Rondeaktual.com – Perjalanan kelas bantam Indonesia terkesan kurang berprestasi di level dunia. Biasa-biasa saja. Tidak ada nama yang melambung. Tidak seperti kelas terbang mini atau kelas bantam yunior misalnya, yang berhasilkan melahirkan juara dunia.
Sampai sekarang saya masih mengingat beberapa nama petinju kelas bantam Indonesia, antara lain; Agus Suyanto (Orang Tua Semarang), Ricky Tampubolon (Garuda Jaya Jakarta), Edward Apay (Higam Malang), Sambung (Raung Jember), Johannes Matahelemual (Hasanuddin Jakarta), Nurhuda (Javanoea Malang), Wiem Sapulette (Cakti Jakarta), Wongso Indrajit (Sawunggaling Malang), Agus Ekajaya (Sawunggaling Surabaya), Andrian Kaspari (Pirih Surabaya).
Itu era dulu. Era sekarang, yang sering disebut sebagai era tinju pro matisuri, ada kelas bantam Flasidus Nuno (Victory Target), dan yang lain. Masih banyak.
Di masa lalu ada petinju kelas bantam yang hebat seperti Sutan Rambing. Tetapi di era mendiang Sutan Rambing, saya belum seperti sekarang (menulis untuk tinju).
Saya pertama kali meliput pertandingan kejuaraan Indonesia kelas bantam di arena mewah, Gedung Hailai Ancol, Pademangan, Jakarta Utara, Sabtu, 16 Oktober 1982. Malam itu promotor Halim Susanto bersama bosnya Herman Sarens Soediro menampilkan juara Agus Suyanto (Semarang) melawan penantang Ricky Tampubolon (Jakarta). Ricky menang split, yang membuat Agus merasa dibohongi hakim. Tetapi, di mana-mana memang sering begitu, tuan rumah selalu saja diuntungkan. Dalam tinju pro disebut sebagai hometwon decision.
Suatu malam Ricky Tampubolon pergi ke GOR Pulosari Malang, 6 Februari 1983, tumbang KO ronde keempat yang baru berjalan 30 detik di tangan Edward Apay (Higam Malang). Higam adalah kepanjangan dari Hidup gembira awet muda, pimpinan Mariso Uddin. Edward kehilangan gelar karena tidak naik ring.
Pada tahun 1985 Edward Apay pindah dan membawa nama Blambangan Boxing Camp Banyuwangi, orbitan FK Sidabalok. Edward bertarung di GOR Mojopanggung Banyuwangi dan menang TKO ronde 9 atas Sambung (Raung Jember) untuk merebut gelar lowong kelas bantam Indonesia.
Sampai sekarang, sudah 35 tahun, gelar juara kelas bantam Indonesia yang direbut Edward Apay adalah gelar juara Indonesia satu-satunya untuk Banyuwangi.
MENDIANG WONGSO INDRAJIT
Dari semua kelas bantam yang ada, Wongso Indrajit satu-satunya yang paling berprestasi.
Wongso Indrajit memulainya pada tahun 1988, merebut gelar juara Indonesia kelas bantam melalui KO ronde 3 atas juara yang tangguh Wiem Sapulette, di Gedung Go Skate Surabaya, bersama promotor A Seng.
Setelah juara Indonesia, Wongso Indrajit merebut sabuk juara WBC Intercontinental kelas bantam di Stadion Mattoangin, Ujungpandang (sekarang Makassar), Sulawesi Selatan, 26 November 1988, menang angka 12 ronde melawan Edel Gerenimo (Filipina).
Hakim Arnold Philipus (Indonesia) menilai 118-113, Malcolm Bulner (Australia) 115-113, Eduardo Vennesco (Filipina) 115-115.
Di era itu kejuaraan WBC International di Indonesia masih ketat. Beda dengan era sekarang, di mana promotor bisa mengatur seluruhnya (wasit dan tiga hakim) orang Indonesia.
Salah seorang penonton yang duduk paling depan adalah Tommy Soeharto, yang hadir atas undangan promotor Tinton Soeprapto. Ellyas Pical dan istrinya Rina Siahaya juga ikut menyaksikan pertandingan yang sangat bersejarah bagi olahraga Sulawesi Selatan.
Sehari setelah kemenangan Wongso Indrajit, rombongan tinju diajak jappa-jappa ke Bantimurung. Saya satu-satunya yang berhasil menembus perjalanan gelap gulita dan licin akibat hujan hingga sampai ke dalam Gua Hantu. Setiyadi Laksono (pelatih Sawunggaling) dan Wongso Indrajit menolak meneruskan perjalanan karena alasan lelah.
Setelah Ujungpandang, saya pergi ke Stadion 17 Mei Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Di sana, 12 Agustus 1989, Wongso Indrajit kehilangan gelar WBC International kelas bantam, setelah TKO ronde 10 dihantam Lorimer Pontino (Filipina).
Wongso Indrajit berdarah-darahdan kalah berdiri, dihentikan wasit Binsjeck Abu Yani (Indonesia). Pertandingan sudah tidak berimbang. Turun dari atas ring, Wongso Indrajit segera dilarikan ke rumah sakit dan mendapat sembilan jahitan.
Meski menang, tetapi penyerahan sabuk untuk Lorimer Pontino dinyatakan sebagai formalitas agar penonton tidak marah. Pontino dituduh kelebihan berat badan dan tidak berhak menjadi juara.
Padahal ketika timbang, saya tidak melihat Pontino over weight. Dia in, 53,2 kilogram. Tetapi entah bagaimana berat Pontino ditulis 54,2 kilogram. Kelas bantam tidak boleh lebih dari 53,5 kilogram.
KANVAS RING BANJIR
Masih ada cerita lain, yang saya anggap penting dalam perjalanan kelas bantam Indonesia.
Di lapangan sepakbola, Stadion Mojosari, Mojokerto, Jawa Timur, 4 Agustus 1989, berlangsung kejuaraan Indonesia kelas bantam antara juara Wiem Sapulette (Cakti Jakarta) dengan penantang Michael Arthur (Surya Malang).
Sepanjang pertandingan hujan deras. Seluruh lapangan rumput tergenang air. Tempat duduk basah, termasuk ring yang terbuka tanpa tenda, sudah bukan basah tetapi banjir. Petugas ring berkali-kali naik menyapu genangan air. Sebagian tempat duduk yang tertutup tenda terhindar dari serangan hujan. Namun kencangnya angin membuat keadaan sama buruknya dengan tempat duduk lain.
Pertandingan jelas sudah tidak bersyarat. Aliran PLN putus dan padam. Diesel yang dikerahkan panitia sama saja. Mati karena kehabisan bensin dan gelap. Di tengah malam petugas diesel lari mencari bensin tambahan.
Pukul 00.15 masih menyisahkan rintik hujan. Di hadapan pelatih, manajer, promotor, wasit dan para hakim, Inspektur Pertandingan memberikan izin pertandingan. Kejuaraan harus dilaksanakan.
Sepanjang pertandingan 12 ronde, Wiem Sapulette dan Michael Arthur berkali-kali jatuh terpeleset. Wasit Jopie Limahelu berkali-kali bertanya kepada petinju; mau diteruskan atau tidak.
Pada ronde keenam, Wiem Sapulette protes minta pertandingan ditunda. Itu hak petinju karena sudah tidak memenuhi syarat. Wasit Jopie Limahelu konsultasi kepada Inspektur Pertandingan Kuntadi Djajalana dari KTI Pusat.
Permohonan tunda ditolak. Sebab jika sampai ditunda, maka kerugian besar bagi promotor Agus Mulyantono, yang harus menanggu seluruh biaya tambahan.
Pertandingan diteruskan sampai 12 ronde. Wiem Sapulette kalah dan kehilangan gelar. Michael Arthur tampil sebagai juara kelas bantam Indonesia. Pelatih Arthur, Delly Rumbayan dan Iskanto, melompot kegirangan.
Itu cerita lama. Cerita baru terjadi tahun lalu di Mega Glodok Kemayoran, Jakarta Pusat, Jumat malam, 3 Mei 2019, Flasidus Nuno (Victory Target Jakarta) tampil sebagai juara Indonesia kelas bantam melalui TKO ronde 10 atas Dedy Saputra (KPJ Bulungan Jakarta).
Kemenangan Flasidus Nuno murni akibat buruknya penyelenggaraan pertandingan. Sebelum peristiwa TKO, atau pada istirahat ronde 6 dan 7, seorang penonton dibiarkan naik ke atas ring. Dia berdiri dan menari-nari di luar tali. Berteriak support Dedy Saputra.
Padahal selama pertandingan berlangsung tidak boleh orang lain naik ke atas ring, kecuali juru kamera atas izin pengawas pertandingan.
Kemenangan Flasidus jelas akibat intervensi penonton, yang berdiri di pinggir ring satu meter dari sudut Dedy, berteriak agar wasit menghentikan pertandingan.
Akibat teror penonton yang bertubi-tubi wasit langsung menghentikan pertandingan, ketika kedua petinju sedang bertanding. Dedy Saputra tidak dalam kondisi buruk. Tidak terancam.
Keputusan yang buruk membuat pelatih Dedy, Little Holmes, merasa ditusuk. Dia tak sanggup bicara apa-apa. Dia ke luar gedung dan mengisap rokoknya dalam-dalam sebagai upaya mengusir rasa frustasi.
Kita berharap jangan ada lagi wasit yang takut dan tunduk atas intervensi penonton. Sebab rules and regulation menjamin keputusan mutlak di tangan wasit.
Sudut merah dan sudut biru juga harus steril. Hanya sekondan yang boleh berdiri di sana.
Finon Manullang, menulis dari Desa Tridaya Tamsel, Jawa Barat, [email protected]