Rondeaktual.com, Kota Batu – Saya ingin menulis tidak tentang kemenangan Daud Yordan. Tetapi, ingin menulis tentang pertemuan saya dengan Kera Ngalam di Kota Batu.
Saya di sana atas undangan Mahkota Promotion, yang menggelar pertandingan besar di halaman parkir Jawa Timur Park 3, Kota Batu, Minggu (17/11/2019) siang.
Sebelum melakukan perjalanan dan untuk alasan kesehatan, saya sampaikan kepada mantan petinju Slamet Widodo, SH bahwa saya tidak ingin bertemu dengan teman-teman mantan petinju. Saya tidak siap. Saya sedang kehilangan semangat.
Slamet Widodo, SH adalah mantan petinju Rajawali Surabaya bernama Jon Lee. Mereka lima saudara laki seayah seibu. Kelimanya terjun sebagai petinju pro, yang dimulai dari tertua almarhum Joko Arter, Tejo Arter, Kid Manguni, Jon Lee, dan Dobrax Arter. Dua nama –Kid Manguni dan Jon Lee—terkesan bukan sekandung. Tetapi itulah tinju pro, ibarat pengarang cerpen, memiliki dua nama.
Jumat (15/11/2019) siang saya dan tim media Mahkota Promotion tiba di Hotel Senyum World, Jawa Timur Park 3, Kota Batu.
Sesuai dengan peraturan check in harus 14.00, maka saya menunggu duduk di sofa tamu hotel dan bertemu Narong Sutikno, mantan petinju kelas terbang yang sekarang pelatih Dirgantara Abdul Rachman Saleh Malang.
Tak lama datang Eko Prasetyo. Gemuk dan agak putih. Saya sudah tidak mengenalinya lagi dan sambil memegang tangannya saya bertanya: “Siapa ya?”
“Eko. Eko suntik.” Dia tertawa. Saya juga ikut tertawa.
Eko Prasetyo adalah mantan petinju Satria Perkasa Surabaya, yang pernah bekerja sebagai pelatih Bulungan Jakarta, sebelum Little Holmes masuk.
Berikutnya jumpa Agus Zabara, salah satu legenda dari Jember, pernah bertarung di kelas welter melawan Thomas Americo bersama promotor FK Sidabalok. Lima tahun terakhir Agus membuka kafe di Malang dan menghasilkan uang besar. Sukses.
Masih di lobi hotel. Saya bertemu Jon Lee dan kami pelukan. Karena sudah pukul 3 sore dan harus mengikuti konferensi pers di Ruang Musik lantai 3, kami berpisah.
Sebelum konferensi pers dibuka, H.M. Nurhuda masuk dan dia mengatakan Monod sudah ada di ruangan.
Kepada Monod saya tidak bicara apa-apa tetapi memuji fisiknya yang tetap kekar di usia 62 tahun. Ia sengaja menutupi kepalanya dengan topi.
“Saya masih latihan dan melatih,” kata Monod. “Saya pelatih privat, dari rumah ke rumah.”
Sebelum tutup, datang Jon Lee dan adiknya, Dobrax Arter, D3 jurusan pemasaran. Jon Lee sangat berharap saya bersedia menerima undangannya tidur di rumahnya di Bululawang.
Itu hari pertama. Hari kedua semakin banyak bertemu dengan mantan petinju Kera Ngalam, yang jika dibaca dari belakang menjadi Arek Malang.
Hari ketiga, Minggu (17/11/2019), jelang pertandingan Daud Yordan, sekitar 50 mantan petinju Kera Ngalam sudah berkumpul di luar arena perandingan. Mereka mendapat tempat khusus dari Wali Kota Batu Dewanti Roempoko.
Senang bisa bertemu dengan para sahabat Kera Ngalam. Satu-satu saya salami sambil memandang ke wajah masing-masing. Semua sudah tua. Sudah kepala 5 dan 6 dan sedikit kepala 4.
Ada Ryantoha dengan rambut semir pirang. Ada Jack Murdi, mantan petinju Garuda Jaya mitra tanding Ellyas Pical. Orangnya tinggi besar dan kumis lebat.
Saya sudah lupa wajah Jack Murdi. Terakhir melihatnya di GOR Pulosari Malang, tergeletak KO ronde 3 kena longhook Juhari dalam kejuaraan Indonesia kelas ringan. Sedih melihatnya kalah tragis.
Itu 34 tahun silam, tahu-tahu bertemu di Kota Batu. Pantas saja kalau saya lupa dengan wajahnya, yang sekarang bukan saja menua tetapi rambutnya banyak masalah.
Wajah boleh lupa. Tetapi nama Jack Murdi tidak. Saya bangga, sebab dia salah satu petinju yang berhasil menata hidup dengan baik. Ia menyekolahkan anak-anaknya sampai tamat perguruan tinggi. Hidupnya mapan dan itu saya sampaikan membuatnya tersenyum kemudian tertawa. Bisa jadi hari itu hati Jack Murdi bahagia sekali.
Saya memiliki hubungan yang panjang dengan mantan petinju Kera Ngalam, yang saya bangun tahun 1983 dari Terminal Pattimura, Malang, ketika petinju kelas bulu Joko Arter masih di sana sebagai pedagang asongan. Joko Arter naik turun bus luar kota menawarkan apel Malang. Waktu itu saya terikat sebagai wartawan Selecta Sport, Kebon Kacang XXIX, Tanah Abang, Jakarta Pusat.
Mantan petinju Malang sekarang bersatu dalam Kebersamaan Mantan Petinju Indonesia (KMPI), yang berpusat di Klojen, Kota Malang, Jawa Timur.
Jelang pertarungan Daud Yordan, saya bertemu legenda Wongso Suseno, Monod, Nurhuda, duduk di belakang meja dewan juri. Sementara undangan untuk mantan petinju KMPI berada depan meja dewan juri.
Senang bukan main bisa bertemu Kera Ngalam. Teman-teman menerima saya bukan sebagai jurnalis tetapi sebagai bagian dari keluarga.
Seperti kata pepatah tak ada gading yang tak retak. Tak ada pertemuan yang lengkap. Selalu saja ada yang kurang. Siang itu saya tidak melihat legenda lain seperti Juhari, juara OPBF kelas ringan tahun 1983.
Yani Hagler, orbitan promotor Boy Bolang yang rumahnya hanya beberapa langkah dari arena pertandingan, tidak datang. Rupanya Yani sedang mendampingi petinju Jawa Timur untuk menghadapi Pra PON Wilayah Tengah dan Wilayah Timur jilid 2 di Bogor, Jawa Barat.
Kid Samora, mantan juara Indonesia kelas bantam yunior dari Trisula Malang dan satu-satunya mantan petinju yang mempunyai tiga anak kembar, tidak datang. Marvin Harsen (Gajayana Malang dan Sawunggaling Surabaya) tidak hadir karena sakit. Ervan Husein, kelas welter, yang rumahnya dekat dengan arena tinju, tidak datang, juga karena sakit.
Sebelum kembali ke tempat duduk media, saya masih sempat bertemu Agus Ekajaya, mantan juara Indonesia kelas bantam. Girangnya bukan main. Ia langsung meninggalkan duduknya dan setengah berlari melompat ke tubuh saya. Hampir terjatuh dibuatnya. Kami berpelukan. Lama sekali.
Itu bagian dari rasa kangen yang terpendam selama bertahun-tahun. Dulu, Agustus 1988 ketika Agus masih bertinju untuk partai pemula empat rondean, saya mengantarnya dari markas Sawunggaling Surabaya ke rumah orangtuanya di Jalan Ahmad Yani 125, Desa Ngaglik, Kelurahan Ngaglik, Kecamatan Batu, yang sekarang menjadi Kota Batu.
Setelah kami turun dari omprengan sekitar 50 meter dari rumahnya, di situlah saya sampaikan bahwa ibunda tercinta telah meninggal dunia.
Agus Ekajaya, di pinggir jalan raya itu, menangis sejadi-jadinya. Saya biarkan biar dia puas.
Finon Manullang, menulis dari Desa Tridaya, Jawa Barat.