Rondeaktual.com – Mintohadi, 51 tahun, dikenal sebagai juara Indonesia kelas terbang tahun 1990, era promotor almarhum A Seng Herry Sugiarto. Mintohadi sekarang hidup sebagai tunanetra bersama istri ketiganya di Malang, Jawa Timur.
Mintohadi bertinju dan menjadi juara bersama Akas Boxing Camp Probolinggo, Jawa Timur, yang dulu sangat terkenal karena banyak menghasilkan petinju bagus seperti Faisol Akbar (juara IBF Intercontinental kelas terbang ringan), Bugiarso (juara PABA kelas bulu yunior), Mohamad Rachman (juara dunia IBF kelas terbang mini kemudian diteruskan juara dunia WBA kelas terbang mini).
Mintohadi adalah salah satu korban ganasnya pertandingan tinju, “Saya ini asli buta karena tinju,” kata Mintohadi, yang sudah 25 tahun hidup sebagai ahli pijat tunanetra berijazah.
KLINIK PIJAT MINTOHADI
Jalan Mayjen Sungkono, Gang 2, Nomor 63, Buring, Kedung Kandang
Malang, Jawa Timur.
“Aku hidup dari situ. Pijat dan jual jamu kesehatan. Mau apalagi? Sudah gini, sudah ndak bisa lihat, ya harus bekerja melalui pijak tunanetra. Jangan sampai jadi beban hidup bagi keluarga.”
Mintohadi tidak pernah menyalahkan tinju. “Aku tetap sayang tinju. Tetap menjalin silaturahmi dengan teman-teman lama, termasuk dengan lawan yang dulu (Jack Siahaya). Boleh tanya Bung Jack, kalau kami tetap komunikasi. Saling bertanya dan saling memberi kabar. Dulu saya pakai SMS. Sekarang sudah maju. Sudah era WhatsApp. Saya pake WA.”
Tidak ada dendam.”Ini namanya jalan hidup manusia. Waktu itu saya main di Go Skate (Jalan Embong Malang, Surabaya). Promotor Pak A Seng Herry Sugiarto, almarhum. Bola mata kanan saya terasa bergeser, setelah kena upper cut dia (Jack Siahaya). Agak aneh, upper cut nyasar ke mata. Biasanya dagu. Setelah mata mulai tidak beres aku putuskan operasi. Tiga bulan di rumah sakit mata di Surabaya. Dokter suruh jangan banyak gerak. Tapi aku coba latihan lagi di Probolinggo sambil mencari pengobatan alternative. Aku ditangani tabib. Bukannya sembuh, eh mata kiri ikut buta. Aku operasi mata lagi yang kedua di Surabaya. Tidak ada kemajuan. Sudah salah penanganan. Biaya operasi ditanggung bosku (Akas Boxing Camp Probolinggo). Itulah nasibku, buta karena tinju. Gelap gulita. Ke mana-mana harus pakai kacamata hitam untuk menutupi mata yang buta.”
Di rumah, karena sudah terbiasa dan hapal letak benda, Mintohadi lepas kacamata. “Jalan sambil meraba-raba lama-lama tahu mana kamar tidur dan mana kamar mandi.”
Mintohadi mengaku sudah tidak punya beban. Hidup bahagia bersama istri ketiganya.
“Istri pertama (di Banyuwangi) dapat satu anak. Istri kedua (di Jember) dapat satu anak. Istri ketiga (di Malang) belum dapat anak,” kata Mintohadi, kakek dari tiga cucu.
“Aku hidup nyantai saja. Anak-anak sudah besar. Pintar-pintar. Aku senang. Anak pertama kuliah di Universitas Jember jurusan Bisnis Agroindustri. Anak mantuku kuliah di Jakarta, di UI, dan sudah kerja di Mandiri. Anak kedua masih di Poltekes Yogyakarta jurusan Teknologi Transfusi Darah. Dia bisa main sulap dan penyanyi juga.”
Di tempat usahanya Klinik Pijat Puspita, Mintohadi didukung dua tenaga, yang setiap hari bisa melayani dua sampai empat pasien.
“Kalau aku cukup dua pasien saja,” katanya. “Kalau teman terapis yang dua orang kadang bisa empat pasien. Bisa hidup dan yang penting tidak diam.”
Sekali terapi untuk 90 menit bertarif Rp 50.000. “Cukup terjangkau. Kadang dikasih pas segitu, seket, tapi kadang ada yang kasih lebih. Ada yang kasih enam puluh. Ada yang kasih seratus.”
JUAL JAMU BIAR KUAT
Klinik Pijat Puspita milik Mintohadi menyediakan jamu. “Kami menyediakan jamu atau ramuan herbal alami untuk berbagai macam keluhan atau penyakit. Ada jamu untuk mengatasi asma atau sesak napas. Maag atau asam lambung. Hipertensi atau tekanan darah tinggi. Gatal-gatal dan yang lebih utama untuk kaum lelaki. Kami sediakan jamu khusus pria untuk meningkatkan stamina dan kejantanan atau keperkasaan.”
Semua jamu yang dijual di Klinik Pijat Puspita adalah titipan alias cuma ambil sedikit untung.
“Saya tidak pernah memproduksi jamu. Saya utamanya adalah pijat. Jamu hanya sampingan saja. Orang titip di tempat saya. Ini jamu datang dari Rogojampi, perbatasan Banyuwangi. Kalau ada pasien yang membutuhkan silahkan. Alhamdulillah laku.”
Soal jamu untuk penambah vitalitas, Mintohadi mengaku sudah terbukti khasiatnya; ampuh tangguh tak tergoyahkan.
Dijual dalam kemasan botol ukuran setengah jengkal dihargai Rp 25.000. “Saya petik untung lima ribu. Diminum sekaligus satu jam sebelum “bertanding”. Hasilnya luar biasa. Sudah banyak yang datang beli (Mintohadi menyebut beberapa nama mantan petinju). Tamu lain juga gitu pada beli. Belinya bukan hanya satu. Saya tanya buat apa beli banyak. Mereka bilang mantap. Cocok dan mau dikasih oleh-oleh buat teman kantor.”
Jamu khusus keperkasan kaum lelaki yang dijual Mintohadi, katanya bisa untuk ”pertandingan” besar, yang di dalam dunia tinju sering diistilahkan sebagai mainevent alias partai utama 12 ronde.
“Saya jual jamu ini karena sudah coba sendiri. Bukan dusta. Sudah saya minum dan terbukti hebat. Ini jamu kalau dalam istilah tinju pro, bukan untuk partai tambahah empat rondean atau enam rondean, tapi untuk partai kejuaraan. Jamu ini cocok untuk title fight.” Mintohadi tertawa terbahan-bahak.
“Saya dilarang istri untuk minum.” Mintohadi diam sejenak. Percaya atau tidak percaya, dia melanjutkan: “Istri saya kewalahan. Katanya tidak sanggup menghadapi serangan saya.” Mintohadi kembali tertawa terbahak-bahak. Hatinya girang sekali.
Jamu khusus lelaki yang dijualnya terbilang laku. Namun, Mintohadi tetap tidak memanfaatkan situasi untuk mengeruk keuntungan. “Petik untung dikit saja. Cuma goceng. Inikan namanya membantu. Saya tidak mau jual harga tinggi. Jamu yang lain juga sama. Saya dapat komisi tiga ribu. Paling banter lima ribu. Sebab utama saya adalah pijat. Ada yang salah urat atau aliran darah kurang lancar, mari saya tangani. Kalau ada Bapak Menteri atau bahkan Bapak Presiden kita, barangkali membutuhkan tenaga mantan petinju yang tunanetra, monggo saya siap datang ke Jakarta. Insyah Allah bisa saya terapi dengan hasil memuaskan. Nanti saya numpang tidur di rumah sampean, biar hemat,” kata Mintohadi.
Ia tertawa dan tertawa lagi. Pantas saja bawaannya muda terus.
Finon Manullang, menulis dari Desa Tridaya Tamsel, Jawa Barat. [email protected]