Rondeaktual.com
Hari ini, Senin, 13 Mei 2024, penulis terlambat bangun hampir tiga jam dari biasanya. Sudah mendekati pukul 08.30. Penulis langsung mengaktifkan hp dan melihat ada kiriman berita duka atas meninggalnya Chris Rotinsulu, 69 tahun.
Pengirim adalah kawan lama Yance Rahayaan. “Berita duka saya peroleh dari pelatih Apat S,” kata Yance Rahayaan, yang sekarang sedang fokus kursus bahasa Belanda. Yance ingin meninggalkan Indonesia dan bermukim di Belanda.
Setelah protes keras, ternyata Apat mendapat berita duka kematian Chris Rotinsulu yang sangat menyedihkan datang dari Erwisyah Eneck, mantan petinju kelas terbang era tinju siaran langsung Gelar Tinju Profesional Indosiar (GTPI).
Penulis secara spontanitas langsung membatalkan rencana pergi ke Rumah Sakit Karya Medika II, Tambun, Bekasi, Jawa Barat.
Rumah sakit itu pernah dipimpin oleh dr Dominggus Boy Efruan, dokter tinju Komisi Tinju Indonesia (KTI), yang kemudian bergeser ke Komisi Tinju Profesional Indonesia (KTPI).
Dokter yang merawat penulis adalah dr Frans Jobeth, SpN, merekomendasikan menjalani fisioterapi, Senin pagi, 13 Mei 2024.
Sebelum meninggalkan kamar nomor 20, dr Frans Jobeth, SpN menegaskan supaya memulai fisioterapi Senin pagi. Oke, kami sepakat dan salaman. Kami berpisah, pada hari Sabtu petang, 11 Mei 2024. Dokter Frans baik hati. Bersahabat sekali.
Ternyata, penulis tidak bisa memenuhi perjanjian ke rumah sakit, karena lebih memilih untuk mempersiapkan tulisan obituari Chris Rotinsu.
Bagi penulis, ini adalah kematian seorang sahabat. Chris Rotinsulu telah memberikan hampir seluruh hidupnya untuk olahraga sebagai petinju, sebagai pelatih, dan sebagai wasit/hakim. Tanpa putus.
Chris Rotinsulu, orang baik di dunia tinju, merupakan nama yang sudah tidak asing lagi. Dari hari ke hari, dari minggu ke minggu, dari bulan ke bulan, dan dari tahun ke tahun, Chris Rotinsulu bergulat dengan tinju. Olahraga ini sering disebut olahraga keras, yang sering menimbulkan permusuhan antarpengurus. Dendam tak habis-habisnya. Dendam yang dibawa sampai ke liang lahat.
Penulis sangat dekat dengan Chris Rotinsulu. Dimulai dari tahun 1984 barangkali. Chris Rotinsulu dengan sengaja mengenalkan Coins –istri pertama—ketika kami sama-sama duduk di arena tinju Piala Presiden RI, Istora Senayan Jakarta. Chris datang bersama istrinya menyaksikan pertandingan. Penulis datang dari Surabaya, untuk tujuan meliput pertandingan tinju amatir Piala Presiden untuk Majalah Tinju Indonesia.
Setelah mencoret jadwal ke rumah sakit, penulis, seperti biasa, yang pertama dipersiapkan adalah foto. Mencari foto di bank naskah butuh waktu setidaknya 30 menit. Penulis menemukan dua foto Chris Rotinsulu, kemudian membersihkannya dan memastikan format dua foto yang akan publish hari ini.
Tulisan obituari Chris Rotinsulu sudah mendekati rampung. Tinggal mengoreksi akhir sebelum publish. Isinya antara lain tentang pertemuan kami di Surabaya. Pernah sekamar bertiga dengan promotor keren Lineke Lolowang. Kami check-in di hotel bagus yang ada di Bandara Juanda, karena harus mengejar pesawat pagi. Penulis dan Lineke Lolowang tidur bersebalahan (twin beds) dan Chris Rotinsulu memilih tidur di bawah. Kami tidak memesan extra bed.
Dalam obituari Chris Rotinsulu yang penulis siapkan, antara lain kisah makan sop buntut di Jalan Embong Malang, Surabaya. Beberapa jam kemudian, petinju Steven Togelang muntah nasi sop buntut di atas ring Gedung Go Skate Surabaya, melawan kidal Hasanuddin Hasibe (Pirih Surabaya).
Menurut Chris, Steven Togelang terlalu banyak menghabiskan sop buntut sehingga muntah saat bertanding dalam partai balas dendam kejuaraan Indonesia kelas bantam melawan Hasanuddin Hasibe. Malam itu, Steven Togelang dikarikan ke rumah sakit. Beberapa jam kemudian boleh pulang.
Di tulisan itu juga terungkap kisah seorang janda cantik mempunyai betis bagus beranak satu di Surabaya. Wanita itu sedang selingkuh dengan seorang pengurus tinju.
Akhirnya penulis sadar. Ternyata janda bening tadi selingkuh dengan lelaki yang tidak lain tidak bukan adalah ipar langsung dari Chris Rotinsulu. Hancur berkeping-keping.
Janda tadi diperingati supaya lain kali berhati-hati memilih selingkuhan. Pilihlah yang belum beristri, supaya terhindar dari serangan pelakor.
Ketika tulisan ini dipersiapkan, penulis tertawa terbahak-bahak mengenang kisah perselingkuhan di Surabaya.
Sebelum menutup tulisan, penulis segera menghubungi nomor Chris Rotinsulu, dengan harapan pihak Cheny Runtuwene –istri kedua—atau keluarga dekat bersedia memberikan keterangan.
Ternyata ceritanya bukan begitu. Tidak ada kematian. Chris Rotinsulu masih hidup. Sehat semangat di usianya yang sudah 69 tahun.
“Saya sudah dengar semuanya,” kata Chris Rotinsulu. “Saya sekarang ada di Jakarta, sedang mengurus akte notaris. Tadi malam Yance Rahayaan ada sebar berita kalau saya sudah mati. Tadi pagi, Apat bilang dapat telepon dari petinjunya Erwinsyah Eneck, kalau saya meninggal.”
“Akhirnya heboh. Telepon berdatangan menanyakan tentang kematian saya, termasuk dari saudara yang di Amerika. Saya jelaskan, tidak ada kematian. Mungkin (Erwinsyah Eneck) melihat face book saya. Sehingga cepat-cepat menyimpulkan kalau yang mati adalah saya. Padahal, yang meninggal adik saya.”
“Bagi saya, puji Tuhan. Saya masih hidup. Umur panjang. Saya tidak tersinggung,” ujar Chris Rotinsulu, pelatih yang pernah cukup lama mengantar Azaddin Anhar, Husni Ray, Rivo Kundimang, bertanding.
“Di sini saya luruskan, yang meninggal adalah adik saya (Royke Rotinsulu). Hari Jumat meninggal di Manado. Minggu sudah dikubur. Saya tidak ke sana karena dang adong hepeng (tidak ada uang). Tiket mahal, lebih baik uangnya saya kirim ke istri almarhum, mungkin bisa lebih bermanfaat.”
Setelah klarifikasi tentang kematiannya yang sangat menyedihkan, penulis bertanya tentang pekerjaan Chris Rotinsulu.
“Saya sekarang menganggur. Tidak ada pekerjaan. Setiap hari hanya tunggu telepon datang untuk ngawal para bos. Kawal pengacara. Saya masih bisa melatih, tapi tahu sendiri, tinju Indonesia habis. Tidak ada orang yang mau menjamin kehidupan petinju. Entah sampai kapan tinju Indonesia terpuruk. Ini benar-benar sangat mematikan. Tidak ada pertandingan, yang banyak malah badan tinju, sampai enam. (Finon Manullang)