Rondeaktual.com
Legenda Terminal Arjosari Malang, Tejo Arter, 63 tahun, adalah seorang petinju pro pada era emas tinju Malang, Jawa Timur, tahun 1985. Tejo pernah memiliki usaha, termasuk becak panggil.
Selama bertahun-tahun Tejo Arter hidup di Terminal Arjosari, Malang. Kedatangan COVID-19 membuat terminal sepi.
“Saya dipaksa oleh keadaan harus pergi meninggalkan terminal,” kata Tejo Arter di Malang, duhubungi Rabu, 19 Juni 2024.
Tejo Arter melangkah jauh mencari pekerjaan harian untuk mempertahankan hidup.
Tejo Arter mulai bertinju pada awal dekade 80. Tejo pertama kali berlatih di Bhirawa Jaya Malang atau Higam Malang milik Marico Udin.
Dari Hidam pindah ke Javanoea, milik Eddy Rumpoko. Pindah lagi ke Satria Yudha, milik tokoh sepakbola Malang, Lucky Acub Zainal bersama pelatih Ingger Kailola. Tejo bertanding dari kelas terbang mini, 47.627 kilogram, hingga kelas bulu, 57.153 kilogram.
Tejo Arter (Arek Terminal) adalah keluarga tinju yang dimulai dari:
1. Almarhum Joko Arter, mantan juara Indonesia kelas bulu dan petinju Indonesia pertama bertanding untuk kejuaraan dunia IBF di Korea Selatan, 4 Maret 1984. Joko tumbang KO ronde kedua dan gagal menjadi juara dunia.
2. Tejo Arter, orang yang sekarang sedang kita bicarakan.
3. Kid Manguni, atau Sutoyo, mantan satpam jaga malam hotel melati di Blimbing. Menurut Tejo, Kid Manguni hidup makmur tetapi sudah bertahun-tahun tidak pernah memberi kabar di mana keberadaannya. Keluarga menyebut Kid Manguni pergi ke Aceh dan tidak pernah kembali. Ketika kedua orangtuanya dan istrinya meninggal, Kid Manguni tidak pernah datang ke Malang.
4. Almarhum John Lee (Slamet Widodo), bertinju di Rajawali Surabaya.
5. Dobrax Arter, mantan petinju Sawunggaling paling terkenal. Karir tinjunya sudah habis dan kembali ke Malang. Dobrax memiliki usaha lahan parkir yang menjanjikan.
Dari lima keluarga, hanya Joko dan Dobrax yang sempat menjadi juara Indonesia. Tejo, meski paling lama bertanding, tidak pernah menjadi juara.
Tetapi, Tejo menjadi satu-satunya petinju Indonesia yang bisa mencapai 73 pertandingan profesional tanpa gelar juara. “Sepanjang karir tinju, saya tidak pernah KO,” kata Tejo.
Mengapa tidak pernah juara?
“Selain persaingan memang ketat ketika itu, saya tidak memiliki promotor. Semua orang tahulah, kalau petinju seperti saya yang tidak memiliki promotor, pasti sangat sulit untuk menjadi seorang juara,” kata Tejo Arter, yang sekarang kerja sebagai pengamanan di rumah mantan Wali Kota Batu, Dewanty Rumpoko.
Dewanty Rumpoko adalah istri dari mendiang mantan Wali Kota Batu, Eddy Roempoko, yang dulu terkenal dengan sasana tinjunya bernama Javanoea Boxing Camp Malang. Sasana dan ring tinju terletak di pekarangan samping rumah mereka di Jalan Anjarmoro, Malang. Javanoea ditangani pelatih legendaris Wongso Suseno. Petinjunya antara lain Nurhuda, Monod, Abdi Pohan.
“Kalau petinju punya promotor enak,” sambung Tejo Arter. “Main beberapa kali saja sudah bisa juara. Bahkan petinju sekarang yang tidak pernah memiliki peringkat bisa juara Indonesia, karena punya promotor. Tinggal cari lawan yang tidak pernah latihan. Adu, menang, dan juara. Sekarang, cara seperti ini banyak terjadi di Indonesia. Ada juga petinju yang sengaja membayar lawannya kemudian disuruh menyerah. Kacau.”
“Sekali lagi, kalau tidak punya promotor, dia hanya bisa main untuk partai pelengkap atau partai tambahan. Promotor itu hanya memikirkan petinju yang dia orbitkan. Sengaja cari lawan “ayam sayur” supaya rekor KO petinjunya bertambah. Itu bukan rahasia lagi.”
TENTANG TEJO ARTER
1. Nama: Amir Sutejo.
2. Nama ring: Tejo Arter.
3. Lahir: Malang, 13 Juni 1961.
4. Usia: 63 tahun.
5. Nama sasana: Higam Malang, Javanoea Malang, Satria Yudha Malang, Pirih Surabaya, Tonsco Jakarta, Tjandra Malang.
6. Pendidikan: SD tamat 1973, SLTP taman 1976, SMA/Paket C tamat 1979.
7. Catatan pertandingan: Selama bertinju sudah naik ring sebanyak 73 kali, menang 56 (9 KO), kalah 15, draw 2. Tidak pernah menderita kalah KO.
8. Domisili: Teluk Cendrawasih, RT 03 RW 03, Arjosari, Malang, Jawa Timur.
Tejo banyak mengenal manajer tinju. Ada yang baik ada yang tidak baik.
“Saya pernah ikut Pak Eddy Rumpoko, Pak Lucky Acub Zainal, Pak Eddy Pirih di Surabaya, Pak Tinton Soeprapto di Bintoro Jakarta, dan kembali ke Malang ikut Pak Yongky Susanto. Saya punya tanaman ginseng, dapat waktu tanding di Korea.”
Tejo Arter hampir tidak pernah pengangguran. “Berhenti tinju, saya langsung dapat kerja di Putra Arema (sepakbola) pimpinan Pak Lucky Acup Zainal. Terus Satpam di Hotel Royal Orchid Garden di Batu, Koordinatar Satpam Hotel Megawati Malang, Caker portir di gedung bioskop se-Jatim. Sekarang saya ikut Ibu Dewanty Rumpoko, jaga rumah di Batu.”
Beberapa nama yang pernah mempersiapkan pertandingan Tejo Arter antara lain; Watung Kwanto, legenda hidup Wongso Suseno, Ingger Kailola, Mario Lumacad (pelatih asal Filipina).
Tejo Arter pernah bertahaun-tahun terkenal di Terminal Arjosari Malang, bersama abangnya mendiang Joko Arter.
“Sekarang saya sudah tidak di Terminal Arjosari. Dulu saya hidup di sana. Dapat kios, hadiah dari Pak Wali Kota. Saya buka usaha kebutuhan orang yang ada di sekitar terminal seperti keperluan orang mandi, kebutuhan mengganjel perut alias makanan ringan. Saya sampai tinggal di terminal, sebagai tempat usaha juga tempat tinggal. Tetapi COVID-19 datang. Situasi berubah cepat. Terminal sepi. Tidak ada yang beli. Saya memilih pergi dari terminal, demi mempertahankan hidup,” ujarnya kemudian menyebut Pelni Rompis, Alex Rabadeta, Noce Lukman, pernah dihadapinya di atas ring.
Selama bertahun-tahun hidup membuka kios di Terminal Arjosari, Tejo Arter sempat terjun bisnis becak panggil.
“Ibu-ibu butuh becak tinggal panggil dengan cara tekan nomor telepon yang sudah tersimpan. Usaha becak panggil hampir saya tutup lantaran sepi. Sekarang masih operasional khusus malam,” katanya. Tejo Arter mendirikan usaha becak panggil pada tahun 80-an, asli karya mantan petinju.