkenal dengan kopi rabusta terbaik. Menurut orang yang mengantar oleh-oleh, keripik pisang khas Lampung paling paten dari semua jenis keripik pisang yang ada. Boleh jadi kurir pengantar oleh-oleh itu benar.
Tiba di Bandara Juanda, Pulo disambut besar-besaran. Hampir semua tokoh tinju berkumpul di ruang tunggu. Benar-benar bagai menyambut kedatangan pahlawan dari medan perang.
Sepekan kemudian, Wali Kota dr. Poernomo Kasidi mengundang Pulo dan tim Airlangga Boxing Camp Surabaya dan tim sepakbola Persebaya Surabaya yang baru saja menjuarai Galatama. Banyak orang berkumpul ke rumah dinas Wali Kota.
Aku di sana menjalankan tugas liputan untuk Tinju Indonesia, majalah tinju satu-satunya pada era itu.