Rondeaktual.com, Jakarta – Kisah tentang keluarga Arter di atas ring tinju pro Tanah Air sangatlah panjang. Mereka lima bersaudara dan kelimanya terjun sebagai petinju dengan nama yang berbeda-beda. Sehingga sulit menebak kalau kelimanya adalah seayah dan seibu. Ada Joko Arter, Tejo Arter, Kid Manguni, Jon Lee, dan si bungsu Dobrax Arter.
Saya akan mulai dari yang tertua, Joko Arter (1956-2007).
1. JOKO ARTER
Saya mengenal Joko Arter ketika melakukan perjalanan jusnalistik kedua ke Malang, kota dingin, yang sekarang sudah tidak dingin lagi.
Itu terjadi pada tahun 1983, ketika tinju pro Malang “gila-gilaan” menggelar pertandingan di GOR Pulosari, Jalan Kawi, Malang, yang sudah lama berubah menjadi pusat bisnis.
Joko Arter (Birawa BC Malang atau Higam BC Malang, bersama manajer Mariso Udin dan pelatih Watung Kawanto) merebut gelar juara kelas bulu Indonesia melalui pertarungan “aneh” melawan Agus Panjaitan (Gajayana Malang, pelatih Abu Dhori). Pertandingan dihentikan pada ronde kedua, setelah darah menetes deras dari bagian alis atas Agus Panjaitan, yang berlangsung di GOR Pulosari Malang, 5 Maret 1983.
Sehari setelah juara, saya mencari Joko Arter di Terminal Pattimura, terminal bus pertama milik Kera Ngalam, di Jalan Parttimura, yang kemudian dipindahkan ke Arjosari Malang, Jalan Terusan Raden Intan, Blimbing, Kota Malang.
Sangat mudah menemui Joko Arter di Terminal Pattimura. Dia sangat dikenal bahkan disegani. Dia ibarat seorang centeng muda yang terpandang di sana.
Orangnya ramah. Kata-katanya halus dan dia pas memakai nama ring sebagai Joko Arter.
Arter adalah singkatan Arek Terminal. Dia hidup di terminal dan melegenda.
“Setiap hari saya di sini, di terminal ini. Tidur, makan, mandi, cari hidup, ya di terminal ini. Itu semua teman saya. Saya di sini jual apel. Naik-turun bus.”
Itu pertemuan yang sulit terhapus, sampai sekarang.
Joko Arter adalah petinju Indonesia pertama tampil dalam kejuaraan dunia IBF. Joko, petinju kelas bulu yang tingginya hampir 170 sentimeter, tumbang KO ronde kedua di tangan Min-Kuen Oh di Seoul, Korea Selatan, 4 Maret 1984.
Kalah KO, Joko memilih putus dengan tinju. Ia meneruskan perjalanan hidupnya di Terminal Arjosari, pindahan dari Terminal Pattimura.
Di masa hidupnya di tahun 2005 kami masih sempat bertemu. Legenda terminal Joko Arter menerima saya di kios miliknya yang agak besar. Kios itu sebagian dipakai untuk dapur, kamar tidur, dan tempat tinggal.
2. TEJO ARTER
Tejo Arter (Satria Yudha Malang, pelatih Ingger Kailola) adalah petinju kelas terbang yunior yang potensial tetapi tidak pernah juara.
Tejo selalu dipertemukan dengan lawan yang hebat dan kalah. Tejo termasuk petinju laris manis lantaran gaya bertinjunya cenderung menyerang tanpa rasa takut. Tejo salah satu favorit di setiap partai tambahan.
Tejo pernah bertarung hebat di GOR Pulosari melawan Pelni Rompis (Blambangan Banyuwangi). Di hadapan publiknya sendiri dan entah mengapa Tejo dinyatakan kalah 2-1. Itu merupakan bagian dari sandiwara kontroversial ala GOR Pulosari Malang, yang terkenal angker.
Seperti saudara tuanya almarhum Joko Arter, Tejo Arter “Si Rambut Landak” hidup di terminal. Tejo memiliki kios yang cukup bergengsi di sebelah kiri dekat pintu keluar Terminal Arjosari.
Jika Anda ke sana, carilah Kios Arter dan mampirlah melihat Tejo Arter, yang ramah dan rajin berbisnis.
3. KID MANGUNI
Nama ini seakan tidak berhubungan dengan keluarga Joko Arter. Sutoyo alias Kid Manguni (Kawanoea BC Malang, pelatih Leo Kailola) adalah nama samaran untuk mewakili pembinanya seorang tentara perwira menengah yang berasal dari Minahasa, Sulawessi Utara.
Karir tinju Kid Manguni mentok di peringkat tengah kelas bantam yunior. Masa depan tinju gelap. Kid Manguni memilih profesi sebagai satpam di hotel kelas shortime di Jalan Letjen Sutoyo, Malang.
Beberapa tahun kemudian Kid Manguni menjadi seorang pengusaha kaya raya di daerah perumahan Blimbing, Malang.
Betullah kata orang; tak ada yang mampu mengukur jalan hidup manusia.
4. JON LEE
Tidak terlalu populer. Jon Lee atau Slamet Widodo, SH, adalah petinju kelas terbang Rajawali Surabaya dengan pelatih Tan Hwa Swui dari Malang.
Setiap orang yang datang ke Rajawali Surabaya, selalu “dirusak” wajib memakai nama Jon, seperti Jon Lee, M`jon, Jon Arief, Jon Braces, dan Jon lainnya.
Seperti Kid Manguni yang berhasil menyelesaikan kuliahnya, Jon Lee juga berhasil di perguruan tinggi dan merubah jalan hidupnya dari petinju susah yang tidak terdeteksi menjadi seorang Sarjana Hukum.
Hidupnya mapan. “Saya bekerja di Universitas Negeri Malang bagian Pengelolah Pusat Bisnis Umum. Saya bangga, sebagai mantan petinju bisa menyelesaikan kuliah.”
Jon Lee meneruskan. “Kami lima bersaudara dan kelimanya terjun sebagai petinju, karena hidup susah. Kami dari keluarga kurang mampu di Malang. Alhamdulillah sekarang anak-anak saya sudah kuliah dan lulus. Saya senang bisa bekerja di Universitas Negeri Malang,” kata Slamet Widodo alias Jon Lee, menetap di Bululawang.
5. DOBRAX ARTER
Dari lima bersaudara di ring tinju pro Tanah Air, Dobrax Arter satu-satunya paling berprestasi dan paling “berani”.
Siapa tidak kenal Dobrax. Dia adalah salah satu aset besar Sawunggaling Surabaya asuhan pelatih Setijadi Laksono. Dobrax pernah memenangkan partai kejuaraan Indonesia dan kejuaraan IBF Intercontinental. Dobrax bertanding mulai kelas bantam hingga naik kelas ringan. Prestasinya cepat melejit dan cepat pula ambruk.
Dobrax sempat menyelesaikan kuliahnya di Surabaya. “Saya anak bungsu. Saya selesai D3 jurusan pemasaran,” kata Dobrax, yang pernah bekerja di Lapangan Semut, Surabaya.
Lima tahun terakhir Dobrax memilih pulang kampung. “Ayas ngalup nang Ngalam,” katanya dalam bahasa khas Arek Malang.
Dobrax sekarang bekerja sebagai pelatih Yon Bekang 2 Kostrad Malang. “Kalau malam jaga parkir di daerah Merbabu. Lumayan uangnya saya bawa ke rumah.”
Itulah “Kisah Mantan Petinju” legenda Joko Arter dan keempat adik kandungnya. Masih panjang, karena semasa hidup almarhum Joko Arter pernah bercerita tentang pertarungan di luar tinju yang nyaris menghabisi nyawanya di pinggir Sungai Brantas, Malang.
Joko Arter meninggal dunia di Malang, dalam usia 52 tahun, karena sakit.
Finon Manullang, menulis dari Desa Tridaya, Jawa Barat, [email protected]